Share

Chapter 2 : A flash of the past

Dareen masih berkutat dengan berkas-berkas penting di kantornya. Dia sengaja lembur dan pulang telat, karena Dara anaknya juga tidak ada di rumah dan mungkin tidak akan pulang.

Raiden, sekertaris sekaligus orang kepercayaan Dareen yang hendak pulang dan melihat ruangan atasannya masih menyala menghentikan langkahnya. Dengan penasaran dia mengetuk pintu ruangan tersebut untuk memastikan kalau si pemilik ruangan memang masih ada.

Selang beberapa detik setelah pintu di ketuk, terdengar suara sahutan dari dalam. "Masuk." ternyata Dareen memang masih ada di dalam. Dan tanpa menunggu lama, Rai pun memutar kenop pintu dan masuk kedalam.

"Ada apa Rai?" tanya Dareen setelah melihat sekilas kearah Raiden dan kembali memusatkan perhatiannya lagi kepada pekerjaannya.

"Hm. Tidak ada, hanya penasaran apa yang membuatmu masih di kantor sampai selarut ini." jawab Rai yang kemudian memilih untuk duduk di sofa.

"Ada pekerjaan yang belum selesai. Dan juga di rumah tidak ada orang."

"Pekerjaan? Apa tentang anak-anak yang akan PKL itu?"

"Begitulah, aku sedang menyusun kriteria tertentu untuk bisa PKL di hotel kita." Jawab Dareen sambil menunjukkan layar komputernya kepada sahabatnya itu. 

"Kenapa kamu harus mengurusi hal seperti ini Dareen? Kita bahkan tidak pernah menerima pegawai magang, apa ini karena Dara?"

"Ya. Aku ingin memantau semua aktivitas Dara selama PKL, selain untuk memastikan keadaanya aku juga ingin melihat seperti apa kemampuan Dara dalam bekerja. Bagaimanapun Dara adalah calon penerus ku." jelas Dareen. 

"Aku tahu. Tapi Dar kurasa kau terlalu membatasi ruang gerak Dara. Meskipun kau khawatir, tapi Dara juga butuh waktunya sendiri."

"Aku melakukan semuanya demi kebaikan Dara, dan Dara juga tidak menolak keputusanku." 

"Itu karena kau memaksanya."

"Aku tidak." jawab Dareen cepat. 

"Tidak secara langsung," Raiden menghela nafas lelah. Dareen memang tidak akan bisa diajak kompromi jika sudah menyangkut putrinya. 

"Dara belum pulang?" Tanya Rai mengalihkan pembicaraan sambil melihat-lihat isi ruangan Dareen tanpa minat. Tentu saja, karena dia setiap hari berada di sana dan sudah tahu persis seperti apa isi ruangan tersebut. 

"Kau tahu sendiri, jika dia dan Wenda sudah pergi mana pernah mereka ingat jalan pulang." Dareen terkekeh pelan. Sepertinya suasana hatinya kembali pulih saat membicarakan kedekatan Dara bersama ibunya. 

"Kau benar," jawab Rai sekenanya. Kali ini dia setuju dengan Dareen

"Kudengar kali ini Jinu juga ikut,"

"Sepertinya iya karena dia tidak menghubungiku seharian ini." Rai memainkan ponsel dan memastikan kalau anaknya itu memang tidak mengirimkannya pesan.

"Mereka sepertinya memang sedang menikmati waktu bersama."

"Kau masih mencarinya?" Tanya Rai tiba-tiba.

Dareen yang mendengar pertanyaan Raiden sontak mengangkat kepalanya guna bertatapan langsung dengan sang lawan bicara. "Aku sudah berhenti tahun lalu."

"Kenapa?" Raiden kembali bertanya karena penasaran.

"Aku tidak pernah mendapatkan apapun." jawab Dareen singkat. Setelah menjeda kalimatnya beberapa saat, Dareen kembali melanjutkan perkataan nya. "Sejak dia pergi, orang tuanya juga pindah. Dari informasi yang aku terima, dia tidak pernah bertemu dengan orang tuanya lagi." Dareen menghela nafas dalam.

Raiden mengangguk paham. "Mungkin orang tuanya menutupi dimana keberadaan dia. Mereka cukup punya kuasa untuk itu."

"Bisa saja. Tapi semuanya terlalu sempurna. Tidak ada sedikitpun jejak yang tertinggal. Selama bertahun-tahun aku melakukan pencarian, sampai sekarang tidak ada satupun petunjuk yang mengatakan dimana keberadaannya." Dareen meletakkan pulpen ditangannya dan berjalan menghampiri Raiden di sofa.

"Menurutmu, kehidupan seperti apa yang mungkin sedang dia jalani sekarang?" Raiden menerawang jauh, menatap atap kantor dengan pandangan lelah. 

"Entahlah. Dia seorang perempuan yang baik, lemah lembut dan sangat pintar. Kurasa dia akan memiliki kehidupan yang baik." jawab Dareen tidak yakin dan ikut menerawang jauh mengingat sekelebat bayangan tentang seseorang yang menjadi topik pembicaraan mereka.

"Jika dulu kau sempat menjelaskan, apa mungkin dia akan memberimu kesempatan?" Obrolan mereka terus berlanjut dengan Raiden yang bertanya karena penasaran dan Dareen yang menjawab sebisanya.

"Mungkin tidak. Bagaimanapun aku bersalah." Dareen menarik nafas panjang.

"Dan jika saat itu dia memberimu pilihan, maka siapa yang akan kau pilih? Atau kau mungkin punya opsi lain?"

Raiden menggeleng pelan. "Entahlah. Tapi kurasa kau sudah tahu jawabannya," Dareen mendengus pelan.

"Tapi kau mencintai dia." balas Raiden dengan penuh penekanan. 

"Wenda sedang mengandung anakku, jika kau lupa." balas Dareen mengingatkan.

"Hah, masa lalu kita memang benar-benar rumit. Tapi yang sampai saat ini terikat dengan masa lalu itu hanya kau Dareen."

"Itu karena aku belum menjelaskan semuanya. Aku belum sempat meminta maaf." lirih Dareen yang terdengar begitu dalam dan penuh makna.

"Pernahkah kau berpikir dia sudah berkeluarga?" Pertanyaan Raiden kali ini sedikit ragu, bagaimana pun ini akan menjadi topik yang sensitif untuk sahabatnya. "Maksudku, seperti kita sekarang. Kau, aku dan Wenda, kita semua sudah punya kehidupan masing-masing." Jelas Raiden. 

Dareen terdiam, dia tahu apa yang dikatakan sahabatnya kemungkinan besar bisa terjadi. Mengingat ini sudah 15 tahun lamanya. Tapi hati kecilnya masih berharap, semua masih sama walaupun itu jelas tidak mungkin.

Ingatannya kembali pada hari itu, hari dimana seseorang yang katanya dia cintai melangkah pergi dengan tatapan terluka. Tidak ada air mata di sana, hanya gurat kecewa dan kesedihan yang tampak jelas menghiasi wajah manisnya.

Langkahnya terlihat begitu rapuh, perlahan tapi pasti tubuh kurus nan tinggi miliknya melewati pintu pagar milik kediaman mereka. Saat itu, Dareen rasanya ingin mengejar perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu, namun keadaan tidak memungkinkan. Wenda tengah mengalami pendarahan dan nyaris keguguran.

Mengabaikan fakta bahwa istrinya baru saja terluka karena kehamilan Wenda dan pergi meninggalkan dia, dengan langkah tergesa, Dareen justru membawa Wenda kedalam mobil untuk segera pergi ke rumah sakit. Tindakan Dareen saat itu tidak sepenuhnya salah, karena bagaimanapun ada nyawa yang harus menjadi prioritasnya. 

Tak jauh dari rumah meraka, mobil yang Dareen bawa melewati istrinya begitu saja yang tengah berjalan gontai. Melalui kaca spion mobil, Dareen dapat melihat bahwa sang istri baru saja meneteskan air mata begitu dia melintas di hadapannya.

Dareen tidak tahu, jika keputusannya untuk memprioritaskan Wenda dan kandungannya saat itu, justru membuatnya kehilangan sang istri. Bukan hanya sekedar perceraian tapi istrinya benar-benar menghilang sepenuhnya dari kehidupannya dan dari kehidupan semua orang yang dikenalnya.

Maafkan aku Anna. Satu kata yang selalu di rapalkan Dareen setiap harinya.

✿✿✿✿✿

Anna tengah membantu putranya untuk mengemasi barang-barang bawaannya. Meski dengan berat hati, tetap saja Anna hanya seorang ibu yang akan selalu menuruti keinginan sang anak terlebih jika keinginan tersebut bukan sesuatu hal yang buruk. Anna akan mendukung pilihan putranya.

"Selama mama belum sampai ke Bristol, kamu jangan merepotkan nenek dan kakek disana." ucap Anna sambil melipat baju-baju Esa kedalam koper. 

"Siap ma, aku akan menjadi anak baik untuk nenek juga," Esa tersenyum meyakinkan ibunya. 

Anna pun membalas senyuman anaknya dengan lembut. "Jangan pergi ke mana-mana dulu. Biar nanti mama yang akan menunjukkan tempat -tempat bagus di Bristol kepadamu."

"Mama sudah 15 tahun tidak pernah ke sana. Bristol pasti telah berubah. Aku melihat di internet jika Bristol sudah menjadi kota tujuan semua orang selain London."

"Meski begitu, mama tetap lebih tahu darimu." bela Anna tidak mau kalah. 

"Iya, iya. Aku tahu." Esa mengiyakan begitu saja, karena jika dia terus membalas ucapan sang ibu maka bisa dipastikan pembicaraan ini akan menjadi sangat panjang, dia tahu ibunya tidak pernah mau kalah dan selalu lebih kekanakan darinya. 

Anna tersenyum penuh kemenangan. "Ah mama pasti akan merindukan momen seperti ini." Anna mengusap kepala putranya yang sedang tiduran. 

Esa memutar tubuhnya dan tidur menyamping menghadap sang ibu, dengan senyuman manis miliknya dia menatap sang ibu dengan begitu dalam. 

"Ma, jangan seperti ini ya? Aku jadi merasa bersalah," ucap Esa dengan sedih. 

Anna terkekeh pelan. "Maafkan mama, aku pasti berlebihan lagi ya padahal kan penerbangan kita hanya berbeda seminggu. Dan di sana kita akan tetap tinggal bersama."

"Nah itu tahu." kali ini giliran Esa yang terkekeh.

Esa kembali memutar tubuhnya, kini menjadi tidur terlentang. Matanya bergerak menerawang langit-langit kamar.

"Ma," panggilnya dengan lembut dan tenang.

"Hmm." gumam Anna.

"Apa Bristol tempat yang indah?" tanya Esa yang masih menatap langit-langit kamarnya.

Anna naik ke tempat tidur dan berbaring di samping anaknya. Mengusap pelan wajah sang anak dan menyingkirkan poni yang menutupi sebagian besar dahinya.

"Ya, Bristol tempat yang indah. Tapi bagi mama, tidak ada tempat yang lebih indah selain bersamamu." Anna kemudian memeluk Esa dengan erat. Anna tidak berbohong, karena baginya Esa adalah dunianya. 

"Jika Bristol itu indah, kenapa mama pindah kesini?" pertanyaan tersebut keluar begitu saja. 

Anna menghela nafas dalam. "Terkadang kita bertemu kondisi yang mengharuskan kita pergi," terlihat sekali jika Anna berusaha tersenyum memaksakan. 

Esa terdiam, dirinya kini sudah dewasa, dan sudah bisa memikirkan banyak kemungkinan. Diantaranya alasan ibunya pindah ke Jepang dan tidak pernah kembali ke Bristol lagi. Selain itu, alasan ibunya hidup berpura-pura menjadi seorang pria pasti karena ada hubungannya dengan masa lalu. Meski Anna selalu mengatakan perubahannya untuk membuat Esa nyaman dan tidak dikucilkan, nyatanya Esa tidak bisa menelannya bulat-bulat.

"Mama, aku mencintaimu. Sangat." ucap Esa dalam pelukan ibunya. "Tapi, bolehkah kali ini saja aku bertanya tentang masa lalu?" suara Esa pelan namun penuh dengan keseriusan.

Anna mengurai pelukannya dan menatap manik sang anak yang terlihat penuh harap. Dengan helaan nafas berat dan penuh kewaspadaan, Anna hanya bisa mengangguk pasrah. 

"Boleh aku tahu siapa papa?" tidak ingin berbelit-belit dan memberi kesempatan ibunya untuk beralasan lagi, Esa akhirnya bertanya sesuatu yang seumur hidupnya menjadi hal yang paling ingin dia ketahui.

Anna berubah gusar dan tanpa sadar menggigit bibirnya. Mungkin ini sudah saatnya. Putranya tahun ini berumur 15 tahun, dan sudah masuk SMA. Tetap disembunyikan pun pertanyaan itu akan terus menerornya seumur hidup.

"Mama akan menceritakan sesuatu, tapi setelah ini Esa harus berjanji untuk tidak pernah membenci siapapun. Mama berharap Esa justru mau melupakan semuanya." Anna mencium kening anaknya

Esa tersenyum, lalu mengangguk.

"Papa mu adalah orang Brisol. Tapi, mama sendiri tidak tahu dimana dia berada sekarang. Entah masih disana, atau sudah pindah. Entahlah." Anna menghela nafas sejenak dan melanjutkannya. "Dia juga mungkin tidak tahu dimana kita."

"Apa dia tidak pernah ingin tahu bagaimana kabarku? Atau setidaknya penasaran dan bertanya dimana kita sekarang?" tanya Esa masih dengan ekspresi tenang.

Anna kembali terdiam, dia bingung bagaimana harus mengatakannya. "Dia tidak pernah tahu kalau kamu ada." desah Anna lemah.

Esa mengernyitkan keningnya, dia tidak mengerti maksud perkataan ibunya.

"Jika ada seseorang yang harus Esa benci, maka mama lah orangnya." Lanjut Anna. "Mama berpisah dengannya disaat kami belum tahu jika ada kamu hadir di dalam perutku"

Esa menggigit bibirnya, entah kenapa tiba-tiba matanya terasa panas. Dia mulai mengerti sedikit-demi sedikit apa yang diceritakan oleh ibunya. "Kenapa?" Tanya Esa. "Meskipun sudah berpisah, bukankah masih bisa bicara apalagi untuk hal seperti itu?" Esa sedikit menaikan suaranya, pertanda emosi sudah mulai mengusai dirinya. Ini pertama kalinya Esa bicara keras kepada ibunya, tapi Anna mengerti.

"Esa kecewa hm? Karena hanya bisa hidup dengan mama?" Tanya Anna masih berusaha untuk tenang.

"B-bukan begitu, tapi bukankah seharusnya mama memberi tahu papa meskipun kalian sudah bercerai?"

"I-itu karena-- " Anna memejamkan matanya. Menyiapkan diri untuk mengatakan luka masa lalunya.

ada perempuan lain yang tengah mengandung anaknya." jawab Anna pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya. Kalimat yang untuk pertama kalinya dia ucapkan kepada sang putra setelah sekian lama terpendam. Butuh keberanian yang besar bagi Anna untuk bicara, tapi dia tahu putranya berhak tahu agar tidak menyalahkannya karena memilih untuk membesarkan Esa seorang diri.

Esa terhenyak, pikirannya mendadak kosong. Sesuatu yang tidak diduga menghantam dadanya begitu telak. Ternyata selama ini ibunya menyimpan sesuatu yang begitu menyakitkan. Esa pun mulai terisak, rasa bersalah memenuhi hatinya kala merasakan air mata sang ibu jatuh di wajahnya. Dan untuk pertama kalinya juga Esa menangis didepan Anna. Selama ini, Esa selalu menjadi anak yang kuat dan tidak pernah menunjukkan kesedihan apapun kepada sang ibu. Tapi hari ini menjadi pengecualian.

"Maafkan aku ma, aku berjanji setelah ini aku tidak akan pernah bertanya apapun lagi tentang dia," Dia, itulah panggilan baru Esa terhadap ayahnya. Dia enggan memanggil paa pada seseorang yang sudah memberi luka pada ibunya, malaikat penolongnya.

Anna mencium pipi kiri kanan Esa bergantian. "Kau berhak tahu sayang, dan aku juga berjanji akan membuatmu bahagia meski hanya kita berdua." Anna kembali membawa Esa kedalam pelukannya. "Kita lupakan semua masa lalu, hanya ada mama dan kamu disini sebagai Khesa Devano putra seorang Joanna Michelle. "

Dan malam itu pun mereka habiskan bersama. Anna menemani Esa tidur dengan memeluknya sepanjang malam.

*

*

*

- T B C -

With Love : Nhana

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status