“Ayam goreng sudah matang, ayo makan, makan, makan ... ”
Aku menutup telingaku mendengar suara nyaring Umar yang sedang bernyanyi di meja makan seraya memukul-mukul meja menggunakan sendok dan garpunya.
“Berisik sekali kau!” bentak Niky.
Ternyata bukan aku saja yang merasakannya, ketiga teman-teman Umar pun juga merasakan hal yang sama. Mungkin hanya Rafael yang tidak menghiraukannya karena ia sedang sibuk dengan robot yang baru saja ia beli.
“Bisa diam tidak! Atau kau mau aku goreng di dalam minyak panas ini!” ancamku agar Umar menghentikan nyanyiannya itu.
Umar segera membekap mulutnya sendiri, karena mungkin ia takut aku benar-benar melakukannya. Padahal aku hanya menggertaknya saja.
Aku kembali melanjutkan acara memasakku yang sempat terganggu oleh suara berisik Umar. Sementara mereka sedang menunggu makanannya matang. Aku seperti pembantu yang sedang melayani majikanku.
Setelah selesai aku memasak banyak menu hari ini, lalu aku menyajikannya di meja dan kami memakannya bersama. Ini adalah kegiatan rutin kami setiap hari.
Kami seperti bukan penjahat, melainkan mirip seperti keluarga harmonis. Dimana aku adalah ibunya yang merawat lima anak ayam yang tengah kelaparan. Sial sekali nasibku ini.
Drrtt!
Aku meraih ponselku yang berdering terus-menerus dan lalu menjawab panggilan telepon dari Andika, temanku.
“Halo, Ada apa?”
“Reyn! Gawat! Mereka kembali lagi mengancam kita. Mereka ada di sini. Rico dan Ali sudah tewas terbunuh oleh mereka. Mereka sekarang memberontak dan terus mencarimu, datanglah!”
“Baiklah, Aku akan menemuinya.”
Tut!
Aku memukul meja dengan begitu kencangnya hingga kelima manusia yang sedang enak-enaknya makan siang tiba-tiba terkejut.
Aku sama sekali tidak memikirkan mereka yang terkejut karena ulahku, aku masih tak terima jika para perusuh itu membunuh kedua temanku.
“Kak Reyn, kau kenapa?”
Aku meraih kunci mobil dan bergegas pergi tanpa menghiraukan perkataan Rafael yang terdengar samar-samar di telingaku.
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke tempat tujuanku, gedung kosong yang menjadi tempat singgahku selama ini bersama teman-temanku.
Setengah jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di gedung tersebut. Aku tidak melihat siapapun di sini. Gedung kosong ini terlihat sangat sepi.
Aku pun memasuki gedung tersebut hingga mataku tertuju pada dua orang yang terkapar di lantai dengan darah segar yang mengalir disekujur tubuh mereka.
Aku mengenal jelas kedua wajah mereka. Mereka adalah Rico dan Ali, teman-temanku. Aku mengepalkan tanganku erat ketika mengetahui ini semua ulah para perusuh itu.
“Hey! Siapapun kau! Keluarlah! Aku tahu kau masih ada di sini!” teriakku yang menggema ke seluruh penjuru gedung.
Prok ... Prok ... Prok ...
“Selamat datang, Reyner Zelyoorh.”
Aku menoleh ke sumber suara dan ku dapati seorang pria yang sedang bersandar di dinding seraya menatapku dengan tatapan kebenciannya.
“Kau!”
“Iya, ini aku.”
Bugh!
Aku memukulnya dengan keras hingga mengalir darah segar di pelipisnya. Pembuat onar itu memang pantas mendapatkan pukulan dariku.
“Kau tak pernah berubah, Reyn.”
“Tak perlu basa-basi, apa maumu?” tanyaku dengan amarah yang sudah memuncak. “Aku mau kau mati ditanganku, setelah dulu kau berhasil lolos dariku.”
Pria itu memang selalu besar kepala, ia selalu merendahkan orang lain demi dirinya sendiri. Ku sunggingkan seulas senyum sinis padanya.
“Kau kira kau siapa? Kau bukan malaikat maut, kau hanya seorang pecundang yang menginginkan harta dan tahta, tetapi tidak mempunyai kemampuan apapun. Bahkan cara berkelahimu saja sangat amatir.”
Aku tak peduli wajahnya yang sudah merah padam, aku tetap menghinanya. Aku suka melihat si pecundang itu murka.
“KAU TERLALU BANYAK BERBICARA, REYN! RASAKAN INI!”
Bugh!
Ia sudah terpancing emosi mendengarku yang tak henti-henti menghinanya. Satu pukulannya melesat tepat mengenaiku hingga sudut bibirku berdarah.
Kali ini aku biarkan ia membuat luka di bibirku, tetapi setelah ini tidak akan ku beri ampun si pecundang itu.
Ia mengambil pisau belati yang ada didekatnya. Ia kembali melawanku seorang diri. Namun, aku berhasil menangkis seluruh pukulannya.
Kini ia mengarahkan belatinya kearah wajahku. Aku sebisa mungkin menghentikan tangannya dan belati tajam itu berhenti lima centimeter dari mataku.
Aku tidak akan segan-segan mematahkan tulangnya jika ia berani membuat mataku terluka. Aku memutar tangannya hingga belati itu terjatuh.
Prang!
Secepat mungkin aku meraih belati yang jatuh didekatku dan mengarahkan ke matanya.
“Kali ini posisi kita satu sama,” ujarku yang merasa menang dari Aryo, si pecundang yang dari tadi melawanku.
Dulu Aryo adalah temanku saat aku masih berusia 15 tahun. Namun, setelah aku dan Aryo berhasil masuk ke dunia gelap kami. Ia justru dibutakan oleh perasaan dengkinya padaku.
Ia merasa aku lebih unggul darinya. Bahkan para petinggi-petinggi itu lebih mempercayaiku untuk menghabisi musuh bisnisnya.
Semenjak itu Aryo membenciku dan kami menjadi musuh abadi.
“Cih! Tak sudi aku disamakan dengan kau yang tega membunuh tuanmu sendiri,” decak kesalnya.
Memang aku pernah membunuh majikanku karena ia mengkhianatiku dan memanfaatkanku untuk kepentingan pribadinya. Aku adalah pembunuh bayaran, maka tak heran jika dengan mudah aku bisa menghabisi siapapun juga termasuk orang yang berada dihadapanku ini.
"Jangan banyak bicara. Matilah kau, pecundang!"
Srekk!
“Aarghhhh”
Pisau belati yang ia bawa kini telah melukai tuannya sendiri. Inilah yang dinamakan senjata makan tuan.
Bersimbah darah segar yang mengalir ke seluruh lantai gedung. Bahkan percikan darah itu mengenai baju dan lenganku.
Aku berhasil merobek perut atletisnya itu, sesuai dengan luka yang ada pada kedua temanku yang sudah ia bunuh.
Sesekali ku tatap wajah mantan temanku itu yang sudah berlumuran darah.
“Sial, aku harus membuang bajuku ini,” gerutuku.
Aku melempar belati itu dengan sembarangan dan melangkah pergi. Namun, baru selangkah pergi aku sudah dihadapkan dengan pemandangan yang kurang menarik.
Aryo ternyata tidak datang seorang diri, ia membawa banyak pasukannya yang juga telah siap dengan senjatanya masing-masing.
Sepertinya Aryo memang sangat berniat untuk membunuhku, hingga ia sudah mempersiapkan semuanya sedemikian rupa. Mereka kira aku akan takut menghadapi mereka yang berjumlah banyak. Tentu tidak.
“Sialan! Berani-beraninya kau membunuh Aryo. Akan ku balaskan dendamnya padamu,” ucap salah satu dari mereka.
Sreeng!
Aku menundukkan kepalaku saat salah satu dari mereka menyerangku dengan parang panjangnya. Untung saja aku berhasil menunduk. Jika tidak, mungkin kepalaku sudah terpisah dengan tubuhku.
“Wow, untung saja aku bisa menunduk dengan cepat. Jika tidak, kepalaku ini bisa terpisah dengan tubuhku. Seranganmu benar-benar dahsyat, Bung.”
“Jangan banyak bicara kau!”
Mereka kembali menyerangku tanpa aba-aba terlebih dahulu. Untungnya aku bisa melawan serangan demi serangan yang mereka berikan. Mereka memang curang, jumlah mereka yang banyak melawanku yang hanya seorang diri
Kali ini biarkan aku yang memberikan pukulan dahsyatku untuk mereka. Bermodalkan tangan kosong, aku mampu melawan mereka yang berjumlah lebih dari lima.
Bugh!
Salah satu dari mereka memukulku dari belakang hingga ku tersungkur ke depan.
Dengan buru-buru aku kembali bangkit sebelum parang panjang itu mengenai perutku.
"Sial! Beraninya kau menyerangku dari belakang!"
Mereka kembali menyerangku. Aku mulai kewalahan menghadapi mereka semua. Tubuhku juga merasakan remuk karena melawan mereka semua seorang diri.
Aku berniat pergi dari tempat itu sebelum aku mati konyol ditangan mereka. Namun, mereka tak membiarkanku pergi begitu saja. Mereka menghalangiku untuk pergi.
"Hendak kemana, Tuan?"
"Sial! Beraninya kalian menyerangku seorang diri. Sepertinya kau bukan lelaki, beraninya hanya ramai-ramai saja. Coba kau lawan aku seorang diri, akan ku pastikan kau mati ditanganku. Seperti ketuamu itu!"
"Maka dari itu aku tidak melawanmu seorang diri. Aku pun tak mau mati sia-sia ditanganmu. Aku lebih pintar darimu, bukan?"
Mereka memang sangat menyebalkan. Aku berusaha untuk melawannya kembali meskipun aku sudah kewalahan.
Jlebb!
“Arghhh!”
Aku dapat membunuh dua dari mereka dengan parang panjang yang berhasil aku rebut dari mereka. Namun, ada empat orang lagi yang masih sanggup melawanku.Salah satu dari mereka mengarahkan pistol kearah kepalaku. Kini aku terdiam tak bisa melawan, satu langkah saja peluru itu bisa menembus ke otakku.“Bagaimana? Apa kau menyerah?” tanyanya.Aku tidak menjawab pertanyaan konyolnya itu sama sekali. “Satu detik lagi akan ku bunuh kau seperti kau yang telah membunuh Aryo,” ancamnya.Ctakk!Ketika ia akan menembakkan peluru itu kearahku, tiba-tiba ada kaki jenjang yang menendang pistol itu hingga melayang diudara dan jatuh ke lantai.Aku menoleh kearah pemilik kaki jenjang itu yang ternyata adalah Marco. Tidak hanya ia sendiri, bahkan seluruh anak buahku datang untuk menolongku. Ternyata ada gunanya juga mereka, selain hanya
Ternyata yang sedang mereka bicarakan semenjak tadi adalah Rafael.“Rafael? Ada apa dengan anak itu?” tanyaku yang menjadi sangat penasaran.“Kita sering melihat banyak bekas luka ditubuhnya. Ada yang dipunggung, ada yang ditangan dan juga ada yang dikaki. Lukanya mirip seperti luka karena benda tajam, sepertinya Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini,” jelas Umar.“Kekerasan fisik? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?” tanyaku.“Tuan bos, kau tidak pernah memandikan anak itu. Selalu kami yang memandikannya. Jelas kami melihat luka-luka itu. Jika kau tak percaya kau bisa memandikan anak itu agar kau percaya,” usul Marco.Aku menjadi semakin penasaran dengan perkataan mereka. Aku ingin sekali menanyakan langsung kepada Rafael sekaligus memastikan apakah benar Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini, tetapi bukan
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib. Aku masih belum mengantuk. Seharian aku tidak berbicara dengan Rafael dan keempat anak buahku karena aku masih sangat kesal padanya.Namun, setelah aku pikir kembali. Ternyata semua ini bukan murni kesalahan Rafael. Andaikan saja aku tidak mengambil air minum, mungkin saat ini fotoku masih utuh.Apakah tadi siang aku terlalu keras memarahinya. Aku menjadi merasa bersalah karena telah membentak Rafael hingga ia menangis tersedu-sedu.Aku melangkah menuju kamar Rafael untuk meminta maaf kepadanya. Namun, aku tidak menemukannya di kamar. Aku kembali mencari Rafael di sekeliling rumah.Hingga pandangan mataku mengarah ke kolam renang, aku melihat Rafael yang sedang duduk ditepi kolam renang. Ia tampaknya masih sedih karena kejadian tadi siang.Aku berdiri di tempatku tanpa menghampirinya sama sekali. Aku masih ingin melihatnya da
Drrttt!Aku mengambil ponsel disaku celanaku dan melihat siapa yang meneleponku. Tertera nama tuan Jeff dilayar ponselku yang menyala terang. “Mau apa si tua bangka ini,” gerutuku.“Halo, ada apa, Tuan?”“Bodoh! Kenapa dia bisa celaka. Dia adalah asetku untuk menghancurkan Coudry Limantara.”Aku berpikir sejenak mengapa tuan Jeff bisa mengetahui kejadian yang menimpa Rafael. Aku pun teringat pada CCTV yang terpasang diseluruh penjuru rumah.“Mengapa diam?”“Baiklah, aku akui itu memang murni kesalahanku. Aku yang telah lalai menjaga dia.”“Kali ini aku maafkan, tetapi jangan sampai aku tahu anak itu celaka lagi. Kecuali itu perintahku.”“Maksudnya?”“S
Hari ini Rafael sudah dibolehkan pulang dari pihak rumah sakit. Keadaan Rafael pun sudah berangsur membaik setelah tiga hari ia dirawat di rumah sakit.“Kak Reyn, aku mau es krim,” pintanya padaku yang sedang merapikan pakaian Rafael ke dalam tas ranselnya.“Iya Reyn, aku juga mau es krim,” sambung Umar.“Tidak boleh, kamu masih sakit,” ucapku dengan raut wajah datarku yang sudah kembali seperti semula.“Kak Reyn, bukankah kau sudah berjanji padaku, ayolah aku sangat ingin es krim,” ujar Rafael dengan wajah memelasnya.“Kapan aku berjanji? Sudahlah ayo pulang!” ucapku yang pura-pura lupa dengan perkataanku waktu itu.“Reyn, tidak apa-apa kalau Rafael ingin es krim. Keadaannya juga sudah sangat membaik, yang terpenting jangan terlalu banyak.” Aku hanya pasrah saat Dania mengi
Breaking News!Telah terjadi kecelakaan maut di kilometer 17 tol Jagorawi yang telah memakan tiga korban jiwa sekaligus. Dua diantaranya meninggal dunia di tempat. Satu korban lainnya dilarikan ke rumah sakit terdekat.Korban yang masih hidup adalah pengusaha ternama di Indonesia yang berinisial CL. Korban dilarikan pada dini hari pukul 00.05 wib di rumah sakit Cenita Medika. Kondisi terkini dari pihak keluarga mengatakan bahwa korban tengah mengalami kritis.Sampai saat ini belum juga diketahui penyebab dari kecelakaan lalu lintas tersebut, polisi masih menyelidiki lebih lanjut mengenai kasus ini.Klik!Aku mematikan siaran berita ditelevisi. Aku memang sedang tidak ada kegiatan, sehingga aku memilih meluruskan kakiku disofa sembari menggonta-ganti program televisi. Namun, tid
Grekk!Rafael menarik salah satu kursi di ruang makan dan ia mulai mendudukinya. Rafael menatapku yang sedang memakan makananku dengan seulas senyum kecil dari sudut bibirnya."Kenapa kau senyum-senyum seperti itu padaku?” Rafael tak menjawab pertanyaanku, ia meraih piring yang sudah tersedia di atas meja makan serta mengambil nasi dan lauk pauknya. Lalu ia memakannya dengan santai tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku pun sama, tidak menghiraukannya juga.“Kak Reyn, untuk apa kau menculikku? Apa aku begitu berharga bagimu? Padahal aku ini tidak punya apa-apa.”Aku yang sedang menikmati makananku tiba-tiba dihadiahkan dengan pertanyaan Rafael yang tidak bisa aku jawab. “Makanlah! Kau tak perlu banyak bertanya. Kau harusnya bersyukur karena aku tidak menyakitimu. Jarang sekali penculik sepertiku, bukan?”“Tapi aku sangat yakin jika kakak
“Ja-jadi kau tetangga baruku,” ucapku seraya menetralkan suasana hatiku yang benar-benar terkejut melihat Dania kini telah menjadi tetanggaku. “Iya sesuai yang aku katakan waktu itu kalau sebentar lagi aku akan pindah, tapi aku tidak menyangka jika kau adalah tetanggaku. Maaf ya kalau aku jadi mengganggu istirahat kalian karena baru sempat hari ini,” jelas panjangnya. Aku menjadi merasa tidak enak hati karena telah meneriaki Dania seperti tadi. Jika dari awal aku tahu tetangga baruku adalah Dania, sudah pasti aku membantunya bukan justru memarahinya. “Tidak apa-apa kok, aku yang harusnya minta maaf. Aku kira kau ini tetangga-tetangga menyebalkan yang selalu berjoget dangdut di depan rumahku,” jawabku sembari menggaruk tengkukku. Keempat anak buahku menatap lekat kearahku, sepertinya mereka merasa tersindir atas ucapanku tadi. “Asyik, ada kak Dania sekarang, yeah nanti beli es krim lagi,” ujar