Share

Bab 2. Kekacauan

Dia terkesiap, matanya terbelalak.

Mungkin, tidak percaya kalau aku mampu melakukannya. Tangan ini dia lepaskan, kemudian dia menangkup kepala.

Dari sela-sela jemarinya, mengucur darah segar. Sengaja aku arahkan ke dahi.

Ini tidak akan menimbulkan akibat fatal, dari pada terkena tengkuk.

“Perempuan kurang ajar!” serunya sebelum lelaki kurang ajar itu ambruk di lantai. Saat itu, dengan sisa kekuatan aku berhasil menghubungi Bapak.

Kami pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

***

“Maafkan Bapak, Nduk. Bapak yang salah karena menyebabkan kamu seperti ini.”

Bapak menangis sambil menciumi tanganku.

Orang tua mana yang sanggup melihat keadaan anaknya yang lebam di pipi dan memar di punggung akibat tendangan?

Bapak begitu geram melihat keadaanku. Bahkan tadi sempat menambah tendangan dan pukulan pada Arman.

Kemarahan itu redam kala beberapa hari kemudian keluarga beserta Arman datang ke rumah. Arman bersujud mengaku bersalah. Dia melantunkan kata-kata yang merujuk kalau dia khilaf karena begitu terpesona denganku.

’Seterpesonanya seseorang, kalau sayang tidak mungkin memaksakan kehendak,’ batinku saat itu.

Rasa penyesalan juga dilontarkan oleh orang tuanya. Ibu Arman bahkan meminta izin untuk membelai kepala ini.

“Cah ayu. Maafkan Arman, ya. Sebenarnya dia anak baik, mungkin karena dia salah pergaulan yang menyebabkan ini terjadi. Dia hanya tidak sabar menunggu bersama denganmu, Cah ayu.”

Pak Sanjaya, teman Bapak berbicara berdua di ruang depan. Entah apa yang dibicarakan, setelahnya Bapak justru mendukung untuk meneruskan rencana pernikahan. Bahkan rencananya akan dipercepat. Dengan lantang aku menolak.

“Maaf. Saya tetap tidak mau menikah dengan Mas Arman. Sampai kapanpun,” jawabku bersikukuh.

“Dipikir sekali lagi. Semua orang sudah tahu kalau kalian akan menikah. Kalau Arman tidak apa-apa tidak jadi menikah. Dia laki-laki.  Kalau pihak perempuan justru akan mendapatkan kerugian. Apakah kamu mau seperti itu?” ucap Pak Sanjaya terlihat mulai tidak sabar.  “Kami melakukan ini karena kasihan denganmu.”

Aku mengerutkan dahi, merasa harga diriku terusik. Kasihan? Lebih kasihan lagi, kalau aku menyerahkan hidup ini kepada laki-laki yang otaknya berada di antara dua paha. Aku tidak membayangkan menghabiskan umur dengan orang seperti itu.

Bapak akan bicara. Tapi aku menyentuh lengannya, memberi tanda aku ingin bicara.

“Terima kasih Pak Sanjaya dengan perhatiannya. Tapi, saya tidak membutuhkan itu. Yang dilakukan anak bapak sudah masuk pada ranah kriminal. Saya tidak hanya menolak pernikahan ini, tetapi saya akan melaporkan anak bapak karena berniat jahat.”

Calon suami yang sudah aku buang itu, tertawa kecil. Wajahnya terlihat mengejek. “Halah. Memang kamu akan melaporkan apa? Mengatakan kalau aku memaksa kamu? Kita ini calon suami istri, wajarlah kalau mesra-mesraan. Kamu pun tidak aku paksa untuk berduaan denganku, kan?”

“Arman! Yang dikatakan Raya benar. Ternyata kamu tidak tepat mendapat kepercayaan mendapatkan anakku!” teriak Bapak.

Suasana semakin tidak terkendali, Pak Sanjaya juga ikut berdiri. Bapak dan Pak Sanjaya beradu mulut. Saling teriak dan saling menuding.

“Lihat saja nanti, anakmu pasti tidak bakal menikah. Siapa yang doyan dengan perempuan sisa!” teriak ayah dari lelaki kurang ajar itu.

Tangan Bapak terlihat bergetar hebat, mungkin dia tidak mengira kalau temannya tega melontarkan kata-kata itu.

“Lebih baik, anakku tidak menikah dibanding menjanda akibat anakmu yang bejat!” teriak Bapak tidak mau kalah.

Aku dan Ibu menahan lengannya.

Sebagai anak satu-satunya, aku harus membela martabat keluarga. Aku mengerti hukum, alat yang mampu menunjukkan kebenaran.

“Pak Sanjaya, Ibu, dan Arman. Kita tidak usah bertengkar di sini. Pengadilan akan menunjukkan siapa yang benar. Saya akan menuntut kalian.”

“Apa buktinya?”

Aku menoleh ke arah lelaki yang nyaris menjadi imamku. “Visum. Saya sudah menyiapkan ini untuk menunjukkan siapa kamu sebenarnya,” ucapku lantang dengan percaya diri.

Sayangnya, mencari keadilan ternyata hanya impian semu.

Itu hanya tempat berlaga pengacara dan jaksa beradu argumentasi.

Pasal-pasal yang menjadi pijakan, seperti mainan yang dijadikan tameng kepentingan.

Aku tetap menang, tetapi Arman hanya mendapatkan hukuman ringan. Dia masih bisa menampilkan senyuman, bahkan menyiapkan serangan balasan yang menyakitkan.

Pengaruh dan koneksi menggiring opini orang sekitar.

Keluarga Sanjaya memutar balikkan kenyataan. Mereka mencetuskan gosip kalau menggagalkan pernikahan karena aku tidak perawan lagi.

Ia menuduhku dan memberi tuntutan ke pengadilan hanya untuk alibi semata.

Tudingan demi tudingan secara kejam menyerangku. Terlebih, kepada Ibu melalui teman sejawatnya. Tak jarang, Ibu pulang dengan tangisan mengadu.

Bapak semakin merasa bersalah. Dia meruntuki dirinya sendiri, karena dialah yang membawa keluarga itu ke tengah-tengah keluarga ini.

“Bapak. Raya tidak apa-apa. Biarkan gosip itu. Toh, nanti akan hilang kalau mereka bosan. Justru raya bersyukur karena diselamatkan dari orang yang tidak menganyomi.”

“Tapi, Nduk. Ini berpengaruh pada masa depanmu. Laki-laki mana yang–”

“Cukup, Pak. Justru orang yang tidak tulus menyayangi Raya, akan tersingkir karena gosip itu. Hanya laki-laki yang tulus menyayangi Raya yang bertekad menikahi Raya. Iya, kan Pak?”

Ucapan itu terdengar mudah. Namun, sebenarnya itu untuk menghibur diriku. Bagaimana tidak, di setiap pertemuan dan dimanapun aku melangkah, ada saja yang berbisik-bisik dengan kasus itu. Pandangan mereka seakan menunjuk kalau aku perempuan tidak benar.

Kesehatan Bapak mulai menurun bersamaan dengan bisnis yang mengalami banyak masalah.

Pak Sanjaya menghasut rekan kerja lainnya untuk menjauhi Bapak. Kami sekeluarga seperti diserang dari segala arah. Mereka seakan tidak puas, sampai kami menyerah.

Puncak dari semua ini, Bapak terkena serangan jantung. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi yang di Atas menghendaki Bapak untuk beristirahat di sisi-Nya. Sejak itu, aku merasa dirikulah yang menjadi pembunuh Bapak.

Seandainya tidak ada rencana pernikahan itu, pasti kemalangan ini tidak terjadi.

Ibu pun memilih pulang ke rumah nenek. Kami sepakat meninggalkan kota yang menjadi mimpi buruk, sementara aku kembali ke kampus tempatku mengenyam pendidikan.

Di sini, aku menjadi penjaga perpustakaan sambil menekuni sebagai penulis cerita fiksi di beberapa platform. Meski beberapa kali ibuku itu memintaku menjalin cinta, tapi aku masih trauma….

“Selamat siang. Selamat siang!”

Teriakan dan lambaian tangan tepat di depan wajah ini, meluruhkan semua kenangan buruk. Aku menyusut air mata yang sempat mengambang di mata ini.

“Mbak petugas perpustakaan ini, kan?”

Mataku mengerjap, mencoba mengumpulkan serpihan kesadaran. Apa aku berhalusinasi? Lelaki di depanku ini tidak seperti mahasiswa yang sering ke sini. Penampilannya pun sungguh berbeda. Warna kulitnya terlalu putih untuk ukuran laki-laki. Rambutnya sedikit berwarna coklat, dan ….

Mataku menyipit. Kenapa manik matanya berwarna hazel?

Aku terhenyak. Mengucek-ngucek kedua mata dengan tangan. Apa sosok di depanku ini nyata? Dia seperti tokoh di cerita fiksi.

“Mbak. Maaf, saya ingin mendaftar anggota perpustakaan. Kata petugas di pintu masuk harus mengurus di sini. Nama saya Alexander Dominic. Ini fotokopi kartu identitas, dan ini ….”

Aku mendengar apa yang diucapkan. Seharusnya aku menyodorkan form pendaftaran dan menyuruhnya melengkapi semuanya. Namun, kenapa aku tetap bergeming, dan mata kurang ajar ini enggan berkedip darinya?

"Ehem! Apa ada yang kurang?"

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Asiah Erap
Mbak aku suka alur cerita novel mu ini ayuh mbak semangat menulisnya.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status