Share

Rumah Baru Regina

Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih dari Jakarta ke Bandung, akhirnya Regina dan Ardi sampai disebuah rumah yang didesain tradisional tetapi tetap terlihat modern.

“Gin, bangun,” panggil Ardi dengan lembut. Regina hanya berdehem dan terus meringkuk tanpa membuka mata sedikitpun.

“Gina, kita sudah sampai.” Sekali lagi Ardi mencoba membangunkan Regina dengan lembut.

Perlahan Regina membuka matanya, beberapa kali mengerjap dan menghentikan pandangannya pada senyum Ardi.“Udah sampai, Mas?” tanyanya tanpa berkedip.

“Udah. Ini rumah aku.” Ardi menunjuk rumah yang sudah dia tinggali seorang diri sejak lama. Regina dan Ardi turun dari mobil. Meluruskan belakang yang rasanya cukup lelah setelah ditekuk beberapa jam.

“Tolong buka pintunya, ya. Kuncinya yang sedikit lebih kecil dari kunci mobil. Mas mau turunkan barang-barang,” kata Ardi yang sudah berada di belakang mobil.

“Boleh, Mas?” tanya Regina sedikit kebingungan melihat ada banyak kunci yang dipadukan dengan kunci mobil.

Ardi memiringkan tubuhnya sedikit dan tertawa geli melihat tingkah Regina. “Gin, kamu kan istri aku sekarang. Jelas boleh dong. Rumah ini sudah jadi rumah kamu juga,” kata Ardi lalu kembali melihat beberapa tas di bagasi mobil, memilih mana yang kira-kira akan diturunkan lebih dulu.

Regina menggaruk kepalanya dan berjalan menuju pintu rumah itu. “Pantas kamu bilang aku bakalan suka. Orang bunga kamu lebih banyak dan lebih bagus dari punyaku,” kata Regina pelan.

Regina membuka pintu rumah itu, dengan tiga kali percobaan karena merasa bingung dengan 3 kunci yang berukuran sama. Rumah Ardi terlihat rapi, tidak terlalu banyak perabot. Seperti ruangan tamu yang hanya berisi satu set sofa lengkap dengan mejanya, sebuah bufet kecil dengan beberapa patung keramik kecil diatasnya sebagai pajangan, sudut ruangan yang dihiasi bunga dan tiga bingkai lukisan burung merak didindingnya.

Tanpa sadar Regina melangkah masuk, memperhatikan lagi rumah yang terkesan sangat nyaman dan terkesan homie dengan warna-warna coklat yang memanjakan mata. Semua perpaduan warnanya membuat tenang. Tidak ada AC, tetapi rumah Ardi tidak terasa pengap apalagi panas.

Memasuki ruangan kedua, lagi-lagi interior dan perabot sederhana ada di sana. Satu set sofa santai dan meja kecil yang berada di depan televisi tabung. Dinding sebelah kiri menggunakan pintu sorong full kaca yang langsung mengarah ke halaman samping, tepatnya kolam ikan yang dipenuhi warna warni ikan koi.

Beberapa foto terpajang rapi, ada satu bingkai besar yang menampilkan tiga orang di sana. Regina menduga, jika itu adalah foto keluarga Ardi.

“Ternyata bibir indah itu dari ibunya, hidung mancung itu dari ayahnya dan kulit sawo matangnya adalah perpaduan dari mereka. Cantik ... mama kamu cantik, Mas,” batinnya.

“Itu foto ibu dan bapakku, mertuamu,” kata Ardi yang sudah berdiri di dekat pintu. “Bagaimana rumahnya? Kamu suka?” tanya Ardi.

“Suka. Kayaknya ini akan jadi spot favorit aku.” Tunjuk Regina pada kolam ikan di halaman samping.

Ardi terkekeh geli. “Semua sudut rumah ini dari halaman depan sampai halaman belakang punya kamu. Gak akan ada yang bisa ambil alih, Gin. Jadi kamu bebas,” jelas Ardi. “Kecuali ....”

“Kecuali apa, Mas?” tanya Regina penasaran.

“Gak,” jawab Ardi lalu masuk ke dalam kamar menghindari Regina, karena dia hanya menggodanya saja.

“Ih, Mas! Kecuali apa?” rengek Regina sambil menyusul Ardi.

Namun saat memasuki kamar, Regina mendorong pintu terlalu keras karena mengira jika pintu kamar ditutup dengan rapat, sehingga Regina nyaris saja terjatuh. Untungnya Ardi sigap menangkap tubuh mungil istrinya.

“Cantik,” bisik Ardi. “Gak ada kecualinya Sayang. Mas cuma bercanda.”

Regina tidak bergeming. Dia hanya menatap Ardi dan menikmati setiap lekuk wajah Ardi yang begitu sempurna untuknya.

“Gin, gak mau berdiri? Mas cape nahannya,” sambung Ardi dan membuat wajah Regina lagi-lagi memerah.

Regina langsung berlari keluar dari kamar, memegang kedua pipinya yang memanas.

“Eh mau kemana, Gin?” teriak Ardi.

“Toilet,” jawab Regina yang sudah berada jauh dari kamar.

“Katanya mau ke toilet, tapi kok larinya ke pintu depan sih? Gina ... Gina.” Ardi berdiri sambil memperhatikan Regina yang berdiri di halaman sambil mengipas wajahnya dengan tangan.

Hari kedua menjadi pasangan suami istri, hubungan Ardi dan Regina tidak begitu kaku. Ardi yang dewasa mampu mengibangi dan tau cara memperlakukan Regina. Namun, jauh dilubuk hatinya Ardi masih berusaha mencintai Regina, mencoba melupakan wanita yang masih dia simpan di dalam hatinya. Wanita yang pergi tanpa pamit, tanpa kabar dan tanpa penjelasan hingga hari ini.

Ardi merasa bersalah, dengan statusnya yang sudah menjadi suami Regina, seharusnya dia mampu melupakan semua perasaannya pada wanita lain, wanita yang mungkin sudah melupakan Ardi dan semua kenangan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status