Share

Melancarkan Aksi

12 Oktober 2021.

Hari ini hari dimana aku dan keempat anak buahku yang tidak bisa diandalkan itu akan melancarkan aksi kami, yaitu menculik anak semata wayang Coudry Limantara.

Aku sudah mempersiapkan matang-matang rencana dan strategi yang bagus serta rencana pengganti jikalau ada kendala atau masalah yang tak terduga.

Umar sudah berada di depan sekolah dasar tempat anak Coudry Limantara menempuh pendidikannya. Umar menyamar sebagai pedagang sempol ayam lengkap dengan gerobak dan pakaiannya yang sudah sangat mirip seperti para pedagang jajanan sekolah lainnya.

Aku memilih Umar karena dia sangat cocok dengan pekerjaan yang ku berikan untuknya. Umar sangat mendalami perannya bahkan banyak anak lain yang membeli barang dagangannya.

Sementara Ganan dan Niky yang akan menghadang para bodyguard khusus anak Coudry Limantara. Kemampuan bela diri Niky yang tak diragukan lagi serta kemampuan Ganan dalam mengendarai motor secepat kilat akan memudahkan mereka melawan bodyguard-bodyguard khusus itu.

Sedangkan Marco dan akulah yang akan menculik anak Coudry Limantara. Aku memilih Marco karena memang profesi Marco adalah penculik, jadi ia akan lebih mudah dalam menculik anak tersebut.

Sekitar pukul 12.00 wib, seluruh siswa-siswi sekolah dasar berhamburan keluar. Ada yang sudah dijemput keluarganya, ada juga yang sedang mencari jajanan siang.

Tak lama kemudian terlihat seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang berjalan keluar gerbang bersama dua bodyguard khusus di sampingnya.

“Sempol ayam, sempol ayam, di goreng dadakan cuma seribu-an. Enak, lezat, murah, ayo di beli.”

Tak salah aku memilih Umar menjadi pedagang sempol ayam. Umat benar-benar mendalami perannya sebagai pedagang jajanan sekolah.

“Dek, sempolnya dek. Cuma seribu-an lho,” ucap Umar yang menawarkan sempol ayamnya pada anak Coudry Limantara.

Anak itu terlihat sangat tertarik dengan sempol ayam yang ditawarkan oleh Umar. Aku bisa mendengarnya jelas karena aku dan Marco berada tak jauh dari mereka.

“Paman, aku mau sempol ayam. Aku beli dulu ya,” izinnya pada kedua bodyguard yang setia menemaninya.

“Tapi tuan besar tidak mengizinkan tuan muda untuk membeli makanan sembarangan seperti itu.” Anak itu mendengus kesal mendengar dirinya tak diperbolehkan membeli jajanan kesukaannya itu.

“Tapi aku mau, ayolah boleh kan?” rengeknya.

Kedua bodyguard itu pun akhirnya mengalah. “Baiklah kalau begitu biar kami yaitu membelinya.”

“Tidak perlu, aku saja. Kalian berdua tidak tahu seleraku. Aku mau menuangkan saos sambal sesuai keinginanku,” kekeh anak itu.

Ia lalu berjalan menghampiri Umar sementara kedua bodyguard itu terus saja memperhatikan anak majikannya.

“Bang, aku mau sempolnya dua ya. Tapi sambalnya yang banyak,” ucap anak tersebut pada Ganan. “Siap dek, sempol segera meluncur.” Umar nampaknya sudah bisa membuat anak itu akrab padanya.

Sementara Niky dan Ganan menabrak dua bodyguard yang sedang berdiri di dekat gerbang. Dua bodyguard yang kesal karena ditabrak oleh sepeda motor yang Niky dan Ganan tunggangi akhirnya mengejar mereka dan melupakan anak majikannya yang tengah asyik berbincang dengan Umar.

Dasar bodyguard yang tidak bisa diandalkan, menjaga satu anak saja lalai. Benakku.

Tak butuh waktu lama, akhirnya anak itu melahap sempol ayam yang ada ditangannya dan seketika mengantuk. Umar memang sudah mencampurkan obat tidur ke dalam adonan sempol ayamnya.

Ini waktunya aku dan Marco bertindak. Aku melihat kearah sekitar sekolah yang sudah sepi. Aku pun menggendong anak laki-laki itu dan dibantu oleh Marco lalu membawanya ke mobil yang sudah ku siapkan juga.

Aku menjalankan mobilnya menuju rumah mewah yang diberikan oleh Jeff untuk kami. Ternyata menculik anak Coudry Limantara tak sesulit yang ku bayangkan.

Aku kira menculik anak seorang CEO Limantara Group akan sangat susah, tetapi nyatanya tidak. Bodyguard khususnya pun hanya dua, mereka saja tidak becus menjaga satu anak.

Selalai itukah keluarga Limantara? Sampai-sampai mereka tidak memperketat penjagaan untuk anak semata wayangnya.

**

Anak Coudry Limantara yang bernama lengkap Rafael Limantara itu membuka matanya setelah beberapa jam tertidur pulas.

Rafael mengejapkan matanya melihat kearahku dan empat anak buahku. Rafael menatapku dengan tatapan penasaran. Lalu ia beranjak dari tidurnya dan duduk ditepi tempat tidur.

“Kakak, aku dimana?” tanyanya.

Baik aku maupun keempat anak buahku tidak ada yang menjawabnya. “Kakak, aku lapar. Aku mau makan sekarang juga,” titahnya.

“Kak, aku juga mau mandi air hangat,” lanjutnya. Aku menjadi bingung melihat tingkah anak kecil itu. Mengapa ia tidak menanyakan tentang dirinya yang sedang diculik.

Biasanya anak-anak akan takut jika berada dilingkungan yang asing baginya, tetapi Rafael berbeda. Ia dengan mudahnya menyuruhku dan yang lainnya untuk mengambilkan makanan yang menyiapkan air hangat.

“Kakak! Kok semuanya diam?”

“Kamu itu sedang diculik tahu,” jelas Niky yang juga geram melihat tingkah Rafael.

“Hah! Aku diculik?”

Sepertinya sebentar lagi ia akan teriak ketakutan dan merengek meminta pulang.

“Asyikkk! Aku diculik, yuhuu!”

Aku terdiam seraya melirik ke empat anak buahku, kami saling tatap sejenak melihat tingkah aneh Rafael. Hingga Ganan membulatkan matanya lebar mengetahui sebegitu anehnya anak yang ada dihadapanku ini.

Anak ini berteriak kegirangan bukan ketakutan. Ternyata dugaanku salah, ia tidak takut sama sekali.

Setahuku anak-anak kecil yang diculik akan ketakutan hingga meronta-ronta ingin pulang, tetapi anak ini sungguh berbeda dengan anak kecil yang lainnya.

“Kau tidak takut?” tanyaku.

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Serius, kau tidak takut?” tanya Marco yang ikut memastikan.

“Tentu tidak,” jawabnya lagi.

“Kalian urus anak ini, aku ada urusan,” perintahku kepada ke-empat pria yang berdiri di depanku.

“Kakak ketua penculik, aku mau makan,” ucap Rafael dengan suara nyaringnya.

“Namaku Reyn, bukan kakak ketua penculik.”

“Kak Reyn.”

Baru selangkah aku pergi, Rafael sudah memanggil namaku kembali.

“Ck, ada apa lagi?”

“Aku mau makan dengan kakak, tidak mau dengan kakak-kakak yang itu,” rengeknya seraya menunjuk kearah ke-empat anak buahku.

“Kau benar-benar menyebalkan sekali, ya sudahlah ayo!” Aku menggandeng tangan mungilnya menuju dapur. Kebetulan aku sudah memasak banyak untukku dan yang lainnya.

“Duduklah!”

“Kakak jangan membentakku, aku tidak suka!”

“Terserah!”

Aku pun menyuruhnya duduk di kursi dan mengambilkan sebuah piring serta nasi dan lengkap dengan lauk pauknya.

“Habiskan, jangan sampai ada yang tersisa!” perintahku pada anak kecil yang terbilang menggemaskan, tetapi tetap saja aku tidak menyukai anak-anak. Mereka itu sangat berisik dan membuatku pusing.

“Boleh suapi aku?”

Aku memutar bola mataku malas. Dengan amat terpaksa aku meraih sendok dipiting yang ada dihadapanku dan lalu menyuapinya dengan cepat. Sesungguhnya aku sangat malas meladeni anak kecil.

“Kakak! Jangan buru-buru. Dimulutku masih banyak makanannya,” gerutu Rafael yang tak ku hiraukan.

Ctak!

Aku melempar sendoknya dengan keras karena kesal padanya yang selalu mengaturku. Meskipun anak kecil atau orang dewasa, jika mereka mengaturku maka aku akan marah.

“Habiskan! Jangan membuatku marah!” bentakku padanya.

Anak itu tetap saja tidak merasa ketakutan kala aku membentaknya dengan nada tinggi dan melempar sendok dengan kencang.

Ia justru melanjutkan melahap makanannya tanpa memperdulikan aku yang begitu marah padanya. Memang anak ini sangat aneh sekali.

“Kakak, kalau terus marah-marah seperti itu nanti cepat tua.”

“Mana ku peduli!”

Aku beranjak pergi tanpa memikirkan anak itu yang tengah sendirian di ruang makan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status