“Ada yang salah?”
Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan.
Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk.
“Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino.
Huft!
Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana.
“Kenapa disembunyikan?”
“Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan.
“Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant.
Aku mengernyit.
‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih baik segera hengkang dari laki-laki genit seperti dia.
“Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku langsung bersiap beranjak.
Tangannya menggapai. “Kemana? Itu minuman dan makanan belum habis.”
“Saya tidak berselera.”
Kepalanya terangkat dan menatapku. Sekilas aku melihat dia menautkan kedua alis, kemudian menyajikan senyuman. Dia beranjak menghalangi jalanku.
“Maaf kalau saya sekali lagi membuat Mbak Raya kesal. Silakan duduk kembali. Saya janji tidak bicara aneh-aneh. Okey?”
“Maaf.”
“Please. Saya janji.” Tangannya terangkat menunjukkan dua jari. Matanya mengerjap menunjukkan kesungguhan.
Entah, laki-laki ini mungkin mempunyai kemampuan menghipnotis. Aku menurut saat dia menarik kursi mempersilakan aku duduk kembali. Sesaat, kami hanya diam. Menikmati pesanan masing-masing.
Aku melirik hidangan yang jauh berbeda. Dia cappocino dan croisant, sedangkan aku kopi hitam dan kentang goreng.
“Boleh minta kentang gorengnya? Sepertinya enak,” ucapnya membelah keheningan.
Aku menyodorkan piring oval. Dia membuka croisant yang tinggal separoh dan mengisi dengan kentang goreng.
“Paduan ini akan menimbulkan sensasi yang berbeda. Apalagi ditambah cocolan pedas ini.”
“Enak?” tanyaku sambil mengernyit. Menatapnya saat dia melahap modifikasi hidangan ada dia.
“Sangat. Mau coba?” Dia menyodorkan, kemudian tertawa. Mungkin karena melihatku yang memasang wajah judes.
“Maaf. Saya bercanda.” Kepalanya bergerak sedikit ke arahku, kemudian dia berucap, “Bagaimana kalau kita berteman? Di kota ini, saya tidak ada teman,” ucapnya, kemudian meraih cappucino dan menyesapnya sampai tandas.
***
Ketik, baca, hapus. Ketik, baca, hapus.
Berulang kali hasil tulisanku tidak seperti yang aku harapkan. Tidak ada nyawa, hanya seperti berita saja. Padahal, jarum jam sudah hampir menunjuk tengah malam. Tenggat waktu yang tidak memenuhi target harianku. Biasanya, aku akan merilis dua sampai tiga bab di setiap harinya. Namun, kenapa otak ini menjadi bebal dan buntu?
Adegan pelakor yang dilabrak oleh istri, menjadi kurang greget. Harusnya ini memantik amarah pembaca dan rasa penasaran. Akan tetapi aku tidak mempu membangkitkan amarah di dada. Bagaimana aku bisa menularkan kemarahan, kalau aku saja tidak merasakannya sekarang?
“Kita baikan dan menjadi teman. Untuk berbincang saja. Sesekali kita bertemu minum kopi seperti sekarang ini.”
Kepala ini dipenuhi tawaran dari si Alexander Dominic itu. Pertanyaan dan asumsi seakan berjubel di kepala ini. Kenapa seorang CEO seperti dia ingin berteman denganku? Walaupun dia menjelaskan, tetapi masih ada yang mengganjal di pikiranku.
“Kebetulan ada proyek yang akan dikembangkan. Selain Mbak Raya orangnya blak-blakan, tetapi juga nyambung dengan yang saya bicarakan. Mbak Raya dulu anak MIPA, kan?”
Tadi aku tertawa mendengar permintaannya. Aneh saja.
“Bukankah di perusahaan ada team peneliti?”
“Ada. Tapi mereka tidak bisa diajak nongkrong sambil ngopi seperti ini,’ jawabnya sambil tersenyum.
Duh!
Kenapa senyumannya seperti virus batuk, yang mengusik dan tidak memberiku kesempatan untuk berpikir seperti biasanya. Bagaimana bisa aku menggambarkan pertikaian, kalau senyuman enggan lepas dari bibir ini.
**
“Pagi-pagi sudah minum kopi?”
Mbak Leni mengagetkanku. Meluruhkan ingatanku yang hilang bersama uap kopi yang menguar. Aroma yang melemparkan aku ke kejadian kemarin.
“I-iya, Mbak. Ngantuk,” jawabku sambil menutup mulutku yang menguap.
“Apa sih yang dipikir? Sampai tidak bisa tidur? Tuh sekitar matamu kelihatan menghitam.” Matanya menyipit, setelah memanjangkan leher.
“Pakai ini,” ucapnya lagi setelah mengeluarkan benda seperti lipstrik.
“Apa ini?”
“Itu concealer, Yak. Untuk nutupi lingkar hitam di sekitar mata.”
“Aku tidak pakai ginian. Rasanya__”
“Sini aku pakaikan!” serunya memotong ucapanku.Tangan ini ditarik dan aku dipaksa duduk.
“Mbak ….”
“Diam!” ucapnya sebelum mengeluarkan peralatan make-up dan mulai beraksi. Nurut. Sambil mendengar omelannya yang tidak henti-henti.
“Jadi perempuan itu cuek boleh, tapi jangan mangabaikan penampilan. Sesekali dandan gitu, Yak. Pakai alas bedak, lipstick, dan eyeshadow. Bukan supaya kelihatan menor, tapi biar freash dan enak dipandang mata.”
Tanganku ditabok, saat menolak ketika kelopak mataku merasa dipoles.
“Diam. Ini demi kebaikanmu. Orang kok berangkat kerja masih kumus-kumus dan cuma kuciran saja. Dah! Sekarang buka mata, dah selesai!”
Kelopak mataku seperti menebal, juga bibir ini yang berasa strawberry. Mbak Leni menyodorkan cermin yang menunjukkan wajah ini yang terlihat beda.
“Bagaimana?”
“Lumayan.”
Kami berbincang sebentar di pantry sambil menikmati kopi dan ketan yang dibawa Mbak Leni. Seperti biasa, dia menceritakan pacar barunya. Ceritanya bersambung, dan diteruskan saat kami sudah menghadap di meja kerja.
“Kalau kamu kemarin dengan Pak Alex bagaimana?”
“Menjengkelkan.”
“Untung dia ganteng. Tajir lagi.”
“Begitulah,” jawabku sambil mengangkat kedua bahu. Enggan membicarakan lelaki itu lagi. Manusia yang mendatangkan pengaruh buruk. Buktinya, dia sudah menggagalkan jadwal menulisku.
“Rayak.”
“Hmm …,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku memilih berkutat dengan file yang dikirim dari bagian peminjaman.
Terpaksa aku menoleh ke arahnya, saat siku seniorku ini menyenggol punggungku.
“Yang kita bicarakan datang, tuh.”
Aku membalikkan badan, dan terhenyak saat sosok itu tersenyum ke arahku.
“Selamat pagi, Pak Alex." Mbak Leni berdiri menyambutnya. Namun, ia hanya mengangguk sekilas pada temanku itu dan langsung menatapku dalam.
"Saya ada perlu dengan Mbak Raya."
Deg!
“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso
Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke
Ingin tertawa, melihat bibirnya yang mengerucut menggemaskan.Namun, aku tidak bisa berkutik, terlebih saat tangan Mbak Leni mengalung erat di lenganku. ‘Sorry!’ ucapku tanpa bersuara. Melafalkan kata berharap dia mengerti yang aku maksud.Sedangkan seniorku ini, asyik menceritakan ada lapak baru di kantin. Katanya menjual gado-gado uleg dan karedok. Katanya pemiliknya asli dari Sunda yang memastikan rasa benar-benar khas. “Kita ke sana, Yak! Makan sayur segar bagus untuk kita untuk melawan usia. Tahu kan,wanita Sunda terkenal berkulit halus, cantik, dan awet muda,” ucapnya sambil menunjuk tempat yang akan kami tuju. “Terus setelah makan, kita berubah lebih muda sepuluh tahun?” “Harapannya, sih. Seperti aku ini,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Aku tertawa. “Berarti makanan ini bahaya untuk anak-anak.” “Iya. Apalagi kalau masih dibawah umur sepuluh tahun, bisa dia berubah jadi zigot setelah makan ini,” ucapnya berakhir kami tertawa bersama. Bukan Alexander Dominic namanya, k
Mungkin menjadi seorang CEO, modal utamanya adalah keras kepala. Kata penolakan tidak menyurutkan keinginan. Karena itu, mungkin menjadikan Alexander berhasil dalam menjalankan perusahaan. Terlebih, bidang yang dijalani tidak seperti pada umumnya. Berbanding terbalik denganku, yang maju mundur antara iya atau tidak. Pertarungan antara hati dan isi kepada menjadikan aku di persimpangan. Upaya dia untuk lebih dekat denganku membuatku bahagia, tetapi sesaat kemudian menjadikan aku seperti pemimpi di siang bolong. Angka sembilan tahun bukan hal remeh. Bayangkan saja, ketika aku sudah kelas tiga SD, dia baru lahir. Ketika aku sudah mengenal kata cinta monyet, dia masih sibuk berlatih membersihkan ingus. “Aku memang sudah di usia ambang, tetapi bukan berarti aku menerima siapapun yang datang. Kalaupun aku harus menikah, sepertinya kamu bukan pilihan,” ucapku saat dia menelpon tadi malam “Apa alasannya? Masih sibuk menghitung usia?” “Tentu saja iya. Wanita menikah itu untuk mencari ima
Aku pernah membaca quote di media sosial. Katanya, perlu manajemen pikiran untuk menjaga kewarasan. Memang benar, kalau semua dipikir bersamaan, kepala ini akan meledak. Rencana kedatangan ibu, alur cerita yang aku tulis yang tersendat, juga tawaran Alex yang menjadikan kaki ini maju mundur. Lebih baik, aku memasukkan semua itu ke dalam almari dan menutup rapat-rapat. Tentu saja supaya aku bisa menikmati hidup, terutama saat makan seperti sekarang. Warung pojok yang terletak di ujung gang kos-kosanku dulu menjadi tujuanku. Tempatnya hanya selangkah dari pintu gerbang kampus di sisi samping. Sekalian menikmati suasana segar dari anak-anak kampus yang berburu makanan murah dan enak, plus mampu membuat perut kenyang. “Tumben baru kelihatan, Mbak Raya. Sibuk?” “Iya, Bu. Kerjaan numpuk, padahal sudah kangen makanan di sini,” jawabku ke pemilik warung yang sudah mengenalku sebagai pelanggan tahunan. “Lauknya biasanya?” Aku menunjukkan jempol, karena mulutku sudah penuh dengan kerupuk