Share

MALAM PERTAMA

Pintu kamar itu terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki yang begitu gagah dengan senyum yang begitu mempesona bagi orang lain. Kecuali ... Regina.

“Dia di belakang kamu sekarang,” bisik Sabrina sambil memegang bahu Regina.

Regina terdiam, tidak mengatakan apapun. Hanya hembusan nafas panjang sebagai balasan dari bisikan Sabrina.

Regina berbalik, langkah demi langkah terlihat jelas olehnya. Ardi mendekat dengan senyum yang tidak pernah pudar dan tatapannya yang begitu hangat.

“Assalamualaikum, Gin.” Ardi bersuara begitu tenang, yakin dan tanpa keraguan sedikitpun.

“Waalaikumsalam, Mas Ardi,” jawab Regina nyaris tidak terdengar.

Pertama kalinya, Regina mengambil tangan laki-laki itu dan menciumnya. Ardi mendekat, mencium kening wanita yang tidak pernah dikenalnya namun dengan takdir, dijadikan sebagai istrinya. Air mata kedua anak manusia itu menetes. Penuh tanya, apakah mereka mampu menyampingkan ego masing-masing.

Ardi dan Regina kini duduk bersanding di pelaminan. Tersenyum pada semua orang yang hadir. Sesekali Regina tidak bisa menyembunyikan air mata yang sudah berdesakan untuk keluar.

“Saya tahu ini terlalu tiba-tiba, tetapi saya berharap tidak membuat kamu kecewa dengan sengaja,” bisik Ardi tanpa menoleh.

“Mas, mungkin saya tidak akan bisa mencintai, Mas Ardi. Rasa cinta saya begitu besar kepada Adri. Saya sudah berjanji di dalam hati saya untuk terus menyimpan semua kenangan dan cerita kami dengan rapi,” jawab Regina dengan suara pelan namun penuh ketegasan.

Ardi terdiam, laki-laki itu hanya bisa tersenyum getir. Walaupun begitu, Ardi sudah bertekad untuk menjaga Regina seperti pesan Adri padanya.

Ardi akan berusaha semampunya, walaupun tanpa cinta dan harus menerima penolakan dari Regina.

Waktu terus berlalu, tamu undangan sudah tidak sebanyak tadi. Hanya tersisa beberapa orang saja yang masih duduk bercengkrama.

“Dek, tamunya sudah pada pulang. Gih istirahat sama Nak Ardi. Kalian pasti cape,” ucap Ratmi, ibu Regina.

“Iya, Ma,” jawab Regina singkat lalu segera pergi tanpa menunggu Ardi yang masih tertinggal d belakangnya.

“Bu, saya permisi ke kamar. Mau istirahat,” pamit Ardi pada Ratmi.

Ratmi menepuk pundak Ardi, menantunya. Perempuan yang sudah berusia sekitar 50 tahun itu tersenyum begitu tulus. “Terima kasih, Nak. Ibu minta tolong, jaga Regina dengan baik. Semoga kamu selalu diberi kesehatan dan kesabaran dalam tugas barumu menjadi suami dan kelak ayah dari anak-anakmu.”

Ardi memeluk Ratmi erat, kemudian menyusul Regina yang sudah lebih dulu ke kamar.

Sesampainya di kamar, Ardi duduk di sisi tempat tidur. Memperhatikan Regina yang masih mengenakan gaun pengantinnya, sedang menghapus riasan di wajahnya. Ardi merebahkan dirinya dalam keheningan.

“Mas,” panggil Regina.

Ardi bangun dari tidurnya dan menatap pantulan Regina di cermin. “Ada apa?”

“Boleh bantu aku membuka gaun ini?” tanya regina pelan.

“Apa boleh?” Ardi balik bertanya dengan ragu-ragu.

Regina hanya terdiam dan terus menatap Ardi lewat cermin di depannya. Ardi berdiri mendekati Regina.

Perasaan keduanya campur aduk. Jantung mereka berdebar tidak karuan. Kamar yang awalnya terasa sejuk, mendadak panas. Regina menunduk, memindahkan rambut panjangnya ke samping.

“Maaf,” ucap Ardi pelan sebelum memegang punggung Regina.

Tangan Ardi yang dingin refleks membuat Regina terkejut. Namun, dengan segera dia bersikap biasa saja. Tangan laki-laki itu gemetar, nafasnya terasa hangat mengenai leher Regina. Bagian belakang gaun itu sudah terbuka sepenuhnya, memperlihatkan kulit putih Regina yang nyaris polos jika saja tidak ada pengait bra yang menempel.

Ardi segera berbalik, bersusah payah menelan salivanya. Laki-laki itu berkeringat. Bagaimanapun Ardi adalah laki-laki normal, lagipula tidak ada salahnya jika dia berhasrat pada Regina, yang sudah sah menjadi istrinya.

“Mas ... aku minta maaf, karena aku belum siap untuk bisa memberikan apa yang seharusnya kamu terima hari ini.” Regina terisak, air matanya jatuh tidak terbendung.

Ardi yang mendengar Regina menangis, merasa iba. Laki-laki itu berbalik dan memegang kedua bahu Regina. “Aku tidak akan memintanya apalagi memaksamu. Kamu boleh memberikannya saat kamu sudah siap. Saya akan menunggu dan berusaha, walaupun sejujurnya ini cukup menyiksa,” celetuk Ardi mencoba mencairkan suasana sambil menghapus air mata Regina.

Wajah Regina memerah, refleks wanita itu mencubit pinggang laki-laki yang ada di belakangnya. “Mas, aku serius ... kamu malah becanda.”

Ardi membalikkan tubuh Regina sehingga berhadapan dengannya. “Gin, aku percaya kalau kamu itu baik. Ini hanya masalah waktu, aku juga gak bisa cemburu sama Adri. Adri akan selalu ada di hati kamu sampai kapanpun, aku gak akan bisa geser dia dari posis itu,” kata Ardi mengusap lembut rambut regina.

“Udah tugas aku buat sabar dan berdoa suatu hari nanti kita bisa dapat titik terangnya. Karena kalau boleh jujur aku juga belum punya perasaan apa-apa sama kamu untuk saat ini. Tapi aku mau berusaha mendapatkan cinta kamu, jadi orang yang selalu ada dan sayang buat kamu. Mohon bantu aku, Gin, aku gak bisa kalau cuma sendiri. Tegur aku kalau salah, tegur aku kalau buat kamu kecewa. Aku juga cuma manusia biasa yang bisa khilaf, kita sama-sama belajar bangun rumah tangga kita, kita sama-sama pegang kemudi, biar kapal kita bisa sampai di tempat tujuan. Kamu maukan?” sambung Ardi.

Regina tersenyum kecil, memeluk tubuh laki-laki yang ada di depannya begitu erat. Hangat dan aman, itulah yang dirasakan Regina. Cantik, satu kata yang dipikirkan Ardi di dalam kepalanya saat melihat senyum itu.

Ardi kemudian keluar, mencoba memberikan ruang untuk Regina agar bisa berganti pakaian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status