Share

Bab 6. Baikan

“Ada yang salah?”

Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan.

Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk.

“Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino.

Huft!

Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana.

“Kenapa disembunyikan?”

“Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. 

“Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant.

Aku mengernyit. 

‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih baik segera hengkang dari laki-laki genit seperti dia.

“Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku langsung bersiap beranjak.

Tangannya menggapai. “Kemana? Itu minuman dan makanan belum habis.”

“Saya tidak berselera.”

Kepalanya terangkat dan menatapku. Sekilas aku melihat dia menautkan kedua alis, kemudian menyajikan senyuman. Dia beranjak menghalangi jalanku.

“Maaf kalau saya sekali lagi membuat Mbak Raya kesal. Silakan duduk kembali. Saya janji tidak bicara aneh-aneh. Okey?”

“Maaf.”

“Please. Saya janji.” Tangannya terangkat menunjukkan dua jari. Matanya mengerjap menunjukkan kesungguhan.

Entah, laki-laki ini mungkin mempunyai kemampuan menghipnotis. Aku menurut saat dia menarik kursi mempersilakan aku duduk kembali. Sesaat, kami hanya diam. Menikmati pesanan masing-masing.

Aku melirik hidangan yang jauh berbeda. Dia cappocino dan croisant, sedangkan aku kopi hitam dan kentang goreng.

“Boleh minta kentang gorengnya? Sepertinya enak,” ucapnya membelah keheningan.

Aku menyodorkan piring oval. Dia membuka croisant yang tinggal separoh dan mengisi dengan  kentang goreng.

“Paduan ini akan menimbulkan sensasi yang berbeda. Apalagi ditambah cocolan pedas ini.”

“Enak?” tanyaku sambil mengernyit. Menatapnya saat dia melahap modifikasi hidangan ada dia.

“Sangat. Mau coba?” Dia menyodorkan, kemudian tertawa. Mungkin karena melihatku yang memasang wajah judes.

“Maaf. Saya bercanda.” Kepalanya bergerak sedikit ke arahku, kemudian dia berucap, “Bagaimana kalau kita berteman? Di kota ini, saya tidak ada teman,” ucapnya, kemudian meraih cappucino dan menyesapnya sampai tandas.

***

Ketik, baca, hapus.  Ketik, baca, hapus.  

Berulang kali hasil tulisanku tidak seperti yang aku harapkan. Tidak ada  nyawa, hanya seperti berita saja. Padahal, jarum jam sudah hampir menunjuk tengah malam. Tenggat waktu yang tidak memenuhi target harianku. Biasanya, aku akan merilis dua sampai tiga bab di setiap harinya. Namun, kenapa otak ini menjadi bebal dan buntu?

Adegan pelakor yang dilabrak oleh istri, menjadi kurang greget. Harusnya ini memantik  amarah pembaca dan rasa penasaran. Akan tetapi aku tidak mempu membangkitkan amarah di dada. Bagaimana aku bisa menularkan kemarahan, kalau aku saja tidak merasakannya sekarang?

“Kita baikan dan menjadi teman. Untuk  berbincang saja. Sesekali kita bertemu minum kopi seperti sekarang ini.”

Kepala ini dipenuhi tawaran dari si Alexander   Dominic itu. Pertanyaan dan asumsi seakan berjubel di kepala ini. Kenapa seorang CEO seperti dia ingin berteman denganku? Walaupun dia menjelaskan, tetapi masih ada yang mengganjal di pikiranku.

“Kebetulan ada proyek yang akan dikembangkan. Selain Mbak Raya orangnya blak-blakan, tetapi juga nyambung dengan yang saya bicarakan. Mbak Raya dulu anak MIPA, kan?”

Tadi aku tertawa mendengar permintaannya. Aneh saja.

“Bukankah di perusahaan ada team peneliti?”

“Ada. Tapi mereka tidak bisa diajak nongkrong sambil ngopi seperti ini,’ jawabnya sambil tersenyum.

Duh!

Kenapa senyumannya seperti virus batuk, yang mengusik dan tidak memberiku kesempatan untuk berpikir seperti biasanya. Bagaimana bisa aku menggambarkan pertikaian, kalau senyuman enggan lepas dari bibir ini.

**

“Pagi-pagi sudah minum kopi?”

Mbak Leni mengagetkanku. Meluruhkan ingatanku yang hilang bersama uap kopi yang menguar. Aroma yang melemparkan  aku ke kejadian kemarin.

“I-iya, Mbak. Ngantuk,” jawabku sambil menutup mulutku yang menguap.

“Apa sih yang dipikir? Sampai tidak bisa tidur? Tuh sekitar matamu kelihatan  menghitam.” Matanya menyipit, setelah memanjangkan leher.  

“Pakai ini,” ucapnya lagi setelah mengeluarkan benda seperti lipstrik.

“Apa ini?”

“Itu concealer, Yak. Untuk nutupi lingkar hitam di sekitar mata.”

“Aku tidak pakai ginian. Rasanya__”

“Sini aku pakaikan!” serunya memotong ucapanku.Tangan ini ditarik dan aku dipaksa duduk.

“Mbak ….”

“Diam!” ucapnya sebelum mengeluarkan peralatan make-up dan mulai beraksi. Nurut. Sambil mendengar omelannya yang tidak henti-henti.

“Jadi perempuan itu cuek boleh, tapi jangan mangabaikan penampilan. Sesekali dandan gitu, Yak. Pakai alas bedak, lipstick, dan eyeshadow. Bukan supaya kelihatan menor, tapi biar freash dan enak dipandang mata.”

Tanganku ditabok, saat menolak ketika kelopak mataku merasa dipoles.

“Diam. Ini demi kebaikanmu. Orang kok berangkat kerja masih kumus-kumus dan cuma kuciran saja. Dah! Sekarang buka mata, dah selesai!”

Kelopak mataku seperti menebal, juga bibir ini yang berasa strawberry. Mbak Leni menyodorkan cermin yang menunjukkan wajah ini yang terlihat beda.

“Bagaimana?”

“Lumayan.”

Kami berbincang sebentar di pantry sambil menikmati kopi dan ketan yang dibawa Mbak Leni. Seperti biasa, dia menceritakan pacar barunya. Ceritanya bersambung, dan diteruskan saat kami sudah menghadap di meja kerja.

“Kalau kamu kemarin dengan Pak Alex bagaimana?”

“Menjengkelkan.”

“Untung dia ganteng. Tajir lagi.”

“Begitulah,” jawabku sambil mengangkat kedua bahu. Enggan membicarakan lelaki itu lagi. Manusia yang mendatangkan pengaruh buruk. Buktinya, dia sudah menggagalkan jadwal menulisku.

“Rayak.”

“Hmm …,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku memilih berkutat dengan file yang dikirim dari bagian peminjaman.

Terpaksa aku menoleh ke arahnya, saat siku seniorku ini menyenggol punggungku.

“Yang kita bicarakan datang, tuh.”

Aku membalikkan badan, dan terhenyak saat sosok itu tersenyum ke arahku.

“Selamat pagi, Pak Alex." Mbak Leni berdiri menyambutnya. Namun, ia hanya mengangguk sekilas pada temanku itu dan langsung menatapku dalam.

"Saya ada perlu dengan Mbak Raya."

Deg!

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Syofian Sori
Bagus .bisa mengisi waktu luang untuk membaca
goodnovel comment avatar
Abdul Ghofur
lumayan, alur ceritanya cukup menarik, buat penasaran pembacanya
goodnovel comment avatar
Elmayaty Rahman
bahasanya bagus, alur ceritanya juga...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status