Share

Chapter 3 : Welcome to Bristol

Tiba hari dimana Esa akan berangkat ke Bristol. Sejak semalam, Anna tidak melepaskan pelukannya dari sang putra. Tidak hanya itu, dia bahkan mengekori kemanapun Esa melangkah.

Esa mendesah lelah, ibunya benar-benar tidak bisa di tinggalkan. "Bagaimana ini ojisan?" tanya Esa kepada Tomo dengan tatapan memelas karena ibunya masih setia bergelayut manja di tangannya.

"Anna, bisakah kau lepaskan Esa? Dia harus berangkat sekarang," Tomo mencoba mengingatkan Anna dengan pelan.

"Sebentar lagi, aku masih ingin memeluk putraku." jawabnya tanpa bergerak sedikit pun dari posisinya.

"Jika begini terus, kau akan menghambat keberangkatan Esa." kali ini Sean yang bicara mengingatkan.

Anna sedikit tidak suka dengan Sean yang menginterupsi kegiatannya. Tapi biar bagaimanapun Anna sadar kalau apa yang dikatakan Sean itu benar. Dengan berat hati, Anna pun akhirnya melepaskan pegangan tangannya dari lengan Esa. 

"Mama

ikut mengantar ke bandara ya?" tanya Anna dengan tatapan memohon. Tapi Esa langsung menggeleng dengan cepat sebagi bentuk penolakan. 

"Tidak!" Tolak Sean tegas. "Kita sudah sepakat semalam, hanya aku yang akan mengantar Esa pergi." pasalnya mereka memang sudah membicarakan ini, dan keputusannya Anna tidak boleh ikut, karena perempuan itu mungkin akan menangis dan meraung-raung di bandara.

Anna mencebik kesal. "Kalian ini jahat sekali. Padahal aku hanya ingin mengantar kepergian anakku." Anna memperlihatkan wajah sedihnya.

"Berhenti ber-drama Joanna. Kau ini, berpisah seminggu saja tidak akan membuatmu kehabisan darah." Ucap Tomo yang sejak tadi pagi pembahasan mereka hanya seputar itu-itu saja.

"Ojisan benar, sebaiknya aku berangkat sekarang sebelum pesawatnya pergi." Esa sekali lagi memeluk ibunya. "Aku akan baik-baik saja, mama

segera selesaikan pekerjaannya dan kita akan segera bertemu kembali." ucap Esa yang berhasil memenangkan ibunya.

"Sepertinya mereka adalah ibu dan anak yang tertukar." cibir Tomo begitu melihat interaksi Esa dan Anna.

"Baiklah kalau begitu kami berangkat." Sean menyeret koper Esa dan memasukannya kedalam mobil, kemudian Esa mengikutinya dan duduk di samping kursi kemudi.

Anna yang berdiri di samping mobil, hanya mampu melambaikan tangannya dan menangis tersedu begitu mobil tersebut meninggalkan halaman rumah.

"Sudah Anna, sebaiknya kita ke toko sekarang. Semakin cepat urusanmu selesai, makin cepat pula kau menyusul Esa." ucap Tomo yang kini sedang berusaha menyeret Anna untuk kembali kedalam.

✿✿✿✿✿

Setelah berpamitan kepada Sean, Esa naik kedalam pesawat dan duduk nyaman di kursi VIP. Anna sengaja memesan tiket VIP karena ini merupakan penerbangan pertama Esa sendirian.

Esa duduk di dekat jendela pesawat, matanya menerawang jauh seolah sedang melihat pemandangan di luar sana, namun ternyata pikirannya justru tidak berada di sana. Esa sibuk memikirkan apa yang dikatakan ibunya semalam, setelah dia tahu tentang ayahnya bukan rasa nyaman atau bahagia yang ada dihatinya, melainkan sebuah luka dan kebencian. Ah ternyata ayahnya hanya seorang bajingan yang tidak pantas menerima cinta ibunya.

Esa tenggelam dalam lamunannya hingga tidak menyadari ada seseorang yang sudah duduk disampingnya. Dan sejak tadi dia memperhatikan bagaimana Esa terus menghela nafas berat serta menangis dalam diamnya.

Pria yang duduk di samping Esa itu pun berdekhem guna menyadarkan lamunannya. Hal itu sukses membuat Esa terkejut dan segera menghapus air matanya serta membenahi penampilannya asal. 

"Tidak baik melamun disaat bepergian sendiri anak muda. Kau akan mengundang datangnya kejahatan." ucap pria tersebut yang sedang memposisikan dirinya mencari tempat yang nyaman.

"Ah itu, aku tidak sadar." jawab Esa malu karena ketahuan melamun bahkan menangis.

Pria di sampingnya hanya terkekeh pelan. "Kau sendiri?" tanyanya lagi.

Esa mengangguk, namun pria di sampingnya tidak melihat karena sejak beberapa saat lalu dia sudah memejamkan mata. "Iya, aku sendiri."

"Kemana tujuanmu?"

"Bristol. Aku akan ke sana." Gumam Esa tapi masih bisa di dengar oleh pria di sampingnya.

"Berapa usiamu? Dan apa tujuanmu datang ke Bristol?" Entah kenapa pria tersebut terus bertanya padahal matanya sudah dia tutup seolah bersiap untuk tidur.

"Tahun ini aku 15, dan aku pergi ke sana untuk sekolah."

"15 tahun?" Pria di sampingnya tampak terkejut dan membuka matanya kembali. "Yang benar saja, apa orang tuamu tidak khawatir? Membiarkan anaknya pergi jauh seorang diri."

Esa mengalihkan tatapannya yang semula lurus ke depan, kini memandang orang yang yang di sampinganya. "Ibuku

bahkan menangis semalaman." Esa terkekeh sambil teringat bagaimana ibunya yang dari kemaren terus menangisi kepergiannya.

"Kau bukan keturunan Jepang? Bahasa Inggris mu sangat bagus dan juga wajahmu tidak seperti orang Jepang."

(Mereka berbincang menggunakan bahasa inggris) 

Esa mengangguk. "Aku sepenuhnya bukan keturunan Jepang, tapi aku lahir dan besar di Jepang." jawab Esa disertai senyuman tulus.

"Pantas saja." ucap pria itu seolah sudah tahu dengan jawaban yang Esa berikan. 

Lagi-lagi Esa tersenyum. "Hanya karena besar di Jepang, tidak lantas mengubah wajahku menjadi seperti orang Jepang." sebuah kekehan pelan menyertai ucapannya. 

Untuk sesaat pria yang baru saja bertatapan mata dengan Esa itu tertegun, entah bagaimana senyuman seorang anak laki-laki yang ada di hadapannya sekarang malah mengingatkannya pada seseorang yang jauh disana. 

"Kau punya senyum yang indah." gumamnya tanpa sengaja.

Esa kembali tersenyum untuk kesekian kalianya. Pada dasarnya Esa memang anak yang ramah. "Terima kasih paman, kalau begitu aku ijin untuk tidur ya."

Pria di samping Esa hanya mengangguk dengan ekspresi yang sedikit bingung. Tapi tidak lama kemudian, dia juga menyusul Esa dan tertidur dengan pulas.

✿✿✿✿✿

Kakek dan nenek Esa tengah sibuk menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk menyambut sang cucu. Ini adalah kali pertama Esa akan menginjakkan kaki di rumah mereka. Sudah 5 tahun lamanya mereka tidak pernah bertemu langsung dengan cucu kesayangannya. 

Sang kakek sebenarnya hanya memantau apa yang dikerjakan istri dan juga pembantu rumah tangga mereka, karena dirinya tengah sibuk juga dengan pekerjaan. Hari ini kakek Esa sengaja libur karena sang istri memintanya untuk menjemput cucu mereka.

Setelah semua persiapan selesai kakek dan nenek Esa pun berangkat menuju bandara. Dan disinilah mereka sekarang. Di ruang tunggu bandara menunggu sang cucu tiba.

Esa sendiri baru saja turun dari pesawat sekitar 5 menit yang lalu, setelah berpamitan kepada orang yang sebelumnya duduk di sampingnya, Esa pun begegas menghampiri kedua orang tua yang membawa tanda namanya. Dari kejauhan Esa dapat melihat senyum kebahagian dari wajah orang tua paruh baya yang masih terlihat cukup muda dibandingkan usianya tersebut. 

"Kakek, nenek." ucapnya antusias begitu tiba dihadapan mereka.

Sang nenek yang tampak terkejut melihat cucu kesayangannya sudah berdiri tepat di hadapannya, lantas tanpa basa-basi dia memeluknya erat tanpa mengucapkan satu kata pun. Tiba-tiba sebuah isak tangis terdengar oleh kedua orang yang tengah berpelukan tersebut. 

"Astaga, ini benar-benar Esa? Khesa-nya nenek? Kau benar-benar Khesa Devano sayang?" tanya Jessica disela isakan tangisnya. Kedua tangannya mengurai pelukan diantara mereka dan menyentuh kedua sisi wajah Esa lembut dan penuh kasih sayang. Tidak heran jika Jessica tampak terkejut dengan perubahan fisik Esa, bagaimanapun selama 5 tahu terakhir ini mereka hanya bisa saling melihat dari video atau foto. 

Esa mengangguk cepat, menghapus air matanya dan tersenyum hangat. "Iya, ini Esa nek."

"Oh Tuhan, cucuku sudah sebesar ini. Nenek sangat rindu padamu sayang." kembali Jessica memeluk Esa.

"Ekhm." suara dekheman sang kakek membuat Jessica melepaskan pelukannya. "Selamat datang di Bristol, Khesa Devano. Tempat dimana kau akan memulai semuanya." ucap sang kakak. Dari ucapannya sepertinya kakek Esa punya maksud tersirat.

"Memulai belajar begitu maksudnya?" jawab Esa dengan sedikit tawa hambar yang langsung di balas dengan senyuman miring oleh kakeknya. Jessica menatap keduanya dengan bingung, pasalnya mereka baru bertemu setelah sekian tahun tapi terlihat seolah mereka terbiasa bertemu setiap hari.,

Daniel, kakeknya Esa merentangkan tangan dan menyambut sang cucu dalam pelukannya.

"Selamat datang, cucuku." sambut Daniel hangat.

Esa mengangguk. "Senang bertemu kakek."

"Kakek juga, tapi sebaiknya kita segera pulang sekarang. Sebelum hari semakin sore dan jalanan akan semakin macet."

"Kakekmu benar sayang. Kau nanti bisa istirahat di mobil." ucap Jessica sambil mengelus rambut hitam milik cucunya. 

Esa mengangguk setuju kemudian mereka bertiga pun meninggalkan bandara dengan perasaan bahagia. Mungkin, tapi sepertinya begitu.

✿✿✿✿✿

Malam harinya setelah Esa asik bercerita dengan kakek dan neneknya dia meminta ijin untuk berjalan-jalan disekitar area sungai Avon, kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah milik kakek dan neneknya yaitu di Stratford. Kota kelahiran William Shakespeare, salah satu kota yang memang terletak di area sungai Avon.

Kakek dan neneknya pun memberi ijin karena memang Esa butuh udara segar sebelum memulai semua kegiatannya di sini, mengenal lingkungan sekitar bukan hal yang buruk untuk pendatang baru. Kalaupun nanti Esa tersesat, dia sudah besar dan bisa menggunakan perangkat elektronik untuk mencari jalan pulang. Hey, ini sudah abad ke-21 segala kemudahan sudah ada digenggaman tanganmu. 

Lagi-lagi Esa melamun, sepertinya ingatannya selalu membawa dia pada cerita sang ibu, dan melamun sudah seperti kegiatan baru untuknya.

Sebuah helaan nafas panjang pun menjadi temannya malam ini. Tangannya sedikit mengepal. "Harusnya aku tidak pernah bertanya," gumam Esa penuh sesal. Benar, Esa sangat menyesali keingintahuannya terhadap masa lalu sang ibu yang justru memberinya luka baru tak kasat mata. Luka yang sebelumnya tidak pernah ada, tapi kini justru membuatnya perih setiap kali mengais udara. Esa merasa bersalah sekaligus iba terhadap ibunya.

Kesal, marah, dan berbagai emosi lainnya turut anak itu asakan saat melihat Anna harus meneteskan air mata karena seorang pria bajingan yang seharusnya dia panggil papa. Esa tidak tahu seperti apa rupa ayahnya tapi kebenciannya sudah sangat besar. Dia tidak pernah tahu jika dirinya adalah anak dari seorang pria pendosa.

"Jika kau berniat bunuh diri, segeralah lompat. Jika tidak kau sebaiknya pulang atau kau akan mati kedinginan." ucapan seseorang menyadarkan Esa dari lamunannya. 

Esa melirik kesamping tempat sumber suara itu berasal, matanya sedikit mengernyit.

"Kau terlihat frustasi." ucapnya lagi. Tanpa memperhatikan ekspresi bingung di wajah Esa.

"Kau berbicara denganku?" Tanya Esa pada akhirnya setelah menyadari jika disana tidak ada orang lain selain dirinya.

"Aku yakin kau tidak buta." jawabnya sarkas.

"Aku? Tentu saja tidak." jawab Esa sambil memutar bola matanya malas. Menurutnya perempuan disampinya ini terlalu kasar dan sok kenal. 

"Tidak apa? Tidak frustasi atau tidak buta?" perempuan itu tersenyum meremehkan.

"Tentu saja tidak keduanya." sangkal Esa dengan cepat.

"Jika kau tidak berniat bunuh diri, seharusnya kau tidak keluar malam-malam hanya dengan menggunakan kaos tipis dan celana pendek." sindir perempuan tersebut saat ekor matanya melirik pakaian yang Esa gunakan. 

"Aku tidak tahu Bristol akan sedingin ini." Esa merapatkan tubuhnya begitu merasakan angin yang menusuk kulitnya. Perempuan di sampingnya memang sangat menyebalkan tapi perkataannya benar, dia bisa mati jika terus berada di sini karena kedinginan. Salahkan saja dirinya yang hanya menggunakan kaos pendek yang kebesaran dan celana yang hanya sebatas lutut. 

"Kau pendatang baru rupanya. Dan sepertinya kau kemari untuk melarikan diri." gumaman sekaligus sindiran yang masih bisa Esa dengar dengan jelas.

Esa berniat membalas ucapan perempuan disampingnya tapi sebuah suara menginterupsinya.

"Maaf nona muda, sebaiknya anda kembali sekarang. Tuan besar sudah meminta anda untuk segera pulang." ucap seorang pria paruh baya yang jika dilihat dari penampilannya dia adalah seorang supir pribadi. 

Perempuan di samping Esa pun mengangguk. "Ini." Dia menyodorkan jaket miliknya. "Gunakan jaket ini jika kau masih ingin disini. Tapi aku sarankan sebaiknya kau juga segera pulang." Perempuan tersebut menyerahkan jaket yang sebelumnya dia gunakan kepada Esa. 

Esa menatapnya bingung sekaligus terkejut dengan tindakan perempuan tersebut. Perempuan menyebalkan itu ternyata memiliki sisi perhatian.

"Ini tidak perlu. Aku tidak apa-apa." tolak Esa halus dan kembali menyodorkan jaket tersebut kepada pemiliknya. 

"Jangan keras kepala." kata perempuan tersebut sedikit kesal. "Aku hanya berjaga-jaga jika besok ditemukan mayat disini, aku tidak akan repot-repot diselidiki karena aku adalah orang yang terakhir terlihat bersamamu."

Esa mendesah pelan, meski sedikit kesal dan bingung dia akhirnya menerima jaket tersebut. Esa meyakini jika perempuan yang baru saja dia temui ini adalah seorang yang keras kepala, kasar, dan pemaksa. Jelas sekali jika dia adalah gambaran seorang amat konglomerat.

"Terima kasih. Tapi bagaimana aku bisa mengembalikannya?" tanya Esa.

"Jika kita bertemu lagi kau bisa mengembalikannya. Jika tidak, maka itu menjadi milikmu." Jawabnya dengan senyuman tipis. Senyuman yang untuk pertama kalinya Esa lihat dari wajah dingin dan datar di hadapannya. 

Seolah terhipnotis dengan senyuman tersebut, Esa juga ikut tersenyum dan mengangguk. "Semoga kita bertemu lagi."

Setelahnya mereka berdua sama-sama pulang. Perempuan tadi pulang bersama supirnya, sementara Esa berjalan kaki menuju rumah neneknya dengan menggunakan jaket yang diberikan perempuan tadi. 

Sepanjang perjalanan, Esa hanya berjalan lurus tanpa minat. "Sepertinya jalanku disini tidak akan mudah, orang Bristol benar-benar menyebalkan." sepertinya Esa lupa jika dirinya juga murni keturunan Bristol.

*

*

*

- T B C -

Nhana

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status