Share

Bab. 3

"Ralin?"

Bukan hanya Rallin, namun semua orang yang ada didalam studio pun menolehkan kepalanya ke arah pintu. Disana, berdiri Didan dengan tampang polos. Cengiran lebar menghiasi bibirnya. Sepertinya ia salah waktu karena sudah mengganggu Rallin dan temannya.

Rallin menegakkan tubuhnya dan meletakkan gitarnya di sofa dan berjalan keluar menghampiri Didan.

"Apaan Dan?" tanya Rallin.

Didan tersenyum kikuk. Kepalanya melongok ke dalam pintu. "Gue pinjem Rallin bentar ya?" izinnya pada penghuni studio.

Gandi mengangguk seolah memberi izin. "Bawa aja. Asal di balikin," ucapnya.

Rallin memberengut kesal mendengar ucapan Gandi. "Lo pikir gue barang!" kesalnya.

Setelah itu Didan menarik tangannya pelan. Lelaki itu membawa Rallin menuju taman belakang sekolah. Taman yang sangat jarang di kunjungi. Padahal kalau dilihat, taman ini suasananya sangat tenang. Cocok untuk mereka yang biasanya memiliki beban pikiran dan butuh tempat menenangkan diri.

Rallin duduk dibangku kayu yang dibentuk panjang. Disusul Didan yang duduk disampingnya.

"Kenapa?" tanya Rallin. Tangannya bergerak merapikan anak rambutnya yang berantakan karena tertiup angin.

Didan menoleh. Menatap Rallin sebentar kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke depan. "Lo yang nulisin catatan sejarah Nadiv?" tanyanya langsung.

Rallin terdiam. Apa yang ditanyakan Didan itu memang benar ada. "Menurut lo, mungkin gak kalo gue biarin moodbooster gue dihukum sama macan liar?" tanyanya balik.

Didan menganggukkan kepalanya. Dia cukup salut dengan Rallin. Gadis itu memang gigih dalam memperjuangkan cintanya. Dia benar-benar tulus mencintai sahabatnya. Didan bahkan sampai geram sendiri dengan Nadiv. Lelaki itu terlalu menutup mata sampai ia tak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak.

Bahkan Rallin sampai rela membuatkan catatan untuk Nadiv hanya karena dia tidak mau Nadiv dihukum. Kalau saja Didan yang diperjuangkan oleh Rallin, ia tak akan menyia-nyiakan gadis itu. Kapan lagi bisa mendapatkan gadis sesempurna Rallin?

"Gimana bisa lo tau kalo kelas gue ada ulangan?" tanya Didan sambil menatap Rallin dari samping.

Tampak gadis itu menarik kedua ujung bibirnya. "Apapun tentang Nadiv gue tau," ucapnya sombong kemudian menatap Didan. Pikirannya menerawang ke kejadian kemarin, saat ia hendak pulang sekolah.

Rallin berjalan menyusuri koridor sekolah. Melewati kelas-kelas yang pintunya mulai ditutup oleh satpam. Mengingat jam pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Ia juga terlambat pulang karena ada urusan dengan salah satu guru. Sedangkan Maudi, gadis itu memilih pulang duluan karena di jemput ayahnya.

Sekolah belum benar-benar sepi. Masih ada beberapa siswa yang tampak berkeliaran di lapangan sekolah. Sepertinya mereka adalah anggota basket. Dilihat dari kostumnya. Ah iya! Dia baru ingat kalau sekarang hari rabu. Hari rabu adalah jadwal ekstrakurikuler basket. Dan kebanyakan anak basket itu berasal dari kelas XI IPS 1. Kelas Nadiv.

Rallin melihat Sendi. Dia adalah teman sekelas Nadiv dan Rallin cukup akrab dengan lelaki itu. Mengingat rumah mereka bersebelahan.

Rallin berjalan mendekat. Menghampiri Sendi yang sedang duduk di pinggir lapangan. Kakinya di luruskan. Keringat tampak mengucur di pelipis lelaki itu. Nafasnya juga terlihat memburu. Mungkin lelaki itu habis melakukan pemanasan dengan bola orange itu.

Rallin menepuk bahu Sendi keras. "Woi!" teriaknya tepat di telinga Sendi.

Sendi terlonjak kaget. Dia menatap tajam Rallin yang sudah memasang cengiran tanpa dosa. "Ngagetin aja sih!" gerutu Sendi.

Rallin terkekeh kemudian duduk disamping Sendi. Kakinya ikut diluruskan. Tangannya diletakkan ke belakang. Guna menyangga tubuhnya.

"Kenapa belum pulang? Mau nebeng?" tanya Sendi.

Rallin menggelengkan kepalanya. "Nggak. Gue bawa mobil kok," ucapnya.

"Besok ada ulangan dikelas gue. Materinya banyak lagi. Terus ntah kenapa gue ngerasa kayak dikasih wangsit," ucap Sendi menatap lurus ke depan.

Rallin diam. Dia menatap Sendi cengo. "Wangsit apaan?" tanyanya.

"Ya semacam pencerahan kalo besok bu Meta bakal minta ngumpulin catatannya," jawab Sendi.

Rallin menganggukkan kepalanya. Ia paham. Sendi tiba-tiba bangkit. Dia membersihkan tanah yang menempel di celananya.

"Gue kesana dulu. Lo balik sana. Udah sore," pinta Sendi sambil menepuk kepala Rallin kemudian pergi ke tengah lapangan. Berkumpul dengan teman anggotanya yang lain.

Rallin tersenyum menatap Sendi. Begitulah Sendi. Dia sudah seperti kakaknya sendiri. Sendi itu sudah seperti penjaganya disekolah. Dia itu sebelas dua belas dengan Nadiv. Sama-sama nakal dan urakan. Tapi Rallin senang bisa dekat dengan Sendi. Dia lelaki yang penyayang.

Rallin kemudian berjalan. Bukan ke arah parkiran tapi ia berbalik arah ke kelas Nadiv. Harapannya kelas itu belum dikunci oleh satpam. Dan benar saja, saat Rallin tiba disana, tampak satpam sedang memasangkan gembok di pintu.

"Pak! Pak!" teriak Rallin.

Satpam itu menoleh. Kemudian menatap Rallin yang berlari ke arahnya.

"Loh neng Tasha? Belum pulang?" tanya satpam yang bernama pak Juri itu.

Rallin terkekeh. Sejak ia masuk kelas sepuluh, pak Juri sudah memanggilnya Tasha. Saat Rallin bertanya alasannya, pak Juri dengan polosnya menjawab kalau nama Tasha lebih terlihat manis daripada Rallin. Pada saat itu Rallin hanya tersenyum menanggapinya.

"Mau ngambil buku temen pak," jawab Rallin.

Pak Juri kemudian membuka kembali pintu kelas itu. "Yaudah neng, silahkan ambil," ucap pak Juri.

Dengan segera Rallin melangkah masuk. Ia menuju bangku paling belakang dekat dinding. Ia sudah hafal betul kalau Nadiv tidak pernah membawa pulang bukunya. Maka dari itu ia langsung menilik laci meja lelaki itu. Dan benar saja. Disana banyak buku bertumpukan. Rallin yakin kalau semua buku pelajaran Nadiv disimpan disini.

Rallin mengambil semua buku yang ada di laci. Kemudian ia letakkan diatas meja. Matanya mencari tulisan buku sejarah pada sampul depan. Kemudian ia tersenyum mendapatkan apa yang ia cari. Buku dengan sampul biru bertuliskan 'Sejarah'. Rallin kemudian menata dan mengembalikan semua buku Nadiv ke dalam laci.

Ia melangkah keluar kelas sebelumnya ia memasukkan buku Nadiv ke dalam tas bermotif volkadot. Ia menyapa pak Juri kemudian berjalan ke parkiran dan pulang.

Saat malamnya, ia langsung menyalin catatan ke buku Nadiv. Rallin sampai menggelengkan kepalanya melihat betapa bersihnya buku Nadiv. Bahkan lembaran kertasnya saja masih lengket satu sama lain. Itu berarti Nadiv tidak pernah membuka buku ini.

Tak terasa jam sudah menunjukkan satu dini hari. Rallin menghela nafas sambil meregangkan jari-jarinya yang terasa pegal. Matanya sudah sangat sayu tanda ia mengantuk berat. Namun hatinya terus memberi semangat agar bisa menyelesaikan tugasnya. Ia tak mau kalau Nadiv dihukum oleh bu Meta. Ia tahu, guru itu tidak pernah main-main jika memberi hukuman.

Rallin tersenyum senang karena berhasil menyelesaikan tugasnya tepat pukul setengah tiga. Ia segera memasukkan buku Nadiv agar tidak ketinggalan. Sebelumnya ia tersenyum. Setidaknya beginilah cara dia mencintai Nadiv. Tidak akan membiarkan lelaki itu kesusahan selagi ia mampu. Ya walaupun nantinya catatan itu ntah benar dikumpulkan atau tidak, Rallin tidak masalah. Setidaknya untuk berjaga-jaga dan ia yakin pastinya catatan ini akan berguna untuk Nadiv.

Rallin merebahkan tubuhnya ke kasur berseprei gambar wajahnya. Sprei itu dulu hadiah dari ayahnya semasa ia ulang tahun. Perlahan gadis berambut panjang dengan sentuhan warna ungu di ujungnya itu menutup matanya. Semakin lelap membawanya ke alam bawah sadar.

"Woi!" teriak Didan tepat di depan wajah Rallin. Rallin terlonjak kaget dan menatap horor Didan.

"Apaan sih!" kesalnya kemudian mengusap wajahnya kasar. Bukannya apa, hanya saja air liur Didan ada yang muncrat ke wajahnya saat lelaki itu meneriakinya.

"Malah ngelamun lo. Cerita elah. Gue kepo nih," pinta Didan sambil menggoyangkan lengan Rallin. Rallin menepisnya kemudian bangkit dari duduknya.

"Ogah. Dah ah gue mau ke kelas. Bye!" Ucap Rallin sambil mengibaskan rambut ungunya itu ke wajah Didan. Kemudian ia berjalan menuju kelasnya.

"Kampret!" umpat Didan.

***

Bel pulang berbunyi nyaring. Seluruh siswa Grand Nusa bersorak senang dalam hati karena terbebas dari pelajaran yang membosankan. Apalagi jika diberi tugas, dan biasanya tugas yang belum terselesaikan akan dilanjutkan dirumah. Dan itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi para murid. Selain bisa mencontek, mereka juga bisa mencari jawabannya lewat internet.

Hari ini Rallin tidak membawa mobilnya. Ia sengaja, karena niatnya ingin meminta Nadiv mengantarnya. Rallin memasukkan bukunya ke dalam tas ranselnya. Kemudian menyatukan rambutnya yang tergerai menjadi satu. Dan menggulungnya ke atas lalu di kunci dengan jepitan rambut. Ia mengibaskan tangannya membuat angin mengeringkan lehernya yang berkeringat. Akhir-akhir ini, suhu di kotanya memang sedang naik.

"Panas anjir," ucapnya. Kemudian menyampirkan tasnya ke pundak.

"Pulang sama siapa?" tanya Maudi sambil memasang jepit rambut sama seperti Rallin.

"Pangeran dong. Dah ah, gue duluan. Bye!" Rallin langsung melangkah keluar meninggalkan Maudi.

Maudi hanya menggelengkan kepala lalu mengejar Rallin. Ia menyamakan langkahnya dengan langkah Rallin.

"Pulang sama gue aja lah. Ayah jemput tuh," ucap Maudi sambil menunjuk ke arah gerbang.

Rallin mengikuti arah pandang Maudi. Disana ada Hermawan, ayah Maudi. Rallin tersenyum saat Hermawan melambaikan tangan ke arahnya. Kemudian ia kembali menatap Maudi.

"Nggak deh. Kan gue udah bilang mau balik sama pangeran," tolak Rallin.

Maudi menghela nafas. "Yaudah, gue duluan ya," pamit Maudi sambil menarik pelan ujung rambut Rallin kemudian berlari.

"Aduh! Kampret lo!" teriak Rallin yang hanya ditanggapi kekehan oleh Maudi.

Rallin kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas Nadiv. Tampak didepan kelas ada Didan dan Rangga. Rallin berjalan riang menghampiri duo kampret itu.

"Woi!" teriak Rallin sambil merangkul bahu Rangga dan Didan.

"Eh bocah, ngapain disini?" tanya Rangga sambil menonyor kepala Rallin.

Gadis itu mendengus kesal karena tatanan rambutnya sedikit berantakan. Padahal tadi sudah ia sisir rapi. Prinsipnya kalau mau ketemu Nadiv harus tampil cantik. Sudah cantik saja tidak dilirik apalagi kalau ia dekil? Dan sekarang rambut rusak karena Maudi dan Rangga. Menyebalkan.

"Mau balik. Nebeng Nadiv. Dia mana? Masih dikelas ya?" tanya Rallin hendak melongokkan kepalanya ke pintu. Namun buru-buru tasnya ditarik oleh Didan sehingga ia belum sempat melihat kelas Nadiv.

"Apaan sih?" tanya Rallin kemudian kembali melongokkan kepalanya. Namun lagi-lagi tasnya di tarik. Kali ini oleh Rangga.

"Kampret lo berdua. Apaan sih?" tanya Rallin kesal karena dua orang ini menghalanginya.

Rangga tersenyum lebar kemudian merangkul bahu Rallin. Membawanya berjalan. "Nadiv udah balik. Mending lo pulang sama gue," ucap Rangga.

Rallin mengernyit. Nadiv sudah pulang? Ia sedikit tidak yakin. Karena biasanya lelaki itu akan pulang paling terakhir. Rallin menepis pelan tangan Rangga. Kemudian menatap Rangga dan Didan dengan tatapan mengintimidasi.

"Bohong lo ya?" tuduhnya sambil menyipitkan matanya.

"Gak bohong elah," ucap Didan "Udah yok ah," lanjutnya sambil menarik tangan Rallin namun segera di tepis oleh Rallin.

Gadis berombre ungu itu berlari masuk ke dalam kelas Nadiv. Sampainya di ambang pintu dia terdiam. Matanya memanas. Dadanya sesak. Entah kenapa ia merasa pasokan oksigen disini sangat menipis. Hatinya nyeri melihat pemandangan didepannya. Rasanya sakit. Lidahnya kelu hanya untuk sekedar mengucap.

Disana, Nadiv tidak sendiri. Melakukan hal gila yang membuat Rallin harus kembali merasakan sakit untuk kesekian kalinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
sama Sendi bisa gak sih? plot twist
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status