Share

Anak Aneh

“Kakaakkk!”

Baru saja aku memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku di sofa. Anak itu kembali berteriak kencang hingga membuatku terbangun untuk yang kesekian kalinya.

Jika bukan karena perjanjianku dengan tuan Jeff, sudah ku kembalikan anak itu ke tempat asalnya.

“Ganan! Niky! Umar! Marco!” teriakku memanggil seluruh anak buahku. Mereka pun bergegas menemuiku dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa, Reyn?”

“Urus anak menyebalkan itu, aku ingin tidur!” titahku.

“Siap, Reyn. Serahkan semuanya kepada kami.”

Entah dengan cara apa, mereka mampu membuat anak itu bermain dengan tenang tanpa suara gaduh sedikitpun.

Aku mengurungkan niatku untuk merebahkan tubuhku kembali, aku meraih ponselku di meja dan mencari kontak Bimo lalu menghubunginya.

“Halo Bimo, aku sudah berhasil menculik anak Coudry Limantara.”

“Iya aku sudah mengetahuinya.”

“Lalu tunggu apa lagi? Ambil anak ini dan mana saham yang tuanmu janjikan untukku.”

“Sabar dulu, tuan Jeff memintamu untuk menjaga anak itu sampai waktu yang tepat. Sampai tuan Jeff mempunyai cara untuk menghancurkan aset berharga Coudry Limantara.”

“Gila ya kau! Aku tidak sudi! Perjanjianku dengan tuanmu hanya sebatas menculik saja, tidak tertulis aku yang menjaganya.”

“Ini perintah tuan Jeff dan kau sudah menandatangani perjanjian itu, yang dimana di dalam surat perjanjian itu tertulis jika kau akan menuruti perintah tuan Jeff.”

“Ck, tuanmu benar-benar menyebalkan sekali. Dengan terpaksa aku harus mengikuti perintahnya. Sialan!”

Tut!

Aku memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Aku sudah terbawa emosi mendengar tuan Jeff berani-beraninya mempermainkanku dan memanfaatkanku untuk kepentingan pribadinya.

Brak!

Aku memukul meja dengan begitu kencang karena emosiku yang tiba-tiba saja tak bisa terkontrol.

“Seenaknya saja tua bangka itu mau memanfaatkanku,” gerutuku kesal. Sejujurnya aku tidak sudi mengurusi anak kecil tak tahu diri itu. Aku adalah pembunuh bayaran ternama bukan pengurus anak kecil.

Keempat anak buahku dari tadi berdiri tak jauh dari tempatku, mereka menyaksikan langsung amarahku yang meledek seketika. Mereka tetap terdiam tanpa mengatakan apapun.

“Kalian! Untuk apa berdiam diri di situ! Pergi, urus saja anak tak tahu diri itu! Jangan menggangguku!” bentakku pada mereka berempat.

Mereka bergegas pergi mengetahui aku yang sedang marah besar, mereka tak mau membuatku semakin marah.

**

Kring! Kring! Kring!

Aku meraih jam weker yang ku letakkan di atas meja dan mematikan alarm yang terus saja berbunyi hingga membuat telingaku berdenging mendengarnya.

Aku mengucek mataku yang masih sangat mengantuk, sesekali ku lihat kearah jendela yang sudah amat silau. Sinar matahari itu masuk melalui celah-celah jendela kecil yang ada di kamarku.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan pergi menuju dapur, kebiasaanku setelah bangun tidur adalah meminum air putih walaupun hanya seteguk saja.

Aku melirik kesegala arah, seperti tidak ada kehidupan di rumah mewah ini. Seluruh anak buahku pun tidak terlihat sama sekali bahkan anak yang berhasil aku culik kemarin pun tidak ada. Kemana mereka semua?

“Ganan!”

“Umar!”

“Marco!”

“Niky!”

“Rafael!”

Tidak ada sahutan dari teriakkanku tadi. Aku selalu berpikir positif, mungkin saja mereka masih tidur karena hari memang masih pagi. Aku kembali meneguk segelas air putih ditanganku.

Tak lama aku melihat lima orang yang baru saja ku cari sedang berjalan melewatiku tanpa menyapaku sama sekali. Aku melihat kearah tangan mereka yang masing-masing membawa plastik putih yang entah isinya apa aku tidak tahu. Mereka rupanya habis berbelanja dipagi hari.

Tunggu!

Berbelanja dipagi hari?

Aku mengingat bahwa Rafael adalah anak yang ku culik, mengapa ia bisa seenaknya berbelanja? Apalagi ditemani para penculiknya.

Apa dunia ini sudah mulai gila? Sehingga ada orang yang diculik mengajak penculiknya belanja. Aku semakin pusing oleh tingkah-tingkah aneh mereka.

“Selamat pagi, kak Reyn.”

Akhirnya ada manusia yang masih mengingatku masih hidup. Ku kira aku ini sudah menjadi arwah gentayangan hingga mereka tidak melihat kearah ku sama sekali.

“Dari mana saja kalian?” tanyaku dengan nada tegasku seperti biasanya.

“Ini Reyn, kita baru saja belanja di minimarket depan. Tadi kau masih tertidur pulas jadi tidak ku bangunkan,” ucap Marco.

“Ini kak, aku baru saja membeli es krim rasa mangga. Apa kakak mau? Ini untuk kak Reyn.” Rafael memberikan sebuah es krim dari kantong plastiknya padaku.

“Kau kira aku ini anak kecil!”

Aku memang tidak menyukai es krim sama sekali jadi pantas jika aku menolaknya, tetapi mengapa raut wajah anak itu seperti bersedih. Apa aku salah menolak es krim pemberiannya. Aku tetap sama sekali tidak memperdulikannya.

“Rafa, es krimnya untukku saja. Reyn tidak akan suka es krim seperti itu. Aku masih kurang jika hanya memakan dua es krim saja,” pinta Umar.

“Ini ambil saja, aku masih punya banyak. Apa kak Marco, kak Ganan dan kak Niky juga mau lagi?” tawarnya pada ketiga anak buahku.

Kepalaku serasa ingin pecah melihat keanehan mereka. Sebenarnya Bimo mendapatkan empat orang aneh seperti ini dari mana. Kenapa bisa mereka yang menjadi anak buahku.

“Ada-ada saja ya, orang yang diculik mengajak penculiknya belanja. Dunia rasanya aneh sekali, apa sebenarnya lagi akan kiamat,” celotehku yang kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka yang masih sibuk dengan es krim masing-masing.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status