Share

Tingkah Yang Aneh

Setelah pusing memikirkan tingkah-tingkah aneh manusia-manusia yang ada di rumah ini, aku memilih merebahkan tubuhku lagi di sofa.

“KAKAK BANJIR!”

Aku terperanjat dari tidurku mendengar teriakkan Rafael yang mengatakan bahwa ada banjir. Dan ternyata aku ditipu mentah-mentah oleh anak bau kencur ini.

“APA KAU SUDAH GILA?”

Rafael hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya tersenyum padaku.

“Kau ini sedang diculik, seharusnya kau takut bukan malah berkeliaran seperti di rumahmu sendiri apalagi sampai berbelanja segala,” celotehku yang tak didengar olehnya.

Ia sibuk menghitungi kemasan es krim yang baru saja ia makan. Percuma aku berbicara panjang lebar jika yang sedang ku ajak berbicara justru mengacuhkanku.

“Kak, hari ini aku sudah makan es krim empat.”

Dengan seenaknya ia mengalihkan pembicaraanku. “Hei, Sebenarnya dari tadi kau mendengar kata-kata ku tidak?”

“Tidak.”

Aku mendengus kesal, ingin sekali rasanya anak ini ku telan habis-habis. “Sana pergi! Jangan menggangguku! Bisa-bisa pecah kepalaku melihat tingkah anehmu,” gerutuku.

Rafael hanya tersenyum melihatku yang baru saja menggerutu terus menerus. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang berbentuk wajah yang sedang menjulurkan lidahnya. Ia pun memberikannya padaku.

“Ini untuk kakak, supaya tidak marah-marah terus.” Rafael meraih tanganku yang meletakkan gantungan kunci itu di telapak tanganku.

Kala ini aku tak bergeming sama sekali. Aku sudah memarahinya dan membentaknya dengan nada tinggi, tetapi ia sama sekali tidak takut atau membenciku. Ia justru memberikan sebuah gantungan kecil padaku.

**

“Kak Reyn, aku mau mandi. Tolong siapkan air hangat,” perintah Rafael padaku. “Tidak ada air hangat, pakai air biasa saja!” jawabku dengan nada tegasku.

“Yah, aku kan sudah biasa pakai air hangat. Ya sudahlah tapi bajuku mana? Nanti aku pakai baju apa. Kakak juga aneh, masa mau menculikku tidak bilang dulu. Kalau bilang-bilang terlebih dahulu setidaknya aku bawa baju ganti yang banyak,” celotehnya tanpa henti yang membuatku malas meladeninya.

“Umar! Niky! Ganan! Marco!” teriakku memanggil keempat anak buahku. Mereka berempat pun segera datang menghampiriku.

“Ada apa kau teriak-teriak, aku sedang tidur siang,” ujar Ganan dengan rambut yang berantakan dan mata merah karena menahan kantuk.

“Kau kenapa teriak-teriak, Reyn? Aku sedang asyik makan dengan Niky,” sambung Umar.

“Rafa ingin mandi, urus perlengkapan mandinya,” perintahku.

“Kita? Memandikan anak ini?” ucap kompak mereka berempat.

“Asyikkkkk ... ayo mandi!”

Rafael sangat senang melihat ekspresi wajah ke-empat anak buahku itu.

“Niky, kau ikut denganku ke toko baju. Anak ini belum punya baju ganti.”

“Siap, Reyn.”

Sementara yang lain memandikan Rafael, aku dan Niky pergi ke sebuah toko baju terdekat.

“Selamat pagi ada yang bisa kami bantu?” ucap pelayan toko dengan begitu ramahnya.

“Kita mau mencari baju anak laki-laki usia 8 tahun,” jawabku.

“Oh untuk anaknya ya, itu sebelah situ. Silakan di pilih. Ada beberapa model terbarunya lho, Mas,” tutur pelayan toko tersebut.

Sedangkan pelayan yang lainnya berbisik-bisik melihatku dan Niky membeli baju anak. “Ih itu kakak-kakak gantengnya sudah punya anak, padahal masih terlihat sangat muda,” bisik salah satu pelayan kepada pelayan lainnya.

“Sekarang jamannya papah muda, contohnya mereka. Masih muda sudah punya anak,” jawab pelayan lainnya.

Aku sama sekali tidak memperdulikannya, aku malas meladeni hal-hal yang menurutku tidak penting. Namun, berbeda dengan Niky. Ia terlihat tidak suka mendengarkan komentar-komentar pelayan-pelayan itu.

“Niky,” panggil seorang perempuan yang mengenal Niky. Perempuan tersebut menghampiri kami.

“Sita, kamu sedang apa disini?” tanya Niky yang juga mengenal perempuan tersebut. “Aku sedang mencari baju untuk adikku,” jawab Sita yang ternyata salah satu teman disosial media Niky.

“Kau sendiri sedang apa? Bukankah kau belum memiliki anak,” lanjut Sita yang telah mengetahui seluk beluk Niky dari sosial medianya.

“Kedua kakak ini membeli banyak baju untuk anaknya,” sela pelayan yang berbicara asal.

“Kau sudah punya anak? Kenapa tidak bilang padaku? Dasar pembohong, kau bilang kau ini masih perjaka nyatanya sudah memiliki seorang anak. Aku tidak mau mengenalmu lagi. Aku akan menyebarkan berita ini disosial mediaku,” geram Sita.

“Sita, aku masih perjaka dan aku belum memiliki anak. Ku mohon kau jangan sebarkan tentang ini disosial mediamu,” rengek Niky yang mirip seperti Rafael yang ingin meminta es krim.

Sita pun berjalan pergi dengan raut wajah yang marah meninggalkan Niky yang masih panik oleh ancaman Sita.

Sedangkan aku masih setia dalam diamku, aku tidak pernah mau mengurusi hal-hal yang bukan urusanku.

“Ini semuanya berapa?” tanyaku pada pelayan.

“Satu pasang pakaiannya seharga seratus ribu rupiah, Kak.”

Aku memberikan sejumlah uang yang disebutkan oleh pelayan toko tersebut.

“Terima kasih, jangan lupa datang kembali.”

**

“Ya tuhan ... Apa salahku? Mengapa ujian yang engkau berikan begitu berat untuk hambamu ini.”

Seluruh mata memandang kearah Niky yang seperti orang gila, berteriak-teriak seorang diri di ruang keluarga. Terkecuali aku, aku yang tengah sibuk memainkan ponselku tak memperdulikannya sama sekali.

“Kau kenapa, Niky?” tanya Ganan.

“Anggap saja orang gila,” ucapku asal tanpa menoleh kearah mereka.

Terlihat Rafael menghampiri Niky yang sedang gelisah seperti anak gadis yang sedang menunggu kekasihnya datang.

“Kak Niky, kau kenapa? Terlihat seperti orang yang sedang gelisah,” tanya Rafael sembari duduk dihadapannya agar menyeimbangkan badannya dengan Niky yang sedang terbaring di lantai.

“Pengikut disosial mediaku turun drastis, ini semua karena ulah Sita yang menyebarkan berita palsu itu,” jelas Niky.

“Ku kira kau kenapa, ternyata hanya permasalahan kecil,” ujar Marco.

“Ada-ada saja kau ini. Ku kira kau kesurupan. Tahu-tahu hanya masalah pengikut sosial media saja,” sambung Ganan.

“Followers itu penting bagi hidupku. Tanpa mereka, aku tidak akan bisa terkenal seperti ini.” ucap Niky dengan begitu kesalnya.

“Aha! Aku punya ide.”

Rafael membisikkan sesuatu ke telinga Niky dan yang lainnya. Aku sama sekali tidak penasaran, aku menghiraukan tingkah laku aneh mereka semua.

Mereka terlihat sedang berfoto bersama di halaman depan dan entah kelakuan aneh apalagi yang akan mereka lakukan hari ini.

“YES FOLLOWERS-KU MENJADI TAMBAH BANYAK!”

Samar-samar aku mendengar suara Niky yang begitu lantang.

PING.

[BIMO]

APA YANG ANAK BUAHMU LAKUKAN? APA KALIAN SUDAH GILA? UNTUK APA MENGUNGGAH FOTO BERSAMA ANAK YANG KAU CULIK! HAPUS SEKARANG!

Aku membelalakkan mataku membaca pesan dari Bimo. Ternyata yang mereka lakukan di halaman depan adalah berfoto bersama dan mengunggah foto tersebut ke sosial media.

Apa mereka lupa bahwa mereka adalah penculik. Aku baru melihat penculik yang berfoto bersama anak yang diculik.

Aku buru-buru menghampiri mereka yang tengah asyik berbincang-bincang di halaman depan.

“NIKY!”

Mereka terlonjak mendengar suaraku dengan amarah yang membara. Mereka saling tatap sejenak, mengetahui jika aku marah besar pasti ada sebab yang besar juga.

“Kenapa kak Reyn terlihat marah sekali? Ada yang merasa membuat salah padanya?” tanya Rafael pada mereka. Meskipun dengan suara yang pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

“Reyn, ada apa?” tanya Marco mewakili yang lainnya. “Niky, mana ponselmu?” tanyaku yang masih dengan raut wajah kesalku.

Niky terdiam sejenak. Perasaannya sudah tidak enak jika berhubungan dengan ponselnya. “Buat apa Ren?” tanya Niky sebelum memberikan ponselnya.

“BERIKAN PADAKU!”

Niky memberikan ponselnya kepadaku dengan terpaksa. Mereka bingung apa yang akan aku lakukan dengan ponsel Niky. Aku menghapus unggahan disosial media Niky dan lalu membanting ponselnya ke lantai.

Ctakkkkk!

Mulut Niky membulat sempurna melihat ponsel kesayangannya dibanting begitu saja ke lantai.

“Ponselku, malangnya nasibmu.” Niky menatap ponselnya yang sudah hancur di lantai dengan miris. “Reyn, mengapa kau melempar ponselku, ponselku itu sangat berarti bagiku,” protes Niky.

“Apa kalian lupa kalian ini adalah penculik, untuk apa penculik berfoto dengan anak yang kau culik lalu kau unggah foto tersebut kesosial mediamu? Kau sudah gila? Hah!”

Niky menundukkan kepalanya karena tahu jika dirinya memang bersalah.

“Kau mengetahuinya dari mana? Bukankah kau bilang kau tidak suka bermain sosial media?” tanya Marco.

“Bimo yang memberitahuku.”

“Kak Reyn, tak perlu memarahi kak Niky. Ini bukan salahnya, ini salahku. Aku yang menyarankan untuk berfoto bersamaku.” Aku menatap tajam kearah Rafael. Aku memang sudah kesal dengannya sejak awal penculikan.

“DAN KAU! KAU INI SEDANG DICULIK! SEHARUSNYA KAU TAKUT BUKANNYA MALAH SENANG!”

Aku kembali memasuki rumahku dan meninggalkan mereka semua yang masih terdiam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status