“Kenapa?”Suara Dinda menggema ke seluruh ruangan kecil itu. Hanya itu yang bisa keluar dari tenggorokannya. Tidak ada yang masuk akal baginya saat ini. Dinda tidak ingin mempercayai semua ini perbuatan Aldi.Pria itu mendekat dan berhenti di dekat meja di tengah ruangan. Wajahnya masih dihiasi senyum. “Kenapa apanya?”Cengkeraman Dinda di headboard semakin kuat. Tubuhnya masih lemah, bahkan dorongan kecil mungkin bisa membuatnya limbung. Tenggorokannya terasa sangat kering. “Kenapa kamu melakukan ini?”Aldi tertawa keras seolah pertanyaan Dinda adalah sebuah lelucon. “Kamu tanya kenapa?” dengusnya. “Bukankah sudah jelas?”Apapun yang ada di kepalanya, Dinda merasa harus tetap mendengar pengakuan Aldi. Dia butuh mendengarnya agar jika ia berhasil keluar dari tempat sialan itu, Dinda tidak akan merasa berhutang lagi padanya. “Jelaskan.”“Semuanya karena kamu.” Aldi duduk dengan santai di kursi dan memainkan pisau kecil yang berkilat di tangannya. Raut wajahnya berubah serius. Dia menat
Bima menggunakan semua koneksinya untuk melacak keberadaan Dinda. Seluruh kamera pengawas yang dipasang di sekitar studio Hilda diperiksa. Mereka menemukan rekaman mobil yang dicurigai sebagai kendaraan yang dipakai pelaku untuk menculik Dinda. Sean lalu mengkonfirmasinya. Penyelidikan mereka menemui jalan buntu saat menemukan fakta kalau plat nomor yang dipakai adalah palsu. Mereka terpaksa melacak jejak mobil itu melalui rekaman kamera pengawas yang terpasang di jalanan. Bima harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk itu.Sinyal dan koordinat ponsel Dinda pun tidak membantu. Esok harinya polisi menemukan ponsel Dinda di tumpukan sampah dedaunan di hutan di pinggiran kota. Mereka menelusuri tempat-tempat di sekitarnya tetapi nihil. Tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan.Bima tidak tidur sejak Dinda menghilang. Dia ikut mencari gadis itu bersama pihak kepolisian. Dia dan Daniel bergantian mengemudi. Dua hari setelah Dinda menghilang, Bima mendapat telepon dari Iskandar. Saat
“Dehidrasi dan pemakaian chlorofom yang berlebihan. Mungkin Saudari Dinda harus dirawat sampai dua atau tiga hari lagi. Dan saya sarankan agar Dinda berkonsultasi dengan psikolog untuk menyembuhkan traumanya.”Samar-samar Dinda mendengar seseorang berbicara di dekatnya. Kesadarannya mulai pulih meski kepalanya masih terasa sakit. Saat matanya terbuka, Dinda kembali melihat Bima di sampingnya.“Air,” gumamnya.Sama seperti sebelumnya, Bima membantunya mengambil air dan menopang tubuhnya saat Dinda minum. Dia tidak kembali berbaring. Tubuhnya sudah terasa lebih baik. Dinda duduk setelah Bima menaikkan ujung brankar untuk tempatnya bersandar.“Berapa lama aku pingsan?” tanya Dinda. Suaranya serak.“Tiga jam.”Dinda memperhatikan Bima. Pria itu hanya memakai kemeja kusut dan jins hitam. Wajahnya kasar karena beberapa hari tidak bercukur. Kantung matanya terlihat lebih gelap, menunjukkan betapa sedikit jam tidurnya.“Kamu bisa pulang dan istirahat dulu. Aku udah enakan,” kata Dinda.Bima l
“Aku datang untuk memberitahu kalian kalau aku akan menikahi Dinda. Secepatnya.”“Mama nggak setuju,” Kartika serta merta memeberikan penolakan. Dilepaskannya tangan Bima yang sejak tadi ia pegang.Tentu saja Bima sudah menduganya. “Aku nggak minta persetujuan Mama. Aku cuma mau memberitahu kalian,” kata Bima dengan tenang, membuat sang Mama memberengut.“Apa Dinda setuju?” Iskandar buka suara. “Kamu sudah membicarakan ini dengannya?”Bima tertegun. Ayahnya selalu lebih jeli dalam segala hal. Tetapi Bima yakin. Dia tidak melihat ada sesuatu yang membuat Dinda menolaknya. “Dinda masih belum seratus persen pulih. Aku akan mengatakan semuanya setelah kondisinya lebih baik.”Iskandar mengangguk. Ia menatap Bima yang duduk di seberangnya. “Pastikan Dinda benar-benar bersedia.”“Papa mengizinkan mereka menikah?” suara Kartika naik satu oktaf. “Apa Papa sudah gila?”“Dan kenapa Mama nggak mengizinkan?” desis Bima. “Bukankah Dinda sudah mengikuti syarat yang Mama berikan?”“Banyak alasannya,”
Dinda tidak sanggup menatap mata Bima. Setelah diizinkan pulang oleh dokter, dia menghabiskan waktu dengan berpura-pura tidur di kamarnya. Bima hanya datang saat malam setelah dia menyelesaikan pekerjaannya. Di luar itu, Tania menemaninya setelah meminta maaf dengan uraian air mata dan berjanji tidak akan lagi meninggalkan Dinda sebelum memastikannya sampai di rumah.Untungnya Bima berhasil menyembunyikan penculikan Dinda dari media. Tidak ada yang memberitakannya. Beberapa agenda yang harus Dinda dilakukan dibatalkan dengan alasan sakit dan butuh beberapa waktu untuk mengembalikan kesehatannya.Satu minggu setelah kepulangannya, Dinda duduk melamun di depan jendela kamarnya, mengabaikan tawaran Tania untuk makan malam.“Din,” Tania masuk ke kamarnya dengan membawa nampan berisi makan malam yang telah dua kali ditolak Dinda. Dia ikut duduk di samping Dinda di lantai dan meletakkan nampan tempat kosong di antara mereka. “Makan dulu, ya.”Dinda menarik napas panjang dan menggeleng. “Ngg
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek
“Din, tolong bersihin kamar Bima ya. Ganti sprei dan selimutnya juga. Malam ini dia pulang.”“Baik, Bu.”Adinda segera berdiri dan mengikuti Kartika, yang menjadi majikannya selama beberapa tahun terakhir. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri koridor, menaiki tangga hingga sampai di lantai dua rumah besar itu.“Sekalian kamar mandinya dibersihakan juga, ya. Biar Bima betah tinggal lama-lama di sini,” Kartika mengucapkan perintahnya dengan lembut. Inilah salah satu yang membuat Adinda begitu bersyukur mendapatkan Kartika dan keluarganya sebagai majikan. Mereka kaya raya dan terpandang, tetapi selalu memperlakukan semua pekerjanya dengan sangat baik. “Heran saya sama Bima itu, orang tua masih lengkap gini kok jarang banget pulang ke rumah.”“Mungkin Mas Bima memang sibuk ngurusi pekerjaannya di Amerika, Bu,” kata Dinda sabar. Dia sudah hapal sifat Kartika di rumah. Meski penampilannya seperti ibu-ibu sosialita yang sedang arisan, di dalamnya masih khas seperti ibu-ibu yang menunjukka
“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”Dinda yang terkejut hampir menjatuhkan ember yang ada di tangannya. Di depannya menjulang anak laki-laki kesayangan yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Kartika. Lebih tepatnya anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan gagah.“Saya... ART di sini, Mas,” jawab Dinda terbata.Bima bersedekap, matanya menatap menilai Dinda. Harus diakui, meski hanya dengan celana olahraga selutut dan kaos kedodoran yang warnanya sudah mulai pudar, Dinda tetap terlihat cantik. Kulitnya langsat dan bersih, berbanding terbalik dengan pakaiannya. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda agar tak mengganggunya saat bekerja. Lekuk tubuhnya tersembunyi di balik kaos dan celana olahraga yang satu ukuran lebih besar dari yang seharusnya.“ART? Sejak kapan Mama ganti ART?” Ketidakpercayaan Bima semata-mata hanya karena heran ada ART di rumahnya yang secantik ini. Seingatnya hanya ada Bik Sinah dan Bik Yati yang sudah cukup tua, yang ada di rumah