Share

Dania Amanda

Aku mengambil pakaian kotor yang tergeletak begitu saja di kamarku. Senin pagi ini, aku habiskan untuk mencuci pakaianku yang sudah bertumpuk dan hampir menjulang tinggi.

Aku lebih suka mencuci pakaianku sendiri daripada harus pergi ke laundry kiloan yang ada di dekat rumah. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini.

Jika pria seusiaku di luar sana mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ada yang bekerja di kantor, ada yang berwirausaha dan ada juga yang bekerja serabutan.

Berbeda denganku, aku ini pengangguran yang kaya raya. Meskipun tak punya pekerjaan tetap, tetapi aku bisa merasakan hidup mewah dari kekayaan tuan Jeff.

Setelah selesai mencuci pakaian yang sebanyak gunung karena hampir seminggu lebih tidak ku cuci, aku melanjutkan memasak untuk orang-orang malas yang ada di rumah ini.

Satupun dari mereka tidak ada yang bisa memasak, hingga akhirnya aku juga yang harus memasak untuk mereka. Terkadang aku juga bingung, sebenarnya siapa yang ketua dan siapa yang anak buah di sini.

Bisa saja aku membeli makanan siap saji yang bisa diantar langsung ke rumah, tetapi aku tidak menyukai yang seperti itu. Aku lebih suka memasak sesuai keinginanku dan cita rasa yang sesuai dengan lidahku.

Aku menggerutu kesal ketika aku membuka pintu kulkas, tetapi aku tidak menemukan bahan makanan apapun di dalamnya.

“Apa Bimo lupa mengirimi stok persediaan dapur,” gerutuku seorang diri.

Terpaksa aku harus pergi ke supermarket terdekat untuk mencari bahan-bahan kebutuhan dapur. Tak lupa aku juga membangunkan lima manusia yang tengah tertidur pulas di ruang keluarga.

Aku menahan tawaku melihat posisi mereka tertidur. Kaki Ganan yang ada di atas punggung Marco, tangan Niky yang dipeluk erat oleh Umar serta perut gendut Umar yang tak tertutup oleh bajunya. Nasibku buruk sekali mempunyai anak buah seperti mereka.

Aku mengambil peluit mainan milik Rafael yang terletak di atas meja. Aku pun membunyikannya dengan amat keras sehingga mereka terperanjat dari tidurnya.

Priitttt!

Aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka yang sangat terkejut.

Apa?

Tertawa?

Aku hampir lupa kapan terakhir aku tertawa. Mengapa bisa aku ingin tertawa melihat mereka. Apa ada yang salah denganku? Aku tidak terbiasa tertawa, aku lebih terbiasa memaki-maki orang.

Satu detik kemudian aku menghentikan tawaku sebelum mereka menyadarinya dan mengganti raut wajahku menjadi seperti semula.

“Bangun! Sudah pagi, kalian benar-benar pemalas!” ocehku pada mereka. Sementara mereka hanya terdiam, ada yang menguap dan ada juga yang masih mengantuk.

“Cepat mandi! Setelah itu kita pergi ke supermarket terdekat.”

“Asyik, aku mau pergi es krim yang banyak,” ucap Rafael yang sangat gembira.

**

Aku dan mereka pun pergi ke sebuah supermarket yang jaraknya dekat dengan rumah. Aku sedang sibuk memilih sayur-mayur. Ganan, Marco dan Niky sedang berdebat tentang wortel impor dan lokal. Sementara Umar dan Rafael tengah mencari nugget ayam sesuai kesukaan mereka.

Usai memilih sayur-mayur, kami berenam berjalan menuju tempat makanan ringan untuk persediaan kulkas yang sudah habis.

Saat melewati bagian mainan, pandangan Rafael tertuju pada sebuah mainan robot yang terpajang di rak yang tersusun rapi. Karena terlalu senang, Rafael berlari dan menabrak seorang perempuan hingga Rafael terjatuh.

Aku yang melihatnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah aneh anak itu. Aku pun menghampiri Rafael dan perempuan tersebut.

“Suruh siapa kau berlari seperti itu, kau jadi jatuh kan!” omelku padanya. Rafael mengelus kakinya yang sepertinya sangat sakit.

“Mbak, maafkan anak ini ya. Dia memang sangat menyebalkan,” ucapku pada perempuan yang ditabrak oleh Rafael. Perempuan tersebut menatapku dengan tatapan penasaran. Sepertinya ia mengenalku, tetapi aku sama sekali tidak mengenalnya.

“Reyner.”

Perempuan berbaju merah itu menyebut namaku bahkan dengan nama asliku. Ia benar-benar mengenalku, tetapi aku tidak mengenalnya. Seingatku, aku tidak pernah berkenalan dengan perempuan akhir-akhir ini.

Semenjak hidupku yang sudah tidak berarti ini, aku menutup diriku untuk yang namanya perempuan bahkan teman hanya seadanya saja dan itu pun untuk formalitas belaka, tidak ada yang namanya teman sejati atau cinta sejati dalam hidupku.

Lalu siapa perempuan ini?

Ia tersenyum padaku. Wajahnya memang cantik dan saat tersenyum pun bertambah lebih cantik.

“Kau siapa?” tanyaku yang benar-benar tidak mengenalnya.

“Reyner, kamu lupa denganku? Astaga, jahat sekali.”

Perempuan itu bilang aku lupa dengannya, apa memang aku pernah mengenalnya. Dan ia mengatakan bahwa aku jahat. Ingin aku rasanya mengatakan bahwa aku memang penjahat.

“Sebenarnya kau siapa? Aku tidak pernah mempunyai teman perempuan, mungkin kau salah menyebut orang,” ujarku.

“Ck, kau benar-benar lupa padaku. Dasar patung es yang menyebalkan,” gerutunya padaku.

Patung es?

Aku seperti tidak asing dengan sebutan itu, tetapi aku masih belum mengingat jelas siapa perempuan cantik ini.

“Aku Dania, dasar bodoh.”

Ia mengatakan bahwa namanya Dania. Apa aku pernah mempunyai teman yang bernama Dania. Setahuku temanku seluruhnya laki-laki.

“Dania Amanda, apa kau masih lupa.”

Aku membulatkan mataku saat aku sudah mengingatnya. Dania Amanda, ia adalah teman kecilku sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar. Hanya dia temanku satu-satunya waktu itu. Karena aku memang tidak mudah bergaul dengan teman lainnya.

Aku tak percaya akan bertemu dengannya kembali setelah lima belas tahun tidak berjumpa. Ditambah dengan penampilan Dania yang sudah berubah menjadi semakin cantik.

“Dania? Kau benar-benar Dania, anak perempuan yang dulu selalu mengajakku bermain meski kau tahu aku ini susah berbicara dengan orang asing.”

Dania menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis padaku. “Dasar patung es yang suka menyendiri di kelas, apa kau melupakanku?” tanyanya.

Aku tertawa mendengar Dania masih menyebutku dengan sebutan 'Patung Es'.

Sebutan itu ia gunakan ketika kami masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Aku memang seorang pendiam yang tak punya satupun teman. Hanya Dania yang menghampiri tempat dudukku dan menyapaku hingga mengajakku bermain bersama. Maka tak heran jika dirinya menyebutku dengan sebutan 'Patung Es’.

“Tadinya aku memang sudah lupa denganmu karena sudah lama sekali kita tidak berjumpa, terakhir berjumpa saat kita kelas lima,” jelasku yang kini sudah mengingatnya kembali.

“Setelah itu kau kemana? Mengapa tidak melanjutkan sekolahmu? Apa kau pindah sekolah?” tanyanya yang bertubi-tubi.

“Ibuku dan ayahku sudah meninggal karena kecelakaan yang menimpa kami. Semenjak itu aku tinggal seorang diri. Rumah kontrakan yang kami tempati pun sudah habis jatuh temponya. Waktu itu aku masih berusia 10 tahun, anak sepuluh tahun tidak punya uang banyak untuk membayar sewa kontrak rumahku hingga terusir dari rumahku dan hidup di jalanan seorang diri. Bahkan sanak saudara pun aku tidak punya,” jelas panjangku padanya.

Dania terdiam sejenak mencerna setiap perkataanku atau justru ia sedang iba padaku. “Maaf aku tak tahu mengenai berita itu, aku dan pihak sekolah sudah menghubungimu dan keluargamu tapi tidak ada jawaban. Aku kira kau pindah ke luar kota dan melupakanku begitu saja.”

“Bahkan aku tak punya ponsel waktu itu,” sela-ku.

Dania memperhatikan penampilanku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku menjadi salah tingkah saat dia menatap sedemikian rupa.

“Kau banyak berubah sekarang, jadi lebih tinggi daripada dahulu,” ledeknya padaku.

“Hey, jangan bilang kalau dulu aku pendek,” protesku tak terima dengan pernyataannya. Namun, aku mengakui bahwa sejak kecil aku memang pendek serta kurus. Tidak seperti saat ini.

“Ya memang begitu kenyataannya.”

Aku mendengus kesal mendengarnya, sedangkan ia malah tertawa.

“Ehem!”

Aku dan Dania sama-sama menoleh kearah Rafael. Aku sampai lupa jika dari tadi ada Rafael di samping kami.

“Apa kalian lupa ada aku di sini?” tanya Rafael sembari menyindir kami berdua.

“Reyner, dia siapa? Anakmu? Apa sekarang kau sudah menikah?” tanya Dania yang melontarkan banyak pertanyaan sekaligus padaku.

“Bu-bukan, dia bukan anakku dan aku belum menikah. Dia Rafael, anak temanku,” ucap bohongku. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa ia adalah anak yang berhasil ku culik.

“Aku bukan anak temannya, aku ini di ... ”

Belum usai Rafael mengucapkan kata-katanya, aku segera membekap mulut kecilnya karena aku tahu apa yang akan ia katakan. Ia pasti akan mengatakan bahwa dirinya bukan anak temanku melainkan anak yang sedang ku culik. Aku sudah bisa menebak isi hatinya.

“Kamu ini apa?” tanya Dania penasaran.

“Dia ini tinggal denganku saat ini, sampai orang tuanya kembali,” jawabku yang kembali berbohong.

Aku menatap tajam kearah Rafael sembari mengisyaratkan kepadanya agar tidak mengatakan yang sebenarnya pada Dania. Rafael hanya meringis menunjukkan gigi-gigi putihnya.

Tak lama kemudian, keempat anak buahku datang menggangguku bersama Dania. “Kau ternyata di sini, Reyn? Kami semua mencarimu dan ternyata kau sedang asyik berpacaran dengan perempuan cantik,” ucap Ganan.

“Oh iya Dania, perkenalkan ini teman-temanku. Ini Ganan, itu Marco, Niky dan Umar.” Aku memperkenalkan anak buahku sebagai teman di hadapan Dania.

“Hai, namaku Dania. Aku ini teman Reyner semasa sekolah dasar.”

“Oh jadi kau begini ya Reyn, kau bilang jangan panggil aku Reyner, cukup panggil aku Reyn. Tapi saat perempuan cantik ini memanggil namamu Reyner, kau tidak mempermasalahkannya. Huh! Dasar tidak adil,” celoteh Umar yang memperagakan ucapanku tempo hari.

“Apa benar begitu, Reyner? Mengapa kau tidak suka jika orang memanggil nama lengkapmu?” Kini aku tak bisa menjawab pertanyaan Dania. Ini semua karena mulut Umar yang seenaknya berbicara macam-macam tentangku.

Aku memang tak pernah suka jika namaku disebut dengan lengkap, alasannya karena nama Reyner sangat buruk untukku. Aku tahu itu nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku, tetapi nama itu juga yang membuatku menjadi layaknya sampah di muka bumi ini.

Semenjak usiaku 17 tahun, aku bertekad mengubah namaku menjadi Reyn saja. Kala itu aku sudah mendapat pekerjaan meski hanya menjadi seorang kuli panggul di pasar.

“Bukan begitu, aku hanya sudah terbiasa dengan sebutan Reyn.”

“Baiklah mulai sekarang aku akan memanggilmu Reyn juga, agar semuanya adil.”

“Terserah kau saja. Setelah ini kau mau kemana?” tanyaku.

“Ya ampun aku sampai lupa aku harus pergi ke rumah tanteku, aku pamit dulu ya,” pamitnya padaku dan keempat anak buahku.

“Tunggu! Jika aku ingin bertemu denganmu, aku harus kemana? Apa tidak bisa kau tinggalkan nomor ponselmu untukku?”

Dania menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Kau percaya takdir, Reyn?” Aku bingung harus menjawab apa karena aku sama sekali tidak mempercayai takdir. Takdir macam apa yang membuatku sengsara seperti ini. Namun, aku hanya mengangguk saja.

“Kalau kau percaya dengan takdir, aku yakin suatu saat takdir pasti akan mempertemukan kita kembali. Aku pergi dulu ya,” pamitnya yang lalu melangkah pergi.

Aku masih menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.

“Sudahlah, Reyn. Orangnya sudah jauh, masih saja kau memperhatikannya seperti itu,” pungkas Niky.

“Diam! Ayo pulang!”

Aku kembali memasang wajah datarku kepada mereka. Mereka pun mengikuti langkahku. Aku berharap perkataan Dania benar, bahwa suatu saat kita pasti akan bertemu kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status