Share

Bab 8

“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”

Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.

“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.

Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”

“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-temannya di kampus tidak ada yang tahu kondisi ekonomi Dinda karena dia selalu datang dengan pakaian bagus dan bermerk. Mereka tidak tahu semua pakaian yang Dinda kenakan adalah bekas Sarah yang ukurannya naik dua nomor setelah menikah dan punya anak. Begitu pula dengan tas dan sepatunya. Meski Sarah hanya memberinya beberapa buah, tetapi harganya tentu saja tak murah. Teman-teman Dinda di kampus berpikir Dinda adalah anak orang kaya yang tidak cukup pintar untuk kuliah di universitas bergengsi  dan memilih masuk ke universitas ini, yang proses penerimaannya relatif lebih mudah.

Namun Dinda tak terlalu memikirkan semua omongan itu. Dia jarang bergaul di kampus dan tidak punya banyak teman, karena selalu bergegas pulang ke rumah setelah menyelesaikan kuliahnya. Selama mereka tidak menghambat dan mengganggu kuliahnya, Dinda tak mempermasalahkannya.

Begitu keluar dari ruang dosen, Dinda merasakan ponselnya bergetar. Ada nama “Mas Bima” di layarnya. Kemarin, Bima meminta nomor ponselnya dengan alasan untuk berjaga-jaga jika dia sewaktu-waktu membutuhkan Dinda.

“Iya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?”

Di seberang Bima terkekeh kecil. “Lo udah kaya customer service aja, Din.”

Dinda ikut tersenyum. Selama ini, kalimat pertama yang ia ucapkan saat Bima memanggilnya memang mirip seperti customer service. “Ada apa, Mas?”

“Lo kuliah di mana, sih? Biar gue jemput sekalian.”

“Jemput?”

“Kak Sarah tadi minta gue buat bawa lo ke rumah soalnya Rasya dan Tasya kangen. Tadi dia chat tapi nggak dibaca juga sama lo. Cepetan kasih tau kampus lo di mana, ini gue udah di jalan.”

Dinda yang sempat terkejut buru-buru menyebutkan alamat kampusnya. Dia lalu keluar dan menunggu Bima di depan kampus dengan berdebar.

Baru kali ini ada yang menjemputnya pulang kuliah. Untuk pertama kalinya, dia tidak perlu berjalan cukup jauh ke halte bus dan berdesakkan atau berebut duduk. Tanpa sadar Dinda tersenyum mengingat kebaikan Bima. Mengantar belanja, meminjami buku, mengizinkannya memakai printer, dan sekarang menjemputnya. Apapun alasannya, semua kebaikan Bima terasa sangat berarti bagi Dinda.

“Nungguin jemputan, Din?” sapa Arin, salah seorang teman sekelas Dinda. Dia bersama dua orang lainnya baru saja keluar dari kampus.

“Mmm...iya. Kamu nunggu jemputan juga?”

“Nungguin taksi online. Kita mau jalan-jalan dulu ke mall. Lo mau gabung?” ajak Maya.

“Iya, Din. Dari dulu kayaknya lo nggak pernah ikut kita-kita nongkrong atau nge-mall,” timpal Risa.

Dinda tersenyum canggung. “Maaf, aku banyak kerjaan di rumah jadi harus langsung pulang.”

Ketiga gadis itu berpandangan, saling bertukar pikiran dalam diam. Mereka berpikir kalau Dinda berbohong  untuk menolak ajakan tadi. Padahal Dinda benar-benar tidak bebohong. Dia harus bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, memasak, dan banyak lagi. Dinda membiarkan mereka berbisik-bisik mencibirnya, kembali larut dalam lamunan seperti sebelum kedatangan ketiga temannya itu.

Tak lama, Dinda melihat sebuah BMW hitam melaju dengan kecepatan sedang sebelum berhenti di hadapannya. Kaca jendela mobil itu turun perlahan sehingga Dinda dapat melihat wajah Bima.

“Masuk, Din.”

Dinda masuk ke mobil Bima dengan diiringi bisik-bisik kaget yang terdengar jelas di telinganya.

“Siapa itu? Cakep banget mobilnya.”

“Lo sempet liat mukanya nggak?”

“Gue liat dikit, ganteng banget.”

“Itu pacarnya Dinda?”

Begitu duduk di kursi penumpang, Dinda tak bisa menahan tawanya. Baru pernah dia mendengar kasak-kusuk yang begitu jelas seperti barusan.

“Kenapa lo, Din?” tanya Bima heran sekaligus kaget. Dinda terlihat bagitu berbeda. Tadi pagi saat Dinda pergi, dia sedang berolahraga sehingga tidak melihat penampilan Dinda saat ke kampus. Baru kali ini Bima melihat Dinda tidak dalam kalos kebesaran dan celana olahraga. Hari ini Dinda mengenakan celana jins dan kemeja basic berwarna krem yang membuat Bima bisa melihat lekuk tubuhnya. Sikap Dinda pun terlihat santai dan lebih percaya diri jika dibandingkan dengan bisanya.

“Itu mereka pada ngomongin saya, Mas,” kata Dinda sembari memasang seatbelt, membuat tatapan Bima ke dadanya semakin sulit untuk dialihkan. Terlebih saat seatbelt itu sudah terpasag menyilang di tubuh Dinda, membuat bentuk payudara Dinda terlihat lebih jelas.

Susah payah Bima berusaha mengalihkan fokusnya ke jalanan. “Kok lo malah seneng diomongin orang?”

“Soalnya lucu, Mas. Mereka kaget lihat Mas Bima jemput saya. Trus mereka pikir Mas Bima pacar saya. Andai aja mereka tau yang sebenarnya,” Dinda terkekeh. 

“Kalau mereka tau memang kenapa?”

“Ya pasti mereka tambah kaget kalau tahu Mas Bima itu bos saya. Tambah heboh deh kalau tahu calonnya Mas Bima itu Mbak Chelsea yang artis terkenal itu,” komentar Dinda.

“Calon apa?” Bima heran Dinda tahu mengenai perjodohannya. Mungkinkah dia menguping? Atau ibunya sebenarnya menceritakan semua hal pada Dinda? Yang kedua sepertinya lebih masuk akal, pikir Bima.

“Calon istri Mas Bima.”

“Kata siapa dia calon istri gue?”

“Bu Tika.”

Bima mendengus kesal. Ibunya sudah terlalu berlebihan kali ini. Dia bahkan belum menyetujui apapun tetapi Kartika sudah mengumumkan ke seluruh dunia seolah-olah dia akan menikah besok.

“Mama bohong. Gue nggak mau nikah sama dia,” kata Bima cemberut.

“Tapi Mas Bima dan Mbak Chelsea cocok banget. Sama-sama cantik dan ganteng.”

“Jadi gue ganteng, nih?”

Dinda menatap Bima tak percaya. Dari sekian banyak yang ia katakan, haruskah Bima menekankan itu?

“Yaaa.... lumayan...”

“Cuma lumayan?” pancing Bima.

“Lumayan banyak banget.” Wajah Dinda berubah merah. Dia memalingkan muka, menatap jalanan dari jendela di sampingnya.

Bima tertawa kecil. Puas melihat kepiting rebus di sebelahnya. “Kamu juga cantik, Din. Seksi lagi.”

“Mas Bima!” Dinda begitu terkejut mendengar kata-kata itu dari mulut Bima hingga dia berteriak. Seksi? Yang benar saja!

Tawa Bima semakin keras. Menggoda Dinda sungguh menyenangkan. Baru kali ini dia bertemu dengan gadis yang sangat malu karena dipuji seksi. Ah, Bima jadi membandingkan Dinda dengan gadis-gadis lain yang pernah berhubungan dengannya. Dinda adalah kombinasi yang unik. Cantik dan seksi, tetapi juga polos dan tidak percaya diri. Ramah tetapi sebenarnya pemalu. Benar-benar membuat Bima harus memeras otak untuk menghadapinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status