Sudah 15 tahun Anna tidak pernah menginjakan kaki di sini, di tempat kelahirannya, Bristol, Inggris. Terakhir kali dia berada di sini, tepat sebulan setelah dirinya tahu sedang mengndung Khesa.
Anna menatap sekeliling bandara, sebuah senyuman samar menghiasi wajah manisnya. "Benar-benar sudah berubah banyak ya." gumamnya pelan.
Anna menyeret koper yang di bawanya dan masuk kedalam taksi yang sudah dipesankan oleh kedua orang tuanya. Niatnya untuk tidur sepanjang perjalanan terganggu begitu ingatan masa lalu mengambil alih pemikirannya.
*Flashback
"By, mau tahu satu rahasia?" tanya Anna yang sedang tidur di paha suaminya. By adalah panggilan sayang yang Anna berikan untuk suaminya.
"Apa itu?" tanya Dareen yang masih sibuk dengan buku bacaannya.
"Aku mencintaimu, sangat." Anna terkekeh sendiri dengan kerecehannya.
"Ck, aku tahu." jawab Dareen acuh.
"Kau tidak asik by." Anna memanyunkan bibirnya dan memalingkan wajahnya menuju ke arah televisi.
Dareen tersenyum lembut saat menyadari istrinya sedang merajuk. Dengan jahil dia mencubit hidung Anna. "Kau tahu aku lebih mencintaimu sayang." ucap Dareen kemudian mencium telapak tangan istrinya.
*flashback end
Anna menghela nafas berat, rasanya sudah lama dia tidak mengingat hal-hal tentang masa lalunya karena selama ini dia hanya sibuk dan fokus pada putranya.
Tanpa disadari taksi tersebut sudah berhenti tepat di depan kediaman kedua orang tuanya. Begitu Anna sampai di depan pintu, dengan gugup dirinya menekan bel. Selang beberapa menit, seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat muda membuka pintu.
Dengan wajah keheranan pemilik rumah memandang Anna dari ujung kepala hingga kaki. Merasa tidak asing dengan Anna, Jessica sang pemilik rumah kembali menatap Anna, kali ini lebih fokus pada bagian wajah.
"Siapa?" tanya Jessica, dengan raut wajah bingung.
Sadar akan kebingungan sang ibu, Anna mengulurkan tangannya kepada Jessica dan tersenyum jahil. "Aku Yuta, anak dari istri keduanya papih Daniel."
Jessica terkejut, dan menganga tidak percaya. "APA?!" teriaknya dengan dengan histeris. "Kau pasti sedang bercanda anak muda " matanya memicing tajam.
Anna menggeleng. "Sayangnya aku serius." kembali Anna tersenyum jahil.
"Papiiiiihhhhhh." teriak Jessica kembali yang menggema di ruang tengah.
Daniel yang merasa namanya di panggil, bergegas menuju sumber suara. "Ada apa mih, ini masih terlalu sore untuk berdrama,"
"Hallo pih, selamat sore." sapa Anna dengan senyuman menggoda.
Daniel yang baru sadar dengan suara yang menyapanya kini menatap Anna dengan kerutan di keningnya.
"Pih, jelaskan sama mamih, ini siapa?" tanya Anna yang sudah melotot tajam.
"Tunggu. Sepertinya papih kenal dengan suaranya." Daniel kembali menatap Anna dengan serius. Suara Anna mungkin mirip seorang pria, tapi sebagai ayah Daniel masih sedikit ingat dengan suara putrinya. Hanya saja penampilan orang didepannya membuat dia ragu.
"Ish, kalian ini lama sekali. Tidak ingin menyuruh aku masuk begitu? Aku sudah pegal." gerutu Anna yang bosan melihat wajah kebingungan kedua orang tuanya.
"Tidak mungkin-- " Daniel mengkerutkan wajahnya.
"Jangan bilang-- " Jessica membekap mulutnya terkejut.
"Ya, ya, ya. Aku Joanna pih mih." Anna lalu menyeruduk masuk dan meninggalkan kedua orang tuanya yang masih mematung tidak percaya.
"Hei kau anak durhaka. Berani sekali datang kemari setelah sekian lama," Jessica menyusul Anna dan menghujani nya dengan pukulan ringan, tangisnya pecah lalu memeluk anaknya dengan sangat erat. "Kenapa baru pulang sekarang. Kau jahat Na kau membuat mamih kesepian, hiks." isakan Jessica semakin menjadi, Anna sendiri sudah ikut meneteskan air mata, begitupun dengan Daniel yang kini ikut bergabung memeluknya.
"Maafkan Anna mih, pih. Aku merindukan kalian."
"Seharusnya kau pulang lebih awal." ucap Daniel yang sedang mencium kepala putrinya.
"Tapi mih, pih." Anna segera melepaskan pelukannya. "Kenapa kalian tidak mengenaliku? Bukankah aku sudah sering mengirim foto dengan tampilan seperti ini? Dan lagi kalian yang mengirim taksi untukku, harusnya kan kalian sudah mengira bahwa aku yang akan datang." Anna memasang pose keheranan.
"Bagaimanapun ini baru pertama kalinya kami melihatmu secara langsung dengan penampilan ini sayang." ucap Jessica. Anna menggunakan kemeja kebesaran dengan celana jeans dan sepatu sport. Potongan rambutnya pun persis seperti seorang pria.
"Papih hanya terkejut. Dan lagi sudah 5 tahun kita tidak bertemu." tambah Daniel.
"Hah, baiklah. Kali ini aku maafkan kalian," Anna tersenyum dan kembali memeluk kedua orang tuanya.
"Esa pulang jam berapa?" tanya Anna.
"Sepertinya hari ini dia akan pulang telat. Esa harus pergi ke hotel tempatnya melakukan PKL." jawab Jessica yang kini sudah menuntun mereka untuk duduk di sofa.
"Aku rindu Esa," keluh Anna. "Kalau begitu, biar aku saja yang menjemputnya hari ini." lanjut Anna antusias. Sepertinya dia benar-benar merindukan anaknya.
"Tidak. Papih tidak akan mengijinkan mu pergi." jawab Daniel cepat.
"Benar Anna, biarkan supir saja yang menjemput Esa." Jessica menanggapi.
"Mih, aku sudah terbiasa menyetir sendiri dan lagi selama ini Esa selalu berangkat dan di jemput olehku." tambah Anna.
"Itu kan di Jepang Na. Disini beda lagi. Kamu sudah 15 tahun tidak ke Bristol, semua jalanan sudah berubah sayang. Lagipula kita tidak tinggal di rumah yang dulu. Nanti kamu malah tersesat." jelas Jessica dengan khawatir. Entah khawatir akan keselamatan sang anak, atau khawatir karena hal lain.
"Kan ada map mamih, astaga ini sudah 2020. Aku bisa mengatasinya jika hanya soal jalanan." Anna tetap memaksa.
"Terserah, kau memang selalu keras kepala." Daniel akhirnya menyerah. Keinginan anaknya memang selalu sulit untuk di tolak, termasuk saat dulu dia ingin menikah dengan Dareen.
✿✿✿✿✿
Dara, Khesa, Jenny, Elfredo dan Minie tiba di perusahaan Dareen. Mereka berangkat bersama karena pihak perusahaan yang menjemput. Hari ini adalah jadwal mereka bertemu dengan pemilik perusahaan yaitu Dareen Tucker.
Raiden yang menyambut kedatangan mereka segera mengantarkan Dara dan kawan-kawan menuju ruangan tempat Dareen menunggu. "Oke, sekarang kalian masuk. Di dalam ada CEO perusahaan kami." Raiden membukakan pintu dan membiarkan satu persatu anak-anak itu masuk.
Pada saat Dara akan masuk, Raiden mengangkat tangannya dan mengepalkan jari-jarinya. "Semangat Dara." ucapnya pelan.
Dara membalas dengan senyuman manis. "Terima kasih papa" Bisiknya pelan. Namun masih dapat di dengar oleh Khesa yang berada di belakangnya.
Khesa membungkuk sedikit begitu melalui Raiden. Kemudian dia tersenyum dan berlalu masuk. Raiden sedikit mengerutkan keningnya, dia merasa tidak asing dengan wajah maupun senyuman Khesa.
"Bukankah dia yang dari Jepang? Kenapa wajahnya begitu tidak asing. Bahkan auranya seperti seseorang yang sangat aku kenal. Tapi, siapa ya?" gumam raiden dibalik kebingungannya. "Ah aku lupa membaca biodata pribadinya. Siapa tahu aku kenal dengan orang tuanya, makanya dia tidak asing." Tidak mau berlama-lama dengan kebingungan nya Raiden pun segera pergi dari sana.
Semetara di dalam ruangan rapat sudah ada Dareen dan anak-anak tadi yang duduk mengelilinginya. Dareen belum menatap satu per satu anak-anak yang ada di hadapannya karena masih sibuk membaca resume anak-anak tersebut.
Setelah merasa cukup di perhatikan Dareen mengangkat wajahnya dan membuka pertemuan mereka. "Oke tidak perlu berlama-lama, saya Dareen Tucker CEO dari hotel Produce. Selamat datang di perusahaan dan semoga kalian akan belajar banyak hal disini. Untuk urusan pekerjaan, asisten saya akan menjelaskannya nanti." ucap Dareen dengan datar dan tegas khas seorang pemimpin.
"Aku sudah membaca resume kalian, yang namanya saya sebut silahkan silahkan menjawab agar saya tahu wajah kalian." lanjut Dareen. Sebenarnya hal seperti ini tidak perlu dilakukan oleh seorang pimpinan perusahaan besar, tapi Dareen sengaja melakukannya untuk mengetahui langsung siapa orang-orang yang berada disekitar putrinya.
"Baik sir." semua menjawab dengan kompak.
"Dara Tucker." ucap Dareen pertama kali.
Dara mengangkat tangannya. "Saya. Dara, terima kasih telah menerima saya disini." ucapnya formal, kemudian Dara tersenyum manis kepada Dareen. Dareen tidak membalas senyumannya karena mereka bukan sedang berada di rumah.
"Jenny Zhuravel." lanjut Dareen.
"Saya Jenny." Jjawab Jenny singkat.
"Kau puterinya Zain?" tanya Dareen begitu melihat wajah Jenny. Namun Jenny tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya. Wajahnya memang mirip dengan ayahnya.
"Elfredo Russelen." anjutnya lagi.
"Saya." jawab Edo tidak kalah singkat dari Jenny.
"Minie Watson." lanjut Dareen lagi.
Minie tidak menjawab dan hanya mengangkat tangannya. Membuat orang-orang yang berada di sana melihat ke arah Minie terutama Dara.
Tidak peduli dengan reaksi Minie, Dareen pun melanjutkan lagi. "Khesa Devano." ucap Dareen untuk siswa PKL yang terakhir.
Esa mengangguk. "Saya. Terima kasih telah mengijinkan saya belajar di sini." jawab Esa menarik perhatian Dareen.
Dareen memperhatikan wajah Esa dengan serius, terutama senyuman di wajah tampannya. "Rai benar dia tampan. Tapi, ada sesuatu yang menarik darinya, hmmm."
"Ku dengar kau murid transferan dari Jepang?" tanya Dareen. "Resume dan prestasimu cukup bagus. Kenapa memilih untuk ke Bristol? ku rasa London harusnya lebih menarik."
"Karena ini satu-satunya kesempatan untukku datang ke Bristol" jawab Esa dengan tenang.
"Baiklah kita cukupkan pertemuannya hari ini." Dareen pun berdiri dan segera meninggalkan ruangan.
Minie yang pertama berdiri setelah Dareen. Dia pun meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun.
Dara masih betah dengan posisinya memandangi Esa yang justru sedang melihat ke arah Jenny. "Khesa." Panggil Dara.
"Eh, kenapa Dara?" jawab Esa dan segera mengalihkan pandangannya dari Jenny.
"Emm, kamu pulang dengan siapa? Kalau tidak keberatan kita bisa pulang bersama." ajak Dara malu-malu. "Ah itu, aku belum tahu. Sepertinya supir nenek akan menjemputku." jawab Esa dengan senyuman manisnya seperti biasa. Merasa Esa sudah menolaknya, Dara pun mengangguk dan berjalan ke arah pintu. "Baiklah, mungkin lain kali." ucap Dara sedikit kecewa.
Jenny yang sejak tadi diam-diam memperhatikan mereka hanya tersenyum tipis dan berjalan ke arah pintu. Esa yang sadar hanya tinggal sendiri dengan segera menyusul mereka.
"Tunggu!" panggil Esa cukup keras, membuat Dara dan Jenny menengok bersamaan. Esa menggaruk lehernya yang tak gatal. "Maksudku Jenny?" jawab Esa tidak enak karena Dara juga ikut menengok.
"Apa?" jawab Jenny datar dan cuek.
"Emm, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Esa dan berjalan mendekati Jenny.
Jenny mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Sungai Avon, apakah kau yang di sungai Avon?" lagi Esa bertanya. Dia sebenarnya cukup kesal karena tiba-tiba saja gugup di hadapan Jenny.
"Mana Jaketku?" bukannya menjawab, Jenny malah bertanya balik.
"Oh, benar kau ternyata. Syukurlah." ucap Esa lega.
"Kau bilang akan mengembalikan jaketku jika kita bertemu lagi. Jadi, mana sekarang jaketnya?" Jenny tersenyum miring ke arah Esa.
"Yang benar saja. Jaketnya ada di rumah akan aku kembalikan besok." dengus Esa. Ternyata Jenny memang selalu menyebalkan seperti itu.
"Oke, aku tunggu besok di atap sekolah." setelah itu Jenny meninggalkan Esa dan Dara yang tanpa mereka sadari masih berdiri di tempatnya semula.
✿✿✿✿✿
Esa dan Dara sama-sama belum pulang mereka masih berada di lobi hotel karena sedang menunggu. Jika Dara menunggu daddy nya maka Esa sedang menunggu di jemput. Selama 20 menit menunggu, Esa dan Dara saling bercerita tentang kehidupan masing-masing walaupun sebenarnya Esa lebih banyak menyimak.
Tidak berselang lama setelah itu Dareen dan Edwin muncul di lobi dan menghampiri mereka. "Oh dad, sudah selesai " tanya Dara yang langsung berdiri begitu Dareen ada di hadapan mereka.
"Eh, kau?" tanya Edwin yang sedikit terkejut melihat Esa di sana.
Esa pun berdiri dan membungkuk. "Hallo paman, kita bertemu lagi." jawab Esa tersenyum ramah. Lagi-lagi Edwin merasa terganggu dengan senyuman Esa.
"Kalian saling mengenal?" tanya Dareen penasaran.
"Ah, kita pernah satu kursi di pesawat. Tidak di sangka kita bertemu kembali." jawab Edwin senang. "Senang melihatmu lagi, dalam keadaan tersenyum tentunya."
Esa menggaruk lehernya yang tak gatal karena malu. Edwin satu-satunya orang yang pernah memergoki dia menangis selain ibunya.
"Kenapa belum pulang?" tanya Dareen lagi.
"Khesa sedang menunggu di jemput dad." jawab Dara yang sejak tadi memilih diam.
"Bagaimana kalau kau ikut bergabung makan malam bersama kami. Tidak keberatan kan tuan Tucker?" ajak Edwin kepada Esa dan meminta ijin Dareen.
"Aku tidak masalah." jawab Dareen.
"Tidak perlu paman, biar aku menunggu di sini saja." tolak Esa dengan sopan.
"Ayolah Esa, tadi sudah menolak ajakan pulang bersama Dara. Sekarang mau ya makan dulu ini sudah jam makan malam." bujuk Dara sambil menggoyangkan tangan Esa.
"Sebaiknya ikut saja, anggap saja ini perayaan perkenalan kita." ucap Edwin.
Esa pun akhirnya mengangguk. Rasanya tidak nyaman jika terus menolak ajakan orang-orang yang sudah baik padanya.
*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
Dan disini lah mereka sekarang. Di sebuah restoran mewah yang terletak di sebrang hotel milik Dareen. Tidak hanya mereka berempat, kini Raiden juga sudah ikut bergabung bersama."Sa, kenapa makanannya hanya kau pandangi saja? " Tanya Edwin yang sadar sejak tadi Esa tidak kunjung makan."Em, itu. Sebenarnya aku tidak suka bawang. " Jawab Esa ragu. Dia takut akan menyinggung orang yang sudah memberinya makanan tersebut.Mendengar jawaban Esa, Dareen sedikit melirik pada anak itu. "Kau bisa pesan yang lain. " Ucapnya tenang."Wahh Esa seperti daddy, dia juga sangat membenci bawang. " Ledek Dara pada ayahnya."Kalau begitu biar paman pesan kan yang lain, Esa kau mau apa? " Tanya Edwin begitu perhatian. Edwin memang seperti itu, sangat lembut dan penuh kasih sayang pada semua orang."Pesan yang sama saja, tapi tanpa bawang paman. " Jawab Esa yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Edwin. Hari ini, dia terlalu banyak merasa t
Semenjak mengetahui kebenaran tentang Khesa dari Hana, diam-diam Edwin selalu memperhatikan anak itu. Dan melalui bantuan Hana pula, Edwin juga sudah membuktikan jika Esa adalah anaknya Anna. Bahkan ia sudah melakukan tes DNA terhadap Esa dan Dareen yang hasilnya 99% positif."Jika Hana tidak menutup-nutupi keberadaan mereka, pasti sejak dulu aku dan Dareen sudah menemukannya dan pekerjaanku akan menjadi sangat mudah. " Keluh Edwin yang masih setia pada posisinya memandangi foto seorang perempuan manis yang tengah menggendong seorang anak laki-laki kira-kira berusia dua tahun."Sekarang, meski aku sudah tahu semuanya. Aku justru tidak yakin akan memberi tahu Dareen atau tidak, mengingat bagaimana Hana sangat apik dalam menyembunyikan mereka, itu berarti Anna memang tidak ingin keberadaannya diketahui. " Gumam Edwin kepada dirinya sendiri.Dareen tiba-tiba masuk kedalam ruangan Edwin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, hal itu membuat Edwin dengan buru-buru men
Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka."Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya.
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
PLAKSatu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Seminggu setelah kejadian tersebut, Dareen terus berusaha menghubungi Edwin. Namun pria itu lagi-lagi menolak panggilannya. Tidak hanya itu, penjaga rumah Edwin juga tidak mengijinkan siapapun masuk ke rumah tersebut kecuali keluarga mereka dan keluarga Anna tentu saja.Sebenarnya Anna sudah tidak ada di rumah Edwin, keesokan pagi setelah insiden itu pun Anna dan Esa pulang ke rumah Daniel untuk menghindari kecurigaan dari kedua orang tua Anna. Iya, Jessica dan Daniel tidak tahu apa yang sudah terjadi kepada Anna dan Esa.Edwin sengaja menghindari Dareen dan bersikap seolah menjauhinya agar Dareen tidak mencari Anna di tempat lain dan hanya fokus untuk mencarinya di tempat Edwin. Edwin tahu betul jika sahabatnya itu adalah orang yang keras kepala tapi dia juga
Anna duduk di balkon kamarnya, sudah seminggu berlalu. Namun rasa sakit di hatinya tidak sedikitpun berkurang. Bayang-bayang ketika Dareen mencengkram kerah bajunya dan juga memukul Esa masih sangat jelas terekam dalam ingatannya."Bagaimana bisa kau melakukan itu by? " Anna bergumam pada dirinya sendiri. "Ah betapa beruntungnya mereka, dicintai seorang Dareen Tucker. " Sebuah senyuman hambar menghiasi wajah cantiknya yang tampak pucat karena udara malam yang menerpa permukaan kulitnya.Anna menghela nafas berat. "Tapi kenapa hanya pada mereka kau mengorbankan semuanya? Padahal masih ada Esa. Esa juga punya hak atas dirimu. " Lirih Anna.*Flashback