“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”
Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.
“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.
Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”
“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-temannya di kampus tidak ada yang tahu kondisi ekonomi Dinda karena dia selalu datang dengan pakaian bagus dan bermerk. Mereka tidak tahu semua pakaian yang Dinda kenakan adalah bekas Sarah yang ukurannya naik dua nomor setelah menikah dan punya anak. Begitu pula dengan tas dan sepatunya. Meski Sarah hanya memberinya beberapa buah, tetapi harganya tentu saja tak murah. Teman-teman Dinda di kampus berpikir Dinda adalah anak orang kaya yang tidak cukup pintar untuk kuliah di universitas bergengsi dan memilih masuk ke universitas ini, yang proses penerimaannya relatif lebih mudah.
Namun Dinda tak terlalu memikirkan semua omongan itu. Dia jarang bergaul di kampus dan tidak punya banyak teman, karena selalu bergegas pulang ke rumah setelah menyelesaikan kuliahnya. Selama mereka tidak menghambat dan mengganggu kuliahnya, Dinda tak mempermasalahkannya.
Begitu keluar dari ruang dosen, Dinda merasakan ponselnya bergetar. Ada nama “Mas Bima” di layarnya. Kemarin, Bima meminta nomor ponselnya dengan alasan untuk berjaga-jaga jika dia sewaktu-waktu membutuhkan Dinda.
“Iya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?”
Di seberang Bima terkekeh kecil. “Lo udah kaya customer service aja, Din.”
Dinda ikut tersenyum. Selama ini, kalimat pertama yang ia ucapkan saat Bima memanggilnya memang mirip seperti customer service. “Ada apa, Mas?”
“Lo kuliah di mana, sih? Biar gue jemput sekalian.”
“Jemput?”
“Kak Sarah tadi minta gue buat bawa lo ke rumah soalnya Rasya dan Tasya kangen. Tadi dia chat tapi nggak dibaca juga sama lo. Cepetan kasih tau kampus lo di mana, ini gue udah di jalan.”
Dinda yang sempat terkejut buru-buru menyebutkan alamat kampusnya. Dia lalu keluar dan menunggu Bima di depan kampus dengan berdebar.
Baru kali ini ada yang menjemputnya pulang kuliah. Untuk pertama kalinya, dia tidak perlu berjalan cukup jauh ke halte bus dan berdesakkan atau berebut duduk. Tanpa sadar Dinda tersenyum mengingat kebaikan Bima. Mengantar belanja, meminjami buku, mengizinkannya memakai printer, dan sekarang menjemputnya. Apapun alasannya, semua kebaikan Bima terasa sangat berarti bagi Dinda.
“Nungguin jemputan, Din?” sapa Arin, salah seorang teman sekelas Dinda. Dia bersama dua orang lainnya baru saja keluar dari kampus.
“Mmm...iya. Kamu nunggu jemputan juga?”
“Nungguin taksi online. Kita mau jalan-jalan dulu ke mall. Lo mau gabung?” ajak Maya.
“Iya, Din. Dari dulu kayaknya lo nggak pernah ikut kita-kita nongkrong atau nge-mall,” timpal Risa.
Dinda tersenyum canggung. “Maaf, aku banyak kerjaan di rumah jadi harus langsung pulang.”
Ketiga gadis itu berpandangan, saling bertukar pikiran dalam diam. Mereka berpikir kalau Dinda berbohong untuk menolak ajakan tadi. Padahal Dinda benar-benar tidak bebohong. Dia harus bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, memasak, dan banyak lagi. Dinda membiarkan mereka berbisik-bisik mencibirnya, kembali larut dalam lamunan seperti sebelum kedatangan ketiga temannya itu.
Tak lama, Dinda melihat sebuah BMW hitam melaju dengan kecepatan sedang sebelum berhenti di hadapannya. Kaca jendela mobil itu turun perlahan sehingga Dinda dapat melihat wajah Bima.
“Masuk, Din.”
Dinda masuk ke mobil Bima dengan diiringi bisik-bisik kaget yang terdengar jelas di telinganya.
“Siapa itu? Cakep banget mobilnya.”
“Lo sempet liat mukanya nggak?”
“Gue liat dikit, ganteng banget.”
“Itu pacarnya Dinda?”
Begitu duduk di kursi penumpang, Dinda tak bisa menahan tawanya. Baru pernah dia mendengar kasak-kusuk yang begitu jelas seperti barusan.
“Kenapa lo, Din?” tanya Bima heran sekaligus kaget. Dinda terlihat bagitu berbeda. Tadi pagi saat Dinda pergi, dia sedang berolahraga sehingga tidak melihat penampilan Dinda saat ke kampus. Baru kali ini Bima melihat Dinda tidak dalam kalos kebesaran dan celana olahraga. Hari ini Dinda mengenakan celana jins dan kemeja basic berwarna krem yang membuat Bima bisa melihat lekuk tubuhnya. Sikap Dinda pun terlihat santai dan lebih percaya diri jika dibandingkan dengan bisanya.
“Itu mereka pada ngomongin saya, Mas,” kata Dinda sembari memasang seatbelt, membuat tatapan Bima ke dadanya semakin sulit untuk dialihkan. Terlebih saat seatbelt itu sudah terpasag menyilang di tubuh Dinda, membuat bentuk payudara Dinda terlihat lebih jelas.
Susah payah Bima berusaha mengalihkan fokusnya ke jalanan. “Kok lo malah seneng diomongin orang?”
“Soalnya lucu, Mas. Mereka kaget lihat Mas Bima jemput saya. Trus mereka pikir Mas Bima pacar saya. Andai aja mereka tau yang sebenarnya,” Dinda terkekeh.
“Kalau mereka tau memang kenapa?”
“Ya pasti mereka tambah kaget kalau tahu Mas Bima itu bos saya. Tambah heboh deh kalau tahu calonnya Mas Bima itu Mbak Chelsea yang artis terkenal itu,” komentar Dinda.
“Calon apa?” Bima heran Dinda tahu mengenai perjodohannya. Mungkinkah dia menguping? Atau ibunya sebenarnya menceritakan semua hal pada Dinda? Yang kedua sepertinya lebih masuk akal, pikir Bima.
“Calon istri Mas Bima.”
“Kata siapa dia calon istri gue?”
“Bu Tika.”
Bima mendengus kesal. Ibunya sudah terlalu berlebihan kali ini. Dia bahkan belum menyetujui apapun tetapi Kartika sudah mengumumkan ke seluruh dunia seolah-olah dia akan menikah besok.
“Mama bohong. Gue nggak mau nikah sama dia,” kata Bima cemberut.
“Tapi Mas Bima dan Mbak Chelsea cocok banget. Sama-sama cantik dan ganteng.”
“Jadi gue ganteng, nih?”
Dinda menatap Bima tak percaya. Dari sekian banyak yang ia katakan, haruskah Bima menekankan itu?
“Yaaa.... lumayan...”
“Cuma lumayan?” pancing Bima.
“Lumayan banyak banget.” Wajah Dinda berubah merah. Dia memalingkan muka, menatap jalanan dari jendela di sampingnya.
Bima tertawa kecil. Puas melihat kepiting rebus di sebelahnya. “Kamu juga cantik, Din. Seksi lagi.”
“Mas Bima!” Dinda begitu terkejut mendengar kata-kata itu dari mulut Bima hingga dia berteriak. Seksi? Yang benar saja!
Tawa Bima semakin keras. Menggoda Dinda sungguh menyenangkan. Baru kali ini dia bertemu dengan gadis yang sangat malu karena dipuji seksi. Ah, Bima jadi membandingkan Dinda dengan gadis-gadis lain yang pernah berhubungan dengannya. Dinda adalah kombinasi yang unik. Cantik dan seksi, tetapi juga polos dan tidak percaya diri. Ramah tetapi sebenarnya pemalu. Benar-benar membuat Bima harus memeras otak untuk menghadapinya.
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
Mata Bima masih belum mau terpejam. Sejak tadi dia hanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum mempercayai apa yang terjadi sore tadi. Entah apa yang ada di otaknya hingga tiba-tiba saja dia meminta Dinda untuk jadi pacarnya. Sejak kapan dia meminta seseorang menjadi pacarnya? Gadis itu tentu saja langsung menolak dan meminta maaf, lalu cepat-cepat pindah dari pangkuannya. Mereka menghabiskan sisa perjalanan pulang dalam diam, sebelum keduanya mengunci diri di dalam kamar masing-masing. Dinda bahkan tidak memasak makan malam atau menanyakan keperluan Bima seperti biasanya.“Aarghhh...” desah Bima untuk yang ke sekian kali. Bima masih belum memahami bagaimana Dinda bisa membuatnya mengatakan semua itu. Selama hampir dua bulan hidup di bawah atap yang sama, Bima akui sudah berkali-kali ia dibuat kagum dengan lekukan tubuh dan paras cantik gadis itu. Tetapi Bima yakin bukan itulah yang menjadi alasannya. Entah berapa banyak gadis cantik dan seksi yang sudah
Bima tersnyum saat ponselnya bergetar. Dia meraihnya dan membuka pesan yang masuk. Senyumnya bertambah lebar saat membaca pesan itu. Dengan segera dia mengetikkan balasan dan mengirimnya.“Oke, tadi sampai mana, Van?”Laki-laki di depannya, , menghela napas kesal. Mereka berdua sedang berada di ruangan Bima di kantor, mendiskusikan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tetapi rapat eksklusif itu beberapa kali terhenti karena Bima tidak fokus dan bolak-balik memeriksa ponselnya.“Lo lagi chatting sama siapa sih?” tanya Ivan akhirnya. Jarang sekali Bima membagi fokusnya dengan hal lain saat bekerja. “Penting banget, ya?”“Bukan urusan lo,” balas Bima. Meski tidak sedekat dengan Daniel dan yang lain, Ivan bisa dikategorikan teman sekaligus rekan kerja Bima. Mereka sama-sama membangun perusahaan dari nol. Bima sedikit lebih unggul karena dia menyandang status sebagai direktur dan pemilik perusahaan. Selain itu, keberadaan mereka berdua di kantor sama-sama penting.“Cewek baru?” tanya
Dinda tersenyum saat merasakan tangan Bima yang melingkar di pinggangnya. Tidurnya begitu nyenyak semalaman. Bahkan jika bukan karena suara alarm dari ponsel Bima yang berdering sejak tadi, Dinda masih akan terus memejamkan mata. Pelan-pelan dia memindahkan lengan berotot Bima dari pinggangnya dan beranjak bangkit. Tetapi saat dia baru duduk Bima menariknya hingga Dinda kembali berbaring di pelukan pria itu.“Morning, Din,” kata Bima, yang kemudian mengecup bibir Dinda.“Pagi, Mas Bim,” balas Dinda dengan dihiasi senyum malu-malunya. “Mau sarapan apa pagi ini?”“Sarapan kamu.”Dengan cepat Dinda meriah selimut dan bersembunyi di baliknya. Dia masih belum bisa mencegah agar pipinya tidak lagi memerah saat berhadapan dengan Bima. Rasanya Dinda ingin terus bersembunyi ketika dia menyadari kalau semalam dia tidak memakai bajunya kembali.Melihat tingkah Dinda yang malu-malu membuat Bima terbahak. Ditariknya selimut dengan paksa agak dia bisa melihat wajah merah Dinda.“Nggak usah malu, Di
“Putar kiri sedikit lagi... oke.”Dengan bangga Dinda mematikan mesin mobil setelah sukses memarkirkannya di carport kediaman keluarga Bima. Setelah menjemputnya di kampus, Bima meminta Dinda untuk menyetir sepanjang perjalanan ke rumah. Meski membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari biasanya, Dinda berhasil sampai tanpa membuat mobil Bima lecet.Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang keluarga, tubuh Dinda dihantam dari kedua sisi. Dalam sekejap si kembar sudah memeluk pinggangnya dan berceloteh mengungkapkan betapa mereka merindukan Dinda.“Kak Dinda, aku sekarang punya hamster,” kata Tasya sambil menunjuk sebuah kandang kecil di sudut ruangan. “Nanti kita...”“Aku sekarang udah bisa berenang, Kak,” potong Rasya penuh semangat. “Yuk kita berenang...”“Tasya... Rasya... biar Kak Dinda duduk dulu,” Sarah berusaha menenangkan anak-anaknya.“Tapi kan aku kangen, Mi...”“Aku mau kasih lihat Kak Dinda...”Celotehan anak-anak itu terdengar semakin jauh ka
Dinda mengetuk pintu kamar Bima. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak mendapat jawaban, Dinda mencoba membukanya. Lagipula dia sudah sering menghabiskan waktu di kamar itu. Dinda rasa Bima tidak akan keberatan jika ia masuk tanpa menunggu jawaban pria itu.“Mas Bima,” panggil Dinda.Beberapa saat kemudian Bima keluar dari kamar mandi, agak terkejut ketika melihat Dinda ada di kamarnya.“Tadi saya ngetuk pintu tapi Mas Bima nggak jawab,” kata Dinda.Bima hanya mengangguk kecil. “Ada apa?”“Saya bawa ini,” Dinda menyodorkan secangkir teh chamomile kepada Bima. “Sepertinya Mas Bima lagi banyak pikiran. Kata Bu Tika ini bisa bikin tenang.”Selama beberapa detik Bima hanya menatap Dinda, mencoba membaca isi hati dan pikiran gadis itu. Apakah Dinda melakukan semua ini karena tugasnya atau karena memang peduli kepada Bima? Apakah Dinda juga seperhatian ini pada anggota keluarganya yang lain? Jika mereka tidak berhubungan akankah Dinda tetap sebaik ini?Akhirnya setelah beberapa saat Bima