Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.
Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.
Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.
Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu telah selesai menjalani masa pertukaran pelajarnya. Ah bahagianya Rallin.
Rallin tersenyum mengingat sahabat dari orang yang di cintainya itu. Bagi Rallin, seseorang itu adalah tamengnya. Seseorang itu adalah pahlawannya. Seseorang itu adalah kekuatannya. Ya, karena seseorang itu,
"Rallin?" panggilan itu membuyarkan lamunan Rallin tentang seseorang itu.
Rallin menoleh kemudian menyunggingkan senyumnya saat tahu guru yang memanggilnya.
"Iya bu, ada apa?" Tanya Rallin sopan.
"Bisa ikut ibu sebentar?" T tanya bu Sarah.
Rallin mengangguk tanda setuju. Kemudian dia digiring bu Sarah menuju mejanya. Rallin duduk di depan bu Sarah.
"Jadi begini, bulan depan sekolah kita akan mengirim dua siswa untuk ikut olimpiade di pusat kota, menurut pertimbangan semua guru dan juga di setujui kepala sekolah, sekolah kita akan mengirimkan kamu untuk mengikuti olimpiade tersebut. Mengingat kamu adalah salah satu murid kebanggaan sekolah ini, apa kamu mau?" ujar bu Sarah panjang lebar.
Rallin mengangguk pelan, mengikuti olimpiade? Itu sudah sering ia lakukan sejak SMP. Bahkan saat SMP dulu, ia mengikuti program lompat kelas dan itu berhasil. Ia yang seharusnya sekarang menjadi murid kelas sepuluh, kini malah sudah ada di kelas sebelas. Sebegitu pintarnya Rallin?
"Iya bu saya mau, kalau boleh tau, rekan saya siapa bu?" tanya Rallin.
Mengingat bu Sarah tadi mengatakan akan ada dua siswa yang di kirim. Rallin berfikir, siapa yang akan menjadi partner nya nanti?
"Nanti dia akan menemui kamu, dia kelas dua belas. Kalau kamu kesulitan, kamu bisa meminta bantuannya," ujar bu Sarah sambil tersenyum.
Rallin menganggukkan kepalanya kemudian pamit undur diri. Rallin berjalan pelan menuju kantin karena bel sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Dan bisa di pastikan Maudi sudah berada di kantin.
* * *
Sesampainya di ambang pintu kantin, Rallin melihat ada Nadiv, Rangga, Didan dan tentunya si cabe Adelia ada disana juga. Tepat di sebelah Maudi duduk. Menatap Nadiv sebentar, hatinya seperti dicubit. Rasanya kali ini sakit walau hanya sekedar menatap saja.
Apalagi saat Nadiv mengatakan kalau ia tak akan menyukainya, apa sebegitu buruk dirinya sampai Nadiv tak sudi walau sekedar suka? Baiklah, itu pasti perkaranya Adelia. Ah gadis itu, ingin rasanya Rallin buang ke samudera pasifik.
Memaksakan senyumnya terbit, Rallin berjalan pelan menuju meja Maudi. Saat tiba di samping Nadiv, Rallin sempat mengacak rambut lelaki itu dengan gemas. Kemudian terkekeh pelan saat terdengar dengusan kesal dari lelaki itu. Ingat bukan Rallin itu ambisius? Jadi selagi dia masih bisa berjuang kenapa tidak?
"Dasar gak tau malu lo!" Cecar Adelia menatap tajam Rallin.
"Ah, masa sih?" Ucap Rallin meremehkan tatapan tajam itu. Namun dengan cepat Nadiv menggenggam tangan Adelia berusaha menenangkan gadis itu.
Rallin memalingkan wajahnya melihat pemandangan itu. Ia duduk tepat didepan Maudi, bangkunya berseberangan dengan bangku yang diduduki Nadiv.
"Dari mana? Lama banget gue tungguin juga," gerutu Maudi kesal.
Rallin hanya tertawa pelan, kemudian mengambil jus mangga milik Maudi, dan menyesapnya.
"Eh dugong! Punya gue! Beli sendiri kek," kesal Maudi sambil menatap jus mangganya kini tinggal separuh.
Rallin tertawa bodoh. "Ntar gue ganti," ucapnya.
"Lo belom jawab pertanyaan gue Lin."
"Di panggil bu Sarah. Biasalah, olimpiade," jawab Rallin.
"Kapan?"
"Masih bulan depan kok."
Maudi hanya ber-oh ria lalu melanjutkan makannya. Ralin pun menepati omongannya dengan mengganti jus mangga milik Maudi yang di minumnya tadi. Hal itu membuat Maudi terkekeh senang.
Nadiv hanya diam, namun telinganya ia pasang setajam mungkin untuk bisa mendengar pembicaraan Rallin dan Maudi. Anggap saja Nadiv ini kepo. Karena memang kenyataannya seperti itu. Entah apa yang mendorong dirinya melakukan hal itu padahal ia masa bodoh dengan apa yang dilakukan Rallin selama ini, tapi yang jelas Nadiv ingin.
Olimpiade? Bulan depan? Dia padahal pinter, cantik, primadona nya Grand Nusa. Dia bisa ngedapetin cowok mana pun yang jelas setara dengan dia. Tapi kenapa malah ngejar-ngejar gue? Gila kali ya, batin Nadiv heran sendiri.
Rallin sempat mencuri pandang ke arah Nadiv dengan meliriknya sekilas. Lelaki itu tampak diam.
"Woi! Tumben lo gak ngegombal. Gue kangen denger gombalan lo," celetuk Rangga membuyarkan keheningan.
"Mau gue gombalin gak Ngga?" tanya Rallin menatap Rangga.
Rangga dengan senang hati menganggukkan kepalanya antusias.
"Lo tau gak persamaannya lo sama jemuran?"
"Gak tau."
"Sama-sama di gantungin!"
"Yhaa!!!" Seru Didan dan Maudi.
Sementara Rangga hanya berdecak kesal. Ini namanya bukan gombalan tapi kejujuran Rallin.
"Sialan lo malah buka kartu," dengus Etan.
Rallin tertawa keras, entah kenapa ia tiba-tiba ingat dengan kejadian dimana ia tidak sengaja melirik isi chat Rangga dengan Sinta, salah satu murid yang ikut ekstrakurikuler paduan suara. Chat yang waktu itu berisi kalau Sinta belum bisa memberi kepastian tentang hubungannya dengan Sinta. Saat itu Rallin tertawa membacanya.
Sejenak, Nadiv terpaku melihat Rallin tertawa. Ayolah, ini bukan pertama kalinya Nadiv melihat Rallin tertawa. Tapi kenapa kali ini rasanya berbeda. Melihat wajah damai Rallin saat tertawa membuat hati Nadiv sedikit tenang.
Nadiv mengerjapkan matanya mencoba menyadarkan dirinya secepat mungkin. Jangan sampai ia menjilat ludahnya sendiri. Ia sudah katakan kalau ia tak akan pernah menyukai Rallin.
Ayo Nadiv, pusatkan dirimu. Ingat, jangan sampai jatuh cinta pada Rallin atau pantat kedua temanmu itu akan ikut menertawakanmu karena termakan omongan sendiri. Lagi pula ia sudah miliki Adelia, tidak boleh berpaling.
"Nadiv Dirgantara, dipanggil bu Neni ke ruangannya," ucap seorang siswa berkacamata lalu pergi.
"Lo ngapain lagi di panggil sama pacar lo itu?" Tanya Didan.
Ya, Didan dan Rangga menjuluki bu Neni adalah pacar Nadiv. Itu karena Nadiv sering bermasalah dengan guru itu sampai-sampai bu Neni hampir tiap hari memanggil Nadiv ke ruangannya.
"Gak tau. Kangen di apelin sama gue kali," seloroh Nadiv.
Hal itu membuat Rallin tersenyum kecil. Tingkah Nadiv yang suka becanda, ia menyukainya.
"Nama lo bagus Div," ucap Maudi.
Nadiv mengernyit heran, tidak biasanya gadis itu memujinya. Biasanya dia akan menjatuhkan Nadiv seperti -
"Tapi sayang, orangnya brengsek," lanjut Maudi tersenyum miring.
Nah iya, seperti ini contohnya. Nadiv sudah kebal mendapatkan ocehan tajam dari sahabat gadis yang mengejarnya itu.
Tak mau mempedulikan, Nadiv bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan kantin. Tak lupa ia mengajak Adelia dengan menggandeng tangannya. Hal itu membuat Adelia tersenyum miring menatap Rallin yang juga menatapnya berapi-api.
***
Bel pulang sudah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Maudi dan Rallin tengah berjalan di koridor sekolah.
"Lo mau langsung balik?" tanya Maudi.
"Gak, Di. Gue mau ke perpustakaan dulu. Tadi bu Sarah bilang kalo rekan gue nunggu di perpustakaan," jawab Rallin.
Maudi hanya menganggukkan kepalanya. "Gue duluan ya, Riski udah jemput," ucap Maudi tersipu malu.
Rallin hanya mencibir mendengar ucapan gadis itu. Pasalnya sahabatnya itu kini tengah kasmaran karena sekarang sudah mempunyai pacar. Riski, lelaki itu telah mengatakan cintanya pada Maudi tepat dua hari yang lalu. Menurut cerita Maudi, Riski adalah lelaki yang di kaguminya saat ia SMP. Dan sekarang, betapa beruntungnya ia karena lelaki itu telah dimilikinya.
Dalam hati, Rallin berharap kalau ia dan Nadiv juga bisa berakhir seperti itu. Rallin tersenyum miris, mana mungkin?
Rallin melangkahkan kakinya menuju perpustakaan, tak mau membuat rekannya menunggu terlalu lama. Tapi karena terburu-buru, tanpa sengaja ia menabrak seseorang di perbelokan kelas.
Brukk!!
Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set
Ironi cinta : wanita mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan laki-laki menyakiti wanita yang mencintainya* * *Rallin terdiam duduk di balkon apartemen Maudi. Pemandangan di malam hari seperti ini tampak terlihat indah. Apalagi jika dilihat dari atas gedung apartemen ini. Hamparan kota di bawah sana nampak cantik dengan di hiasi lampu-lampu yang terang. Rallin Menikmati angin malam yang berhembus lembut menyapu seluruh wajahnya. Rallin menutup wajahnya dengan tangan sebentar lalu mengusapnya perlahan. Rambutnya yang terurai sedikit berantaka karena terkena sapuan angin. Tangan gadis itu terulur memegang besi pembatas. Matanya terpejam mencoba meresapi udara malam yang terasa menenangkan. Rallin menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mencoba bersikap rileks.Hari ini ia sendiri. Maudi terpaksa harus pulang ke rumahny
Kadang kita hanya butuh diam, pura-pura tersenyum dan pura-pura terlihat biasa saja daripada harus menjelaskan apa yang terjadi karena tidak semua orang paham dengan apa yang kita rasakan***Matanya bergerak perlahan. Kemudian terbuka, lalu kembali tertutup. Silau dengan cahaya mentari yang menerobos masuk melalui jendela kaca. Lalu terbuka lagi. Sejenak ia terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Lalu melihat sekeliling. Tiba-tiba rasa kaget menyeruak begitu saja. Ia memastikan penglihatannya sekali lagi. Namun tidak ada yang berubah. Ini adalah ruangan kamar Maudi. "Kok gue di kamar?" tanyanya sendiri. Seingatnya, semalam ia belum masuk ke kamar. Ia masih duduk santai di balkon. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba di kam
Kalau nanti kamu tidak ditakdirkan denganku, percayalah aku pernah begitu sungguh menginginkanmu***Bu Ida menoleh ke arah pintu, begitu juga semua siswa. Disana, di ambang pintu, berdirilah seorang siswa berpenampilan brandalan. Baju kusut tidak di masukan, dasi tidak ada, sepatu warna merah yang menyalahi aturan. Dan lebih parahnya lagi siswa itu terlambat.Bu Ida berjalan ke arah pintu dengan geram. Saat sampai, yang dilihat adalah tampang tak berdosa milik muridnya itu."Baju dimasukan!" ucap bu Ida sambil memukul pinggang Nadiv sedikit keras."Ini lagi dasi nya mana?" tanya bu Ida sambil menujuk le
Berjuang sampai jadi orang yang paling dia sayang***Nadiv berjalan dengan riang setelah mendapatkan dasi yang ia inginkan agar bisa masuk ke kelas. Ya meskipun tadi sempat mengalami kekesalan yang akut karena ulah Rallin. Beruntung, tidak ada Adelia atau setidaknya teman gadis itu. Kalau ada, bisa mati berdiri dia.Nadi mengetuk pintu sopan, seluruh perhatian murid teralihkan ke arahnya. Bu Ida memincingkan matanya menatap dasi yang melingkar rapi di lehernya."Nyolong dimana kamu?" tanya bu Ida tak pakai hati. Membuat seisi kelas menahan tawanya.Nadiv mendecih kemudian mengelus dadanya sabar. "Ya saya beli lah bu, masa iya nyolong," ucapnya berbohong. Masa iya harus jujur? Bisa-bisa semua penghuni kelas tertawa ngakak kalau tahu itu dasi milik Rallin. Gadis yang selalu dihindarinya.
Kadang yang memilih pergi bukan karena bosan, tapi karena terlalu lama diabaikan***"Lo kalo goblok kebangetan sih," ejek Sendi sambil merapikan anak rambut Rallin lalu menyelipkannya ke belakang telinga."Kan gue gak tega kalo misalnya Nadiv yang di hukum," ucap Rallin sambil mengerucutkan bibirnya."Dia udah biasa di hukum. Jadi gak masalah lah," kata Sendi lagi."Bodoamat lah ya yang penting kesayangan gue hari ini gak di hukum," kata Rallin dengan senyum berbinar. Setidaknya ia bisa sedikit berguna untuk Nadiv."Jangan terlalu bucin, Lin. Inget, dia udah ngebucinin orang lain." ucapan Sendi mampu membuat Rallin tertohok.Rallin reflek menolehkan kepalanya menatap Sendi garang. Dengan gerakan cepat ia memukul Sendi dengan beringas."