Share

Bandung

-3 Agustus 2019-

Aku berlari menuju gerbang keberangkatan, keringat mengalir deras di wajahku, dan dering ponselku terus mengganggu ketenangan. Ransel di punggungku dan koper yang kusut terus kuayun-ayun di sampingku. Keberangkatan tinggal beberapa menit lagi, dan aku masih berjuang menuju antrian. "Kurang dari lima menit," gumamku dalam hati, menyesuaikan langkah dengan waktu yang semakin menipis.

Saat aku tiba di depan pintu pesawat, aku menyempatkan diri untuk mengangkat telepon. Itu pasti dari mamaku yang tak bisa mengantar ke bandara karena urusan dengan dua adikku yang harus diurusnya.

"Halo, Ma. Iya, gak apa-apa. Aku sudah di depan pesawat, gak ketinggalan kok," ucapku sambil bernafas terengah-engah, mencoba menenangkan hati mamaku yang khawatir anak sulungnya tertinggal pesawat.

Aku melihat pesawat putih bersih di depanku, menatapnya sejenak. Ini adalah pesawat yang akan membawaku ke Bandung, kota yang selama ini hanya menjadi gambaran dalam mimpiku. Rambut panjangku berkibar-kibar oleh angin, dan dengan napas dalam, aku tersenyum lebar. "Mari kita lakukan perjalanan ini," gumamku pada diri sendiri, sambil menggenggam erat tas ransel setia yang selalu menemani petualanganku.

Pesawat mendarat di Bandara Mozes Kilangin, dan aku melangkah keluar dengan hati penuh haru. Angin sepoi-sepoi menyapa, menyambutku di ujung Pulau Papua. Aku menghela napas panjang, merasakan kehangatan Papua terakhir sebelum melangkah meninggalkannya. Rambut panjangku berkibar, dan aku meraih tas ransel, membawa sejumput tanah Papua sebagai simbol keberanian dan akar yang takkan pernah kulupakan.

Gerbang petualangan baru terbuka di hadapanku, dan aku melangkah dengan mantap. Hembusan angin Papua mengantar langkah awalku menuju Bandung. Setibanya di kota tersebut, aku merasakan kehangatan udara Bandung yang berbeda dengan Papua. Aku menutup mata, mencoba meresapi setiap nuansa baru yang menyapaku.

Ponsel bergetar di saku jaketku, dan pesan dari ibuku muncul, "Selamat perjalanan, Nak. Doa dan dukungan selalu bersamamu. Raihlah impianmu di sana." Senyum tipis terukir di bibirku, merasakan cinta dan dukungan keluarga yang menembus jarak.

Namun, saat aku berjalan di antara penumpang yang turun dari pesawat, kesepian melanda. Aku mencari wajah akrab di antara kerumunan, tapi tak ada yang kusentuh. Rasanya seperti kehilangan, menyadarkanku bahwa aku benar-benar menjauh dari yang kusayangi.

Perjalanan darat menuju kampusku di Bandung tidak terasa mudah. Ojek online yang kusuruh memandangiku seolah-olah aku adalah mahluk asing. Dengan sabar, aku hanya menjawab dengan "iya" pada ojek yang terus bercerita dengan Bahasa Sunda yang tak kumengerti. Tubuh lelahku merasakan rindu pada rumah dan keluargaku.

Sesampainya di kampus, gajah yang terpahat di gerbang menyambutku. Melihatnya, aku merasa bangga dan penuh semangat. Berbekal keberanian dan semangat baru, aku melanjutkan perjalananku mencari kos-kosan yang sudah kusurvei sebelumnya.

Perjalananku mencari kos-kosan menjadi petualangan sendiri. Ojek setianya berbicara dengan Bahasa Sunda yang tak kumengerti, tapi aku tetap menjawab dengan "iya." Aku tiba di kamar kecil dan berbau kamper yang akan menjadi tempatku bercerita tentang hidup di Kota Bandung. Ini adalah awal dari babak baru yang penuh warna, tantangan, dan keberanian dalam perjalanan hidupku di kota yang begitu berbeda dari tempat kelahiranku.

Suasana kosan hari itu memang seperti pesta, kegembiraan mahasiswa baru yang tiba terasa begitu riuh di lorong-lorong kosan. Aku, dengan tas ransel setia dan senyuman lebar di wajah, memasuki lorong kosan yang akan menjadi tempat tinggalku selama kuliah. Takdir sepertinya punya rencana lucu untuk menyatukan langkah kami dalam petualangan yang baru saja dimulai.

Niatku ingin langsung menuju kamar yang sudah kusewa, namun takdir punya cara sendiri untuk menggulirkan perjalanan ini. Tangga tua yang seret dan koper yang terasa lebih berat dari biasanya menjadi tantangan pertamaku. Sementara menaiki tangga kayu tersebut, pandanganku langsung tertuju pada seorang wanita yang sibuk memasukkan kardus berisi barang-barangnya ke dalam kamar kos nomor 12.

"Wah, ternyata kamar kita bersebelahan, ya?" ucapku sambil tersenyum ramah, berharap bisa memecah kebekuan di antara sesama penghuni kos.

Wanita itu menoleh ke arahku dengan wajah yang penuh keterkejutan, dan aku bisa melihat sedikit kepanikan di matanya. "Oh, iya? Hei, maaf ya, aku Jihan. Aku bingung memasuki kamar sekecil ini dengan barang sebanyak ini."

Aku tertawa melihat ekspresinya yang kocak, dan memang barang dia sangat banyak, seolah-olah membawa seluruh isinya rumah. Sementara itu, aku merasa bersyukur karena koperku tidak seberat dan sesusah miliknya.

"Santai saja, Jihan. Aku Mita, senang bertemu denganmu. Mari kita bersama-sama memecahkan teka-teki ini," kataku sembari menunjukkan koper yang masih tergulung rapi.

Jihan menatap koper dan barang bawaanku dengan wajah yang heran, lalu dengan heran dia berkata, "Kamu ngekos bawa barang sedikit kaya gini?"

Mulai dari situ, suasana langsung jadi lebih ringan. Jihan terbukti memiliki kepribadian yang ceria dan ramah. Kami berdua mulai menyusun strategi untuk menyusun barang-barang kami di dalam kamar yang terbatas ini. Sementara kami sibuk, tawa dan candaan pun tak terhindarkan.

"Jujur, Mita, aku ini seperti membawa seluruh isinya rumah," goda Jihan sambil tertawa.

"Tenang saja, Jihan. Nanti kita tinggal bersama, bisa aja nanti kita saling pinjam bantal atau guling," balasku sambil tertawa.

Setelah selesai menyusun barang-barang, kami duduk di atas kasur yang belum terlalu empuk itu. Kami melanjutkan obrolan, berbagi cerita tentang asal daerah, alasan memilih Bandung, dan tentu saja, mengapa kami memilih kosan ini. Ternyata, Jihan juga datang dari luar kota, dari Medan. Kami seolah-olah sudah lama kenal, dan aku merasa beruntung memiliki teman sekamar sepertinya.

Obrolan kami terhenti sejenak ketika kami mendengar suara langkah kaki di luar pintu kamar. Pintu terbuka, dan di hadapan kami muncul seorang gadis dengan rambut pendek dan penampilan yang tomboy.

"Hei, Lita! Inilah temanku, Mita. Dia juga tinggal di sini," sapa Jihan.

Lita menyambutku dengan ramah, walaupun kelihatan agak kikuk. "Hai, Mita. Salam kenal, nama gua Lita. Gua dari Jakarta, karena gua datangnya lebih cepat dari kalian berdua, gua senior kalian di kosan ini, ya," ucapnya sambil menaikkan alis sebelah.

Aku dan Jihan tertawa, sepertinya kita akan menjadi teman yang seru di kosan ini, tiga wanita perantau dari daerah yang berbeda. Lita menjawab dengan

"Eh, gua serius nih," dengan mimik muka tersenyum tipis, menambah keunikan suasana pertemuan kami.

Lita pun bergabung dalam obrolan kami, dan suasana semakin hangat. Kami bercerita tentang kisah perjalanan masing-masing, menggoda satu sama lain, dan menertawakan momen-momen lucu di tengah kesibukan menyusun barang. Hari pun berlalu dan kita akan segera Bersiap untuk memeprsiapkan diri ospek di hari senin nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status