Share

Bab 3 Janji Raya

“Aku mohon Lan. Aku akan lakukan apapun asal kamu tetap membiayai kuliah Rani.” Mas Harun sudah bersimpuh di kakiku. Tidak lama kemudian Ibu mertua juga sudah melakukan hal yang sama.

“Ibu yang salah Wulan. Karena terus meminta cucu laki-laki pada Harun. Biar Ibu saja yang menanggung semuanya. Asal kamu tetap membiayai kuliahnya Rani.” Tangan Ibu bertumpu di pahaku dengan derai air mata di wajahnya. Tapi, aku sama sekali tidak merasa iba.

Rani adalah adik iparku yang sedang menempuh kuliah kedokteran di tahun ketiganya. Sama seperti Ibu mertua, Rani adalah tipe adik ipar yang cuek dan semena-mena padaku. Sejak duduk di bangku sekolah, Rani tidak mau menurut perkataan orang yang lebih tua. Otaknya memang encer hingga bisa menembus fakultas kedokteran di luar kota. Sayangnya sikapnya minus sekali.

Aku masih ingat betul saat Rani memaksa untuk kuliah disana. Dia sampai bertengkar dengan Mas Harun karena tidak bisa membiayai kuliah kedokteran yang harganya sangat mahal sekali. Itu karena Rani kuliah di perguruan tinggai swasta, bukan di perguruan tinggi negeri. Perdebatan malam itu tidak ada ujungnya hingga Mas Harun masuk ke dalam kamar kami.

“Rani tetap mau kuliah di PTS itu Mas?” Tanyaku kala itu melihat wajah lesunya. Ia menganggukan kepala.

“Nggak mungkin aku meminta Rani untuk mundur.” Jawab Mas Harun lemah. Kami terdiam sejenak kala itu. Memikirkan solusi terbaik yang harus di hadapi.

“Kenapa nggak di PTN saja yang biayanya lebih murah?”

“Rani nggak lolos tiga tes seleksi di PTN manapun. Karena dia terlalu menggampangkan tes dengan yakin akan lulus. Padahal persaingan di PTN tentu saja sangat tinggi. Banyak orang pintar yang akan mendaftar.” Jawab Mas Harun yang masih kesal pada adiknya. Aku hanya bisa menepuk bahu Mas Harun pelan untuk memberikan kekuatan.

Drrtt…

Hpku tiba-tiba berdering. Ada pesan masuk dari manajer di toko komputerku jika aku harus  pergi ke toko besok. Tanpa aku sadari, Mas Harun ikut membaca pesan di hpku. Matanya tiba-tiba saja jadi berbinar.

“Kamu mau terus berusaha untuk mengambil hatinya Ibuku dan Ranikan, Lan?” Ujar Mas Harun dengan wajah yang sudah berubah menjadi cerah. Keningku berkerut bingung. Tapi, aku tetap menganggukan kepala. 

“Tentu saja aku mau, Mas. Sayangnya usahaku selama ini belum terlihat oleh Ibu. Sesuai dengan saranmu, aku sudah memberikan pendapatan dari tokoku untuk Ibu. Memberikan uang pesangon untuk sekolah Rani hingga mencuci dan menyetrika pakaian Ibu dengan tanganku sendiri.” Kataku sedih mengingat semua pemberian untuk Ibu dan Rani yang tidak bisa meluhkan hati mereka. Mas Harun sudah menggenggam tanganku dengan erat.

“Kalau begitu kamu harus terus berusaha. Tolong biayai uang kuliah Rani. Untuk biaya kos dan jajannya akan aku tanggung sendiri.” Pinta Mas Harun sambil tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku langsung menganggukan kepala.

Lagipula uang tabunganku untuk masa depan anak-anak masih banyak. Papa dan Mama sudah tiada. Aku juga tidak punya saudara kandung. Jadi, aku dengan ikhlas membantu keluarga Mas Harun. Karena aku menganggap jika mereka juga keluargaku. Tapi, setelah semua pengorbanan yang aku berikan, justru penghianatan yang kini aku dapatkan.

Secara agama, aku tidak bisa menuntut cerai pada Mas Harun jika dia menikah lagi. Awalnya itu yang aku pikirkan saat pertama kali mengetahui rencana pernikahan mereka. Walaupun aku juga sudah mendapat bukti jika Mas Harun sudah berzina lebih dulu sebelum menikah dengan Raya, aku tidak kuasa berpisah karena anak-anak yang sangat dekat dengan Mas Harun. Dia memang telah menyakitiku sebagai seorang suami. Namun, bagi anak-anak Mas Harun adalah cinta pertama mereka.

“Jangan memohon seperti itu Mas Harun, Ibu.” Raya berusaha menarik tangan Mas Harun berdiri. Mas Harun langsung mendorongnya hingga jatuh.

“Aku bilang diam.” Hardik Mas Harun walaupun tidak sekeras tadi. Raya beringsut mundur lalu kembali duduk di sofa.

“Kamu tahu sendiri biaya kuliah Rani sangat mahal, Lan. Aku tidak sanggup. Rani pasti akan mengamuk kalau dia terpaksa berhenti kuliah karena kamu tidak mau membiayainya lagi.”

“Semua itu sudah jadi konsekuensi keputusan kamu saat memutuskan untuk menikah lagi dengan Raya, Mas.” Jawabku tenang.

“Kalau aku menceraikan Raya sekarang juga, apakah kamu akan tetap membiayai kuliah Rani. Toh kami hanya menikah siri.”

“Aku nggak mau kamu permainkan seperti ini Mas. Kamu yang jujur sama aku tentang masalah rumah tangga kalian. Kenapa aku juga harus ikut menanggung semuanya sekarang?” Teriak Raya keras hingga membuatku takut jika anak-anak akan terbangun dari tidur mereka.

“Raya benar Mas. Aku nggak suka kamu mempermainkan sakralnya pernikahan. Jangan ceraikan Raya hanya demi aku. Karena kamu harus menanggung semua konsekuensi atas keputusan yang kamu pilih saat melakukan poligami.” Kataku setuju dengan perkataan Raya. Tubuh Ibu mertua sudah luruh ke lantai. Tangisnya jadi semakin keras hingga terdengar sangat menyedihkan.

“Jangan ceraikan aku Mas. Kalau Mbak Wulan sudah tidak mau membayar uang kuliah Rani, aku bisa menggadaikan sawah milik Bapakku.” Kata Rani lagi berusaha menarik tangan Mas Harun untuk berdiri. Kini, pria itu sudah tidak lagi bersimpuh di kakiku. Dia juga menarik Ibu mertua untuk duduk di kursinya semula.

“Baguslah kalau begitu. Tenang saja aku akan memberikan tanda tanganku agar pernikahan kalian sah di mata hukum.”

Ini bisa jadi pembalasan yang menarik untuk orang tua Rani. Mereka pasti tidak akan menyangka jika Rani rela menggadaikan tanah peninggalan Mbah Kakung yang sangat luas itu.

“Baiklah. Aku terima syarat keduamu.” Mas Harun segera menyeka air mata di pipi. Wajahnya dan Ibu mertua jadi lebih tenang setelah mendengar perjataan Raya tadi.

“Apakah masih ada syarat lain?”

“Syarat ketiga aku tidak mau kalau sampai anak-anak tahu jika kalian sudah menikah. Karena anak-anak benci dengan yang namanya pelakor. Jika sampai mereka tahu, akan aku buat anak-anak benci padamu seumur hidup mereka.” Ancamanku ini sebenarnya hanya gertak sambal belaka. Karena aku tahu kedua putriku masih membutuhkan Ayah mereka saat menikah kelak. Aku melakukan hal ini hanya untuk melindungi mental anak-anakku saja.

“Untuk syarat lain bisa kalian baca sendiri. Tanda tangani dan semuanya akan beres.”

“Kamu tidak bisa membuat anak-anak membenciku Lan. Jangan libatkan mereka dalam masalah kita.” Raut wajah Mas Harun kembali berubah merah karena menahan amarah.

“Bukan aku yang akan mempengaruhi mereka. Kamu saja yang tidak tahu dengan berita terhangat di komplek rumah kita, Mas.” Balasku tidak terima. Ibu mertua yang mengerti maksudku tampak sangat kaget.

“Maksudmu dengan tetangga yang selingkuh lalu meninggalkan istri pertama dan anak-anaknya?” Tanya Ibu mertua yang sudah pasti tahu dengan gosip terhangat di komplek ini.

“Nah itu Ibu tahu. Anak sulung mereka sering main ke rumah ini. Diakan teman baik Lana juga. Setelah tahu berita itu, Lana bilang kalau dia akan membenci Mas Harun seandainya Mas Harun menikah lagi.” Ujarku membuat wajah Mas Harun sudah berubah menjadi pucat pasi. Dia pasti merasa sangat takut akan di benci anak-anak. Tangan Raya kembali melingkar di bahu Mas Harun sembari berbisik. Membuatku langsung membuang pandang.

Rasanya sakit sekali melihat pemandangan itu. Masih kuatkah aku untuk menerima poligami ini? Bagaimana jika suatu saat nanti kedua putriku tahu jika Ayah mereka sudah berhianat? Siapa yang akan mereka ikuti? Aku atau Mas Harun.

“Ayah sudah pulang?” Suara Alana terdengar di atas tangga. Membuat Mas Harun langsung melepaskan pelukan Raya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status