Dia terkesiap, matanya terbelalak.
Mungkin, tidak percaya kalau aku mampu melakukannya. Tangan ini dia lepaskan, kemudian dia menangkup kepala.Dari sela-sela jemarinya, mengucur darah segar. Sengaja aku arahkan ke dahi.
Ini tidak akan menimbulkan akibat fatal, dari pada terkena tengkuk.
“Perempuan kurang ajar!” serunya sebelum lelaki kurang ajar itu ambruk di lantai. Saat itu, dengan sisa kekuatan aku berhasil menghubungi Bapak.
Kami pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
***
“Maafkan Bapak, Nduk. Bapak yang salah karena menyebabkan kamu seperti ini.”
Bapak menangis sambil menciumi tanganku.
Orang tua mana yang sanggup melihat keadaan anaknya yang lebam di pipi dan memar di punggung akibat tendangan?
Bapak begitu geram melihat keadaanku. Bahkan tadi sempat menambah tendangan dan pukulan pada Arman.Kemarahan itu redam kala beberapa hari kemudian keluarga beserta Arman datang ke rumah. Arman bersujud mengaku bersalah. Dia melantunkan kata-kata yang merujuk kalau dia khilaf karena begitu terpesona denganku.
’Seterpesonanya seseorang, kalau sayang tidak mungkin memaksakan kehendak,’ batinku saat itu.
Rasa penyesalan juga dilontarkan oleh orang tuanya. Ibu Arman bahkan meminta izin untuk membelai kepala ini.
“Cah ayu. Maafkan Arman, ya. Sebenarnya dia anak baik, mungkin karena dia salah pergaulan yang menyebabkan ini terjadi. Dia hanya tidak sabar menunggu bersama denganmu, Cah ayu.”
Pak Sanjaya, teman Bapak berbicara berdua di ruang depan. Entah apa yang dibicarakan, setelahnya Bapak justru mendukung untuk meneruskan rencana pernikahan. Bahkan rencananya akan dipercepat. Dengan lantang aku menolak.
“Maaf. Saya tetap tidak mau menikah dengan Mas Arman. Sampai kapanpun,” jawabku bersikukuh.
“Dipikir sekali lagi. Semua orang sudah tahu kalau kalian akan menikah. Kalau Arman tidak apa-apa tidak jadi menikah. Dia laki-laki. Kalau pihak perempuan justru akan mendapatkan kerugian. Apakah kamu mau seperti itu?” ucap Pak Sanjaya terlihat mulai tidak sabar. “Kami melakukan ini karena kasihan denganmu.”
Aku mengerutkan dahi, merasa harga diriku terusik. Kasihan? Lebih kasihan lagi, kalau aku menyerahkan hidup ini kepada laki-laki yang otaknya berada di antara dua paha. Aku tidak membayangkan menghabiskan umur dengan orang seperti itu.
Bapak akan bicara. Tapi aku menyentuh lengannya, memberi tanda aku ingin bicara.
“Terima kasih Pak Sanjaya dengan perhatiannya. Tapi, saya tidak membutuhkan itu. Yang dilakukan anak bapak sudah masuk pada ranah kriminal. Saya tidak hanya menolak pernikahan ini, tetapi saya akan melaporkan anak bapak karena berniat jahat.”
Calon suami yang sudah aku buang itu, tertawa kecil. Wajahnya terlihat mengejek. “Halah. Memang kamu akan melaporkan apa? Mengatakan kalau aku memaksa kamu? Kita ini calon suami istri, wajarlah kalau mesra-mesraan. Kamu pun tidak aku paksa untuk berduaan denganku, kan?”
“Arman! Yang dikatakan Raya benar. Ternyata kamu tidak tepat mendapat kepercayaan mendapatkan anakku!” teriak Bapak.
Suasana semakin tidak terkendali, Pak Sanjaya juga ikut berdiri. Bapak dan Pak Sanjaya beradu mulut. Saling teriak dan saling menuding.
“Lihat saja nanti, anakmu pasti tidak bakal menikah. Siapa yang doyan dengan perempuan sisa!” teriak ayah dari lelaki kurang ajar itu.
Tangan Bapak terlihat bergetar hebat, mungkin dia tidak mengira kalau temannya tega melontarkan kata-kata itu.
“Lebih baik, anakku tidak menikah dibanding menjanda akibat anakmu yang bejat!” teriak Bapak tidak mau kalah.
Aku dan Ibu menahan lengannya.
Sebagai anak satu-satunya, aku harus membela martabat keluarga. Aku mengerti hukum, alat yang mampu menunjukkan kebenaran.
“Pak Sanjaya, Ibu, dan Arman. Kita tidak usah bertengkar di sini. Pengadilan akan menunjukkan siapa yang benar. Saya akan menuntut kalian.”
“Apa buktinya?”
Aku menoleh ke arah lelaki yang nyaris menjadi imamku. “Visum. Saya sudah menyiapkan ini untuk menunjukkan siapa kamu sebenarnya,” ucapku lantang dengan percaya diri.
Sayangnya, mencari keadilan ternyata hanya impian semu.
Itu hanya tempat berlaga pengacara dan jaksa beradu argumentasi.
Pasal-pasal yang menjadi pijakan, seperti mainan yang dijadikan tameng kepentingan.
Aku tetap menang, tetapi Arman hanya mendapatkan hukuman ringan. Dia masih bisa menampilkan senyuman, bahkan menyiapkan serangan balasan yang menyakitkan.
Pengaruh dan koneksi menggiring opini orang sekitar.
Keluarga Sanjaya memutar balikkan kenyataan. Mereka mencetuskan gosip kalau menggagalkan pernikahan karena aku tidak perawan lagi.
Ia menuduhku dan memberi tuntutan ke pengadilan hanya untuk alibi semata.
Tudingan demi tudingan secara kejam menyerangku. Terlebih, kepada Ibu melalui teman sejawatnya. Tak jarang, Ibu pulang dengan tangisan mengadu.
Bapak semakin merasa bersalah. Dia meruntuki dirinya sendiri, karena dialah yang membawa keluarga itu ke tengah-tengah keluarga ini.
“Bapak. Raya tidak apa-apa. Biarkan gosip itu. Toh, nanti akan hilang kalau mereka bosan. Justru raya bersyukur karena diselamatkan dari orang yang tidak menganyomi.”
“Tapi, Nduk. Ini berpengaruh pada masa depanmu. Laki-laki mana yang–”
“Cukup, Pak. Justru orang yang tidak tulus menyayangi Raya, akan tersingkir karena gosip itu. Hanya laki-laki yang tulus menyayangi Raya yang bertekad menikahi Raya. Iya, kan Pak?”
Ucapan itu terdengar mudah. Namun, sebenarnya itu untuk menghibur diriku. Bagaimana tidak, di setiap pertemuan dan dimanapun aku melangkah, ada saja yang berbisik-bisik dengan kasus itu. Pandangan mereka seakan menunjuk kalau aku perempuan tidak benar.
Kesehatan Bapak mulai menurun bersamaan dengan bisnis yang mengalami banyak masalah.
Pak Sanjaya menghasut rekan kerja lainnya untuk menjauhi Bapak. Kami sekeluarga seperti diserang dari segala arah. Mereka seakan tidak puas, sampai kami menyerah.
Puncak dari semua ini, Bapak terkena serangan jantung. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi yang di Atas menghendaki Bapak untuk beristirahat di sisi-Nya. Sejak itu, aku merasa dirikulah yang menjadi pembunuh Bapak.
Seandainya tidak ada rencana pernikahan itu, pasti kemalangan ini tidak terjadi.
Ibu pun memilih pulang ke rumah nenek. Kami sepakat meninggalkan kota yang menjadi mimpi buruk, sementara aku kembali ke kampus tempatku mengenyam pendidikan.
Di sini, aku menjadi penjaga perpustakaan sambil menekuni sebagai penulis cerita fiksi di beberapa platform. Meski beberapa kali ibuku itu memintaku menjalin cinta, tapi aku masih trauma….
“Selamat siang. Selamat siang!”
Teriakan dan lambaian tangan tepat di depan wajah ini, meluruhkan semua kenangan buruk. Aku menyusut air mata yang sempat mengambang di mata ini.
“Mbak petugas perpustakaan ini, kan?”
Mataku mengerjap, mencoba mengumpulkan serpihan kesadaran. Apa aku berhalusinasi? Lelaki di depanku ini tidak seperti mahasiswa yang sering ke sini. Penampilannya pun sungguh berbeda. Warna kulitnya terlalu putih untuk ukuran laki-laki. Rambutnya sedikit berwarna coklat, dan ….
Mataku menyipit. Kenapa manik matanya berwarna hazel?
Aku terhenyak. Mengucek-ngucek kedua mata dengan tangan. Apa sosok di depanku ini nyata? Dia seperti tokoh di cerita fiksi.
“Mbak. Maaf, saya ingin mendaftar anggota perpustakaan. Kata petugas di pintu masuk harus mengurus di sini. Nama saya Alexander Dominic. Ini fotokopi kartu identitas, dan ini ….”
Aku mendengar apa yang diucapkan. Seharusnya aku menyodorkan form pendaftaran dan menyuruhnya melengkapi semuanya. Namun, kenapa aku tetap bergeming, dan mata kurang ajar ini enggan berkedip darinya?
"Ehem! Apa ada yang kurang?"
****
"Ehem! Apa ada yang kurang?"Deheman dan suara yang dikeraskan, menyadarkan aku."I-iya. Harus isi form dulu," jawabku segera.Aku gelengkan kepala, sambil membungkuk mengambil form di laci bagian bawah, dan menyerahnya. Sesaat aku menepuk dada, meruntuki kelakuanku yang kampungan ini. Memang dia terlihat tampan, tapi tidak seharusnya aku melongo seperti orang bodoh.Telunjuk dan ibu jari memposisikan frame kacamataku. Mata rabun ini harus menajam untuk membaca kartu identitas yang terlihat kecil.Nama yang tidak biasa, Alexander Dominic. Sepadan dengan penampilannya yang tidak seperti orang kebanyakan.'Masih bocah,' bisik hatiku.Kalau dihitung dari tahun lahir, dia berusia dua puluh lima. Kemungkinan anak muda ini berasal dari universitas lain yang berkunjung ke sini. Tidak mungkin dia mahasiswa di kampus ini, aku tidak pernah bertemu.Memang aku tidak hapal. Akan tetapi seseorang yang mencolok seperti dia, tidak mungkin terlewat dari pandangan."Selain kartu identitas, dilampirkan
Aku terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ogah. Laki-laki yang tampangnya pas-pasan saja banyak yang belagu. Apalagi seperti dia? Bisa makan hati setiap hati." "Kenapa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin." "Laki-laki seperti Alexandra Dominic itu, anggap saja makhluk astral. Ada tapi tidak bisa dijangkau. Dia itu–" Ucapanku terhenti seketika. Dia ini benar-benar makhluk astral. Disebut namanya langsung muncul di hadapan. "Em... Mbak Raya. Ini ternyata sekretaris saya sudah menitipkan foto. Tadi jatuh di dalam tas," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar foto berukuran kecil. Mbak Leni yang duduk membelakangi langsung membalikkan badan, dengan posisi seperti tadi. Bibir lelaki ini menyunggingkan senyuman tipis. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi, ya? Ingin segera mengusir orang itu, aku langsung menempel foto itu ke kartu perpustakaan dan menyerahkan kembali. "Sekarang Pak Alex bisa menggunakan untuk meminjam buku," ucap Mbak Leni sambil mengangguk. Lagi-lag
Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang. "Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar. "Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut. "Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?" Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana." "Kalau saya ambil besok, bisa?" Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya. "Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat. Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku. "Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya. "Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus. Mata ini melebar, walaupun ber
“Ada yang salah?” Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan. Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk. “Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino. Huft! Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana. “Kenapa disembunyikan?” “Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. “Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant. Aku mengernyit. ‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih bai
“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso