Share

PERTANYAAN PERTAMA

“Ibu, Bapak. Sekarang Ardi sudah jadi seorang suami dan Insya Allah kalau sudah waktunya Ardi juga akan menjadi seorang ayah. Ardi bingung harus bersikap seperti apa. Ardi takut tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik, Ardi takut tidak bisa menjaga dan membimbing Regina dengan baik. Pak, Ardi rindu. Bu, Ardi pengen ibu bisa dekat sama Regina. Perempuan yang sekarang jadi istri Ardi. Ya Allah, hamba mohon petunjuk, berikan kekuatan, kesabaran dan kebijakan dalam membangun rumah tangga ini. Hamba yakin Regina bisa menjadi teman hidup yang baik untuk hamba.” Subuh, dalam sujudnya Ardi menangis. Begitu khawatir tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

Diam-diam Regina mendengar doa suaminya itu. Tadinya Ardi ingin mengajak Regina ikut bersamanya untuk sholat subuh, tetapi laki-laki itu tidak tega membangunkan Regina.

“Adri, kamu apa kabar? Ini hari keduaku bersama laki-laki pilihanmu. Apa kamu yakin memberikan dia tanggung jawab untuk menjagaku? Adri jujur, aku mau kamu yang sekarang ada di sini. I miss you, my love,” rintih Regina di dalam hatinya.

Pagi ini waktunya Regina dan Ardi bertolak menuju kediaman Ardi. Setelah mereka berkemas, tepatnya Regina berkemas, karena 99% barang yang angkat ke dalam mobil adalah barang-barang milik Regina. Sementara Ardi hanya membawa sebuah ransel kecil berisi 3 pasang baju.

Tidak ketinggalan beberapa pot bunga kesayangan Regina dan tips perawatan yang sudah ditulis oleh Pak Niar.

“Pak, itu bunga-bunga saya tetap di rawat ya. jangan sampai layu apalagi mati. Kursi tamannya jangan sampai berkarat, rumputnya rutin dipangkas. Terus daun-daun keringnya ...”

“Udah-udah, biar mama yang ingetin Pak Niar. Kalau tunggu kamu selesai ngomong. Bisa-bisa gak jadi berangkat kalian,” potong Ratmi.

“Huaaaaaa, Yani ....” Regina merengek memeluk Yani yang juga sudah menangis tersedu-sedu karena tidak rela berpisah dengan Regina.

“Mbak Gin, ra-rajin-rajin ke sini ya. Ya-Yani sedih gak ada temannya lagi,” ucap Yani.

Ardi tersenyum. “Pa, Ma. Kami berangkat dulu. Doakan semoga sampai dengan selamat. Aku sama Gina menunggu kunjungan mama papa ke sana.” Ardi menyalami tangan kedua mertunya yang sudah dia anggap sebagai orangtua kandungnya sendiri.

“Iya, Nak. Semoga selamat sampai rumah. Kalian hati-hati. Kalau cape nyetir, istirahat dulu. Jangan lupa makan juga. Titip Gina, tolong jagain. Kalau nakal atau bikin repot jewer aja telinganya,” celetuk Ratmi yang matanya sudah memerah.

“Apaan sih, Ma.” Regina yang tidak terima dengan ucapan Ratmi segera melepaskan Yani dan beralih memeluk Ratmi. “Lagian mana tega Mas Ardi jewer telinga aku.”

“Kalian baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa, telfon papa atau mama,” kata Handoko.

Setelah drama perpisahan, tangis-tangisan, peluk pelukan akhirnya Regina berhasil duduk tenang di dalam mobil, walaupun masih dengan tangis yang sesengguknya.

“Gin, udah dong. Mas takut disangka nyulik kamu lagi.”

“I-ih, Mas a-apaan sih. Aku kan sedih pisah sama semuanya.”

“Nanti juga ketemu lagi. Kalau kita sampai di rumah, kamu pasti punya banyak teman lagi. Mas, punya tetangga yang baik loh, Gin. Nanti banyak an ....”

“Mas, jajan es potong dong. Itu yang di depan.” Tiba-tiba Regina memotong perkataan Ardi dan menunjuk gerobak es potong yang berada di depannya.

Ardi hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. “Tadi nangis, sekarang minta jajan. Habis ini apa lagi ya? Serandom itu mood kamu, Gin?” kekeh Ardi dalam hati.

Ardi memarkirkan mobilnya dan turun untuk membelikan Regina es potong. Tidak tanggung-tanggung, Ardi membeli 10 tusuk es potong untuk istrinya itu.

“Eh, Mas. Di sana ada kuda gak?” tanya Regina sambil terus menikmati es potongnya yang hanya tersisa satu tusuk saja.

“Ada, sekitar 5 kilo dari rumah ada peternakan kuda. Kita boleh berlatih untuk naik kuda, belajar tentang dunia kuda dan masih banyak lagi. Kenapa?”

“Gak, cuma nanya aja Mas. Hehehe.” Regina terkekeh dan membuka lagi satu tusuk es potong terakhirnya “Yah, Mas tinggal satu. Kamu aja deh, aku udah makan 9 tusuk,” katanya menyodorkan es potong tersebut pada Ardi.

“Serius nih?”

“Iya, Mas.”

Ardi mengambil es potong tersebut, tetapi baru saja dia ingin memakan es potong tersebut. Raut wajah Regina berubah murung.

“Nih, kamu aja yang makan. Mas kan nyetir.” Ardi memberikan lagi es tersebut kepada Regina dan di sambut dengan senyum sumringah di wajahnya.

Tampaknya Regina hanya basa-basi memberikan es potong tersebut, padahal dalam hati dia sudah misuh-misuh karena jatah es potong terakhirnya di ambil oleh Ardi.

“Mas, waktu nikah sama aku, Mas punya pacar?” tanya Regina tanpa berpaling dari es potongnya.

Lama Ardi terdiam, menyusun satu demi satu kata yang akan keluar dari mulutnya. “Punya.” Ardi menjawab singkat.

Jawaban Ardi sukses mengalihkan pandangan Regina dari es potongnya. Regina menoleh pelan, memandang wajah Ardi dari samping lamat-lamat.

“Kenapa Mas gak bilang sama Adri? Kalau begini aku merasa jahat sudah merebut kamu dari orang lain, Mas,” balas Regina sambil terus menatap Ardi.

“Kita bahas setelah sampai di rumah ya, Gin. Panjang ceritanya. Mas akan ceritakan selengkap-lengkanya dan sejujur-jujurnya. Gak akan ada yang Mas sembunyikan.” Ardi menoleh sebentar sambil tersenyum dan memberikan tisu untuk Regina karena bibirnya dipenuhi oleh es potong coklat yang membuat Regina terlihat seperti anak TK belajar makan.

“Ehe, gara-gara Mas nih, beliin es potong, jadi belopatankan bibirku,” kata Regina sambil mengelap bibirnya.

Ardi lagi-lagi hanya menggeleng dan tersenyum, “Kamu loh Gin yang minta es potong tadi,” batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status