Share

Bab 3. CEO

"Ehem! Apa ada yang kurang?"

Deheman dan suara yang dikeraskan, menyadarkan aku.

"I-iya. Harus isi form dulu," jawabku segera.

Aku gelengkan kepala, sambil membungkuk mengambil form di laci bagian bawah, dan menyerahnya. Sesaat aku menepuk dada, meruntuki kelakuanku yang kampungan ini. Memang dia terlihat tampan, tapi tidak seharusnya aku melongo seperti orang bodoh.

Telunjuk dan ibu jari memposisikan frame kacamataku. Mata rabun ini harus menajam untuk membaca kartu identitas yang terlihat kecil.

Nama yang tidak biasa, Alexander Dominic. Sepadan dengan penampilannya yang tidak seperti orang kebanyakan.

'Masih bocah,' bisik hatiku.

Kalau dihitung dari tahun lahir, dia berusia dua puluh lima. Kemungkinan anak muda ini berasal dari universitas lain yang berkunjung ke sini. Tidak mungkin dia mahasiswa di kampus ini, aku tidak pernah bertemu.

Memang aku tidak hapal. Akan tetapi seseorang yang mencolok seperti dia, tidak mungkin terlewat dari pandangan.

"Selain kartu identitas, dilampirkan juga kartu mahasiswa, dan surat pengantar dari kampus anda," ucapku sambil menerima form yang sudah terisi.

Dia tersenyum. Mataku melihat sekilas, kemudian kembali menekuri tulisan tangannya yang terlalu rapi untuk ukuran laki-laki.

'Edan. Senyumannya menunjukkan lesung pipit. Orang kok gantengnya kebangetan.'

Aku menyibukkan diri menstaples fotokopi KTP pada form pendaftaran.

"Tapi, Mbak. Saya bukan mahasiswa."

"Oh, dari perusahaan? Kalau begitu ada surat pengantarnya, kan?"

"Ada."

Dia mengeluarkan amplop dari tas selempang berwarna hitam.

Tasnya terlihat mahal dengan logo burung elang yang merentangkan sayap. Mataku menyipit memastikan huruf di tengah-tengah logo itu, ya GA. Persis dengan tas yang dikenakan tokoh fiksiku, yang menggambarkan dia orang berduit.

'Halah, mungkin dia beli di pasar malam. Merk dalam dan luar negeri pun di sana banyak, dan harganya terjangkau,' bisik hatiku sambil melirik tasku yang berlogo H.

"Ini, Mbak. Tapi maaf, saya belum membawa foto."

"Tidak apa-apa. Bisa menyusul. Tapi belum bisa pinjam buku, ya," jawabku tanpa melihat ke arahnya.

"Iya, Mbak."

Aku memilih menekuri surat pengantar yang dia sertakan. Kop surat bertuliskan Global Dominic Technologies, Tbk.

Seingatku, perusahaan ini sering terdengar di telinga, gara-gara mensponsori pengiriman atlet ke luar negeri. Pintar pemilik perusahaan ini, dia mendulang simpati publik demi popularitas perusahaannya.

Dahi ini mengernyit saat membaca bagian terakhir, 'Alexander Dominic.'

"Surat pengantar harus ditandatangani atasan, bukan dibuat diri sendiri," ucapku sambil menyodorkan kembali kertas.

Sudah sering aku mendapati kasus seperti ini. Karena butuh referensi, mereka menghalalkan segala cara. Buku, jurnal, dan hasil penelitian di perpustakaan di sini, terhitung lengkap. Tak jarang, orang dari luar membutuhkan untuk melengkapi data.

Kertas yang aku sodorkan tadi, bergerak ke arahku kembali. Tidak hanya itu, dia menyertakan juga kartu nama di atasnya.

"Ini asli, Mbak. Saya tidak punya orang di atas saya lagi " ucapnya.

Aku mengangkat wajah. Sekarang aku menilik sosoknya lebih jeli. Dia anak muda, yang masih pantas disebut mahasiswa semester akhir. Bajunya saja dia hanya menggunakan kaos lengan panjang berkerah, dan dipadukan dengan celana jeans biru tua.

Penampilannya tidak terlihat seperti eksekutif muda, yang biasanya mengenakan baju kerja rapi. Dia lebih pantas disebut anak kuliahan yang sedang menyusun skripsi.

"Iya? Jadi kamu pemilik perusahaan?" ucapku mulai kesal. Ngibul boleh, tapi kalau keterlaluan jangan. Aku tertawa kecil dengan memberikan tatapan tidak percaya.

Kepala ini terpaksa mengikuti arah pandangan. Jari telunjuk mengetuk tulisan tepat di bawah namanya pada kartu nama dan surat pengantar, yang bertulis:

~~

Alexander Dominic

Chief Executive Officer

~~

"Masih kurang percaya?"

DUH!

Sudah kedua kali aku dibuatnya melongo. Lelaki muda ini ternyata seorang CEO. Beruntung Mbak Lani segera datang. Dia langsung menyambutnya dengan posisi yang memantik dahi ini berkerut.

"Selamat datang, Pak Alex. Sekretaris bapak bilang akan datang hari besok."

"Iya. Ini dengan Mbak Lani, ya?"

"Iya, Pak. Saya Lani. Dan ini teman saya, Raya," ucapnya sambil menyenggol lenganku. "Maaf, karena saya pikir Bapak tidak datang hari ini, jadi saya tidak memberikan pesan pada teman saya ini."

Aku menatap mereka dengan heran. Berarti dia benar-benar seorang pimpinan perusahaan itu? Sampai-sampai kedatangan di perpustakaan ini sudah diatur oleh sekretaris.

"Oh, pantas," serunya sambil tertawa.

Senyum Mbak Lani menyurut. Dia menggelengkan kepala ke arahku, sorot matanya terlihat menuntut jawaban.

"Oh, tidak apa-apa. Mbak Raya ini menghandle saya dengan baik. Cuma dia sempat berpikir kalau saya masih kuliah. Apa penampilan saya masih terlihat seperti anak muda, ya?" ucapnya sambil tertawa.

Mbak Lani pun ikut tertawa. Aku juga, setelah sikunya di arahkan kepadaku.

Untung saja, drama tidak berlanjut. CEO itu melanjutkan masuk ke ruang perpustakaan. Mbak Lani terlihat mengistimewakan dia. Seniorku itu mengantar sampai ke gedung yang dia maksud.

Tujuannya, gedung yang menyimpan jurnal penelitian.

*

"Ganteng, ya," ucap Mbak Leni sambil menghempaskan bokong ke tempat duduk. Dia membuka tas yang dia bawa tadi. Mengambil minuman botolan dan disodorkan kepadaku.

"Tukang jusnya tutup. Kopi ini cukup kan?"

"Lebih dari cukup. Ini kesukaanku. Walaupun kopi botolan, tapi diminum tidak bikin kembung."

Aku membuka tutup berwarna merah, kontras dengan botol yang berwarna hitam.

"Makasih, ya, Mbak. Aku tidak perlu bikin kopi lagi," ucapku setelah meneguk setengah dari isi botol.

Kopi dingin dengan pemanis dari gula aren. Rasanya mantap. Aku menerima roti pisang yang disodorkan Mbak Leni. Kami menikmati di waktu senggang sambil berbincang ringan.

"Dia keren, ya?"

"Siapa?" tanyaku setelah menenggak habis sisa kopi.

"Alexander Dominic."

Aku tertawa kecil. Hanya orang sakit mata yang mengatakan laki-laki itu tidak keren.

"Laki-laki seperti dia itu, calon suami idaman. Ganteng, tajir, pinter. Pokoknya paket komplit!" seru Mbak Leni.

Dia ini memang lebih tua dua tahun dariku. Tubuhnya mungil dengan wajah yang selalu tersenyum. Rambutnya yang dipotong pendek, mengelabui usia dan statusnya yang sudah janda dua kali.

Aku tidak habis pikir, kegagalannya tidak menyurutkan dia berganti-ganti pacar. Katanya, pernikahan yang ketiga nanti harus menjadi yang terakhir. Makanya, seleksi harus ketat.

"Menurut kamu bagaimana, Raya? Kita kan sama-sama jomlo. Siapa tahu bisa menggaet dia," ucapnya semakin tidak karuan.

"Mbak Leni. Itu kejauhan. Halusinasinya terlalu jauh."

"Lah. Siapa tahu, Yak. Seperti di novel online, CEO kecantol gadis desa yang lugu. Atau pewaris tunggal, jatuh cinta dengan pembantu. Atau, CEO ndeso kepincut karyawannya. Kita kan lebih dari itu. Iya, kan?"

Aku tertawa.

"Itu hasil ngimpi penulis, Mbak," celetukku.

Dalam hati aku tertawa. Beberapa yang dikatakan Mbak Leni itu hasil tulisanku yang dimuat di platform novel online. Nama pena menyembunyikan identitasku. Jadi walaupun mendapat pembaca yang aku kenal, dia tidak tahu itu aku. Seperti Mbak Leni ini.

"Lah. Siapa tahu, Yak. Ucapan itu doa," ucapnya kemudin menggeser tempat duduk. Dia mendekat.

"Tapi seandainya dia suka kamu, kamu mau, kan?"

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Asiah Erap
Mbak Lani janda 2 x haha, moga bertemu jodoh yg bai ya mbak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status