Share

Chapter 9 : Rumor

BRAK

Sebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.

Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut.

"Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa.

"Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut.

"Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda.

"Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya.

"Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. " Wenda mengepalkan tangannya marah.

"Fakta. " Celetuk Raiden yang tentu saja membuat Wenda semakin geram.

"Memangnya siapa lagi yang mengatakan itu? " Tanya Dareen masih dengan posisi yang sama.

Wenda mencengkram ujung drees yang dia kenakan untuk menyalurkan emosi dan juga kekesalannya. "Siapa lagi yang selalu membuatku kesal kalau bukan ibumu. " Sindir Wendi dengan tatapan tajam yang mengarah kepada Dareen.

"Ibu? Kau bertemu dengannya? " Kali ini Dareen bertanya dengan tatapan mata yang mengarah kepada Wenda seolah penasaran. "Dimana? " Tanyanya serius.

"Dia datang ke sekolah. "

Dareen mengernyit. "Untuk apa? Ada masalah? " Dareen mulai penasaran. Pasalnya jika ibunya sudah mulai turun tangan, sudah pasti ada sesuatu yang tidak benar.

"Dara kembali membuat masalah, dia bertengkar dengan Minie. " Jawab Wenda yang sudah mulai lebih tenang.

"Lagi? " Kali ini Raiden yang bertanya. "Gen-mu terlalu dominan pada Dara. " Kekeh Raiden dan langsung mendapat pukulan di kepalanya. Wenda sedang tidak dalam mood yang bagus untuk diajak bercanda.

"Aku bilang diam Raii. Sekali lagi kau bicara maka aku akan membiarkanmu tidur diluar selama seminggu. " Ancam Wenda yang membuat Raiden seketika bungkam.

"Bukankah itu sudah biasa, mereka bertengkar karena hal yang sama kan? Lalu kenapa ibu bisa sampai ke sana? "

"Ada korban yang terluka akibat pertengkaran mereka. " Jelas Wenda.

Raiden sedikit terkejut, namun tidak merubah ekspresi wajahnya. "Siapa? Apa Dara terluka? " Terdengar nada khawatir dari pertanyaan Dareen.

Wenda menggeleng. "Yang terluka bukan mereka berdua, tapi orang lain. Dan demi Tuhan Dar, ayahnya anak itu lebih menyebalkan daripada ibumu. Mulutnya benar-benar seperti perempuan dan minta di jahit. Untung saja dia laki-laki, jika tidak aku benar-benar akan menjambak rambutnya dan mencakar wajahnya yang angkuh. Beruntung anaknya baik dan memaafkan Dara. " Desah Wenda diakhir kalimatnya.

"Apa yang ibu lakukan di sana, dan dimana Dara sekarang? " Jika sudah menyangkut Dara, Dareen tidak lagi bisa bersikap acuh.

"Dia datang dan mengeluarkan kata-kata menusuk padaku dan Dara seperti biasa. Namun yang membuatku lebih kesal, dia memuji anak yang terluka itu berserta ayahnya seolah-olah mereka adalah seorang kenalan. " Wenda memijat pelipisnya, segala sesuatu tentang ibunya Dareen selalu membuatnya pusing. Diam-diam dia mensyukuri tidak pernah menjadi menantu seorang Wendy Tucker. "Dara ada bersamanya. "

Mungkin kalian bingung kenapa Wenda tidak pernah menjadi menantu Wendy, karena memang mereka tidak pernah menikah. Dareen dan Wenda hanya memiliki Dara tapi bukan rumah tangga.

Dareen diam dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Memangnya siapa mereka? " Dareen penasaran, karena ibunya tidak akan bersikap baik pada sesuatu atau seseorang yang tidak menguntungkan atau sesuatu yang disayanginya. Wendy Tucker tidak pernah tertarik pada orang lain. Dan orang yang di sayanginya sekarang hanya dirinya, bahkan Dara pun masih sering kena sindir akibat ketidaksukaan nya pada Wenda.

"Kalau tidak salah namanya Esa. Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya dan nama ayahnya. Yang jelas sepertinya dia orang Jepang. " Wenda menghela nafas berat untuk kesekian kalinya. "Tapi sesuatu sangat menggangguku, aku merasa tidak asing dengan pria itu namun seberapa keras pun aku berpikir, aku tetap tidak bisa mengingatnya. Tatapan matanya, aku seperti pernah mendapatkan tatapan itu. " Lanjut Wenda.

"Tatapan seperti apa yang kau dapatkan darinya? " Edwin yang baru saja bergabung dengan mereka langsung bertanya pada Wenda. Dareen dan Raiden melirik Edwin sekilas. Mereka sedikit terkejut karena Edwin datang dengan tiba-tiba.

"Entahlah. Sesuatu seperti kecewa? Luka? Amarah yang sangat besar? Atau mungkin dendam. Aku tidak tahu dia sampai seperti itu hanya karena anaknya terluka sedikit. " Jawab Wenda acuh.

"Bukan karena Esa terluka, tapi karena dia yang sangat terluka olehmu. Dan sekarang aku yakin, dia bukan Na Yuta seperti yang orang lain kenal. Dia-------------------------

------adik sepupu manis ku yang selalu merengek meminta di peluk. Batin Edwin.

Dareen masih terdiam, sesuatu tentang Esa selalu berhasil mengganggunya. Dan lagi sekarang, bukan hanya dia tapi semua orang yang di kenalnya juga merasakan hal yang sama.

"Aku pergi lagi sekarang. " Ucap Edwin yang langsung pergi lagi tanpa sempat duduk sama sekali.

"Ada dengannya, akhir-akhir ini dia selalu sibuk sendiri. " Gerutu Raiden.

"Pulanglah dulu Wen, aku yang akan menjemput Dara. " Ucap Dareen dengan ekspresi tidak terbaca.

"Hah, tidak bisakah kalian semua beranjak dari masa lalu? Aku bosan terlibat dalam lingkaran hubungan tak berujung ini. " Setelah mengatakan itu, Raiden pun beranjak dari ruangan Dareen.

"Entah kenapa aku merasa sesuatu akan terjadi. A-aku, takut dia kembali. " Wenda bergumam pelan dan kemudian menyusul Raiden pergi.

Dareen menatap datar jendela kantornya. Sesuatu dalam ingatannya memaksanya terus memikirkan dia. Hatinya seolah diremas kuat, bagaimana bisa dia seceroboh itu hingga tidur dengan orang lain dan berujung kehilangan istrinya, orang yang sangat dicintainya.

✿✿✿✿✿

Setelah beberapa hari kejadian tersebut, Esa kembali ke sekolah. Tatapan semua orang mengarah padanya, dan bisikan anak-anak lain mulai terdengar di telinganya.

Esa menghela nafas. Ini bukan kali pertama dia mendapatkan tatapan dan perkataan yang buruk ditujukan padanya. Sebelumnya dia juga sudah sering di perlakukan demikian. Namun Esa tidak menyangka jika orang-orang disini akan mengetahui kalau dirinya tidak punya ayah. Bahkan ini hanya terhitung 2 minggu setelah ia tiba di Bristol.

Seseorang baru saja berdiri di belakangnya dan menutup kedua telinga Esa dengan kedua telapak tangannya dan menyeretnya untuk pergi. Esa yang semula hendak berontak, mengurungkan niatnya begitu mengetahui siapa sang pelaku.

Dengan langkah tergesa, mereka berdua menaiki tangga menuju atap sekolah. Begitu sampai di atap, Esa segera melepaskan tangan sang pelaku dari telinganya.

"Kenapa kau membawaku kemari? " Tanya Esa begitu mereka bertatapan.

"Kurasa sebaiknya kau di sini dulu. "

"Kau mengkhawatirkan ku? " Tanya Esa lagi, kali ini disertai senyuman miring. "Tenanglah, aku sudah terbiasa dengan ini Jenny. Hal seperti ini tidak akan pernah menggangguku sam sekali. "

"Terbiasa? " Tanya Jenny sedikit tidak percaya. Kedua alisnya tertaut ke atas.

Esa mengangguk sekilas. "Di Jepang pun mereka selalu mengatakan hal yang sama. " Esa berjalan kearah kursi panjang yang berada dipojok atap, kemudian mendudukkan dirinya senyaman mungkin. "Aku tidak pernah punya teman. Karena setelah mereka tahu siapa aku, mereka akan menjauhiku. " Sebuah senyuman terukir di wajah Esa, seolah yang dia katakan barusan tidak bermakna apa-apa.

Jenny memandang Esa dengan intens dari tempatnya berdiri yang hanya beberapa senti dari tempat duduk Esa. Dia tahu, senyuman Esa kali ini terkesan di paksakan.

"Kau juga mungkin sama. " Lanjut Esa.

Jenny mengernyitkan alisnya. "Kenapa begitu? "

Esa menatap Jenny sekilas, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah maaf, kita bukan teman ya. "

"Aku bilang kenapa aku harus menjauhi mu? " Ada nada tidak suka dari ucapannya Jenny. Entah kenapa mendengar Esa mengatakan hal seperti itu membuatnya tiba-tiba ingin marah.

"Bukankah itu sudah seharusnya? Yang lain juga begitu. Apalagi orang kaya dan terhormat sepertimu. " Dengus Esa dengan tatapan yang masih mengarah pada Jenny.

"Itukan mereka. Jangan samakan aku dengan yang lain. " Desis Jenny tak suka.

"Kenapa? "

"Karena aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Apalagi karena hal seperti itu. " Jenny kemudian memalingkan wajahnya, mendadak pipinya terasa panas setelah mengatakan kalimat tersebut. Entah mendapat keberanian dari mana, yang jelas sekarang Jenny menyesali perkataannya.

Esa tertawa pelan. "Kau terdengar seperti seorang kekasih yang sedang menenangkan pacarnya. "

Jenny refleks berbalik begitu mendengar perkataan Esa, jantungnya seolah berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan sialnya, setelah dirinya berbalik Esa malah mengedipkan sebelah matanya dengan sengaja.

"Jangan bertingkah seperti itu. " Jenny memperingakan Esa. Bukan karena dia tidak suka, justru karena jantungnya tidak bisa diajak kerja sama.

"Ck, kau ini serius sekali nona muda. " Ledek Esa begitu mendapati wajah Jenny yang kembali serius. "Ayo kita kembali ke kelas. " Ajak Esa sambil meraih pergelangan tangan Jenny.

"Sebentar. " Jenny menahan Esa. "Aku ingin bertanya, apakah kau mengatakan sesuatu tentang kehidupanmu kepada seseorang? " Jenny bertanya dengan wajah yang sangat serius.

Esa tampak berpikir. "Emm, ku rasa tidak. Aku hanya pernah mengobrol beberapa kali dengan Dara. "

"Dara? "

Esa mengangguk. "Ya, kenapa? "

"Kau yakin bukan Dara yang memberitahu anak-anak tentangmu? "

"Hey itu tidak mungkin. Dara anak yang baik, dia tidak akan melakukan hal seperti itu kepada temannya. " Esa mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Jenny.

"Kau tidak kenal denganya. Dan kenapa akhir-akhir ini kau dekat sekali dengannya, kalian bahkan selalu menempel baik di sekolah maupun di tempat PKL. " Dengus Jenny sedikit kesal.

"Aku dan dia kan berteman, jadi wajar kalau kami selalu bersama. Dan hey, siapa bilang aku selalu menempel padanya. Buktinya sekarang aku disini, bersamamu. " Esa merotasi kan kedua bola matanya. Menurutnya Jenny hari ini sedikit berlebihan.

Jenny menghela nafas. "Terserah. Kau keras kepala. "

"Jenny, jangan membenci Dara. Dia mungkin sedikit cerewet dan manja, tapi dia baik. Dia hanya seorang anak yang butuh perlindungan. " Esa tersenyum dan mengeratkan pegangan tangannya kepada Jenny. "Kau sebaiknya akur dengan dia, jadi ketika aku kembali nanti kalian bisa berteman. "

"Dari pengelihatanku, sepertinya kau lebih butuh perlindungan dari pada melindungi. " Jenny kemudian menarik tangan Esa untuk segera pergi dari atap.

✿✿✿✿✿

Anna baru saja melangkahkan kaki memasuki sebuah gedung perkantoran. Hari ini dia mendapat pekerjaan untuk mengantarkan sebuah berkas ke salah satu hotel bintang lima. Sebenarnya sang ayah tidak memintanya untuk pergi, hanya saja begitu Anna melihat nama perusahaan tersebut dia memaksa Daniel untuk menyerahkan pekerjaan itu padanya. Dan di sinilah dia sekarang, di hotel Produce tempat putranya PKL. Anna begitu antusias, karena dia akan bertemu anaknya dan sekalian makan malam bersama. Namun Anna tidak pernah tahu jika disini, dia juga akan bertemu dengan seseorang yang di kenalnya.

Deg

Bahu Anna menegang, tubuhnya mendadak begitu lemas dan dia hampir saja kehilangan keseimbangan, jika saja laki-laki di hadapannya tidak refleks memegang pinggang Anna.

Laki-laki tersebut menatap Anna dengan sangat dalam tanpa berniat melepaskan Anna sama sekali. Sadar akan keterkejutannya, Anna segera melepaskan diri dari laki-laki tersebut.

"M-maaf, aku hanya tiba-tiba pusing. " Anna berbohong untuk menutupi keterkejutannya.

Laki-laki tersebut tidak merespon. Dia justru menarik tangan Anna. "Ikut aku sekarang. " Tanpa menerima persetujuan, dia menyeret Anna masuk kedalam sebuah ruangan.

"Apa yang kau lakukan! " Teriak Anna begitu laki-laki tersebut melepaskannya.

Bukannya menjawab, laki-laki tersebut justru kembali membuat Anna terkejut, kali ini dia memeluknya.

"Le-lepaskan sialan. " Teriak Anna. Dia berontak dalam dekapan orang tersebut.

"Tetap seperti ini, sebentar saja. " Suaranya melemah ada nada kesedihan yang Anna tangkap dari kalimat tersebut. Namun hal itu tidak cukup untuk membuat Anna diam.

"A-aku bilang lepaskan. " Anna kembali berontak. Namun pelukannya justru semakin kuat.

"Bukankah kau sangat suka di peluk Na? Katamu, pelukanku hangat. " Jawabnya dengan lirih.

Anna mematung, kalimat itu adalah kalimat yang selalu dia ucapkan seseorang padanya.

"K-kak." Lirihnya pelan. Hampir saja Anna menjatuhkan air matanya.

"Aku merindukanmu Anna. Aku sangat merindukanmu Joanna Micelle. "

Luruh sudah semua pertahanan Anna, laki-laki yang memeluknya ternyata mengetahui siapa dirinya meski dalam penampilan seorang pria sekalipun.

"Aku juga kak Edwin. " Anna dan Edwin semakin mengeratkan pelukan mereka. Tangis keduanya pun sudah pecah. Mereka melepas rindu dengan berbagi tangis bersama.

Setelah merasa cukup, mereka melepaskan pelukan satu sama lain. "Kak bagaimana bisa kau ada di sini? Oh itu tidak penting, yang paling penting bagaimana bisa kau tahu aku adalah Anna? " Anna menatap Edwin dengan horor.

Edwin terkekeh. "Kau lupa apa pekerjaanku? Dan Hana yang membantuku mengenalimu. "

Mata Anna memicing tajam. "Kau serius? Hana tidak tahu kalau aku seperti ini. " Ucap Anna tak percaya.

"Kau benar. Tapi berkat petunjuknya dan juga Esa, aku bisa mengetahui tentang kalian. " Jelas Edwin.

"Kau mengenal Esa? "

Edwin mengangguk. "Aku duduk dengannya di pesawat. Dan ya takdir membiarkanku bertemu lagi dengannya disini. "

"Kau sedang apa disini kak? " Tanya Anna penasaran.

"Justru aku yang seharusnya bertanya. Kau yang sedang apa? Apa kau akan mengunjungi Esa? " Tanya Edwin yang tidak kalah penasaran.

"Aku sebenarnya datang karena urusan pekerjaan. " Anna mengacungkan map yang dia bawa. "Dan yah sekalian bertemu dengan Esa juga.

"Kau yakin akan mengantarkan itu? " Kembali Edwin bertanya.

Dahi Anna mengernyit. "Kenapa? "

"Jangan bilang kau tidak tahu hotel ini milik siapa. " Edwin memicingkan matanya

"Memangnya milik siapa? " Tanya Anna acuh.

"Jika kau keatas sekarang, maka kau akan bertemu dengannya. Dan kau akan tahu perusahaan ini milik siapa. " Jelas Edwin. Namun Anna seolah tidak tertarik dengan penjelasan tersebut.

"Memangnya dia siapa? Kurasa siapapun dia aku tidak tidak peduli. "

"Ayahnya Esa. " Jawab Edwin dengan cepat.

*

*

*

- T B C -

With Love : Nhana

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status