“Aku mohon Lan. Aku akan lakukan apapun asal kamu tetap membiayai kuliah Rani.” Mas Harun sudah bersimpuh di kakiku. Tidak lama kemudian Ibu mertua juga sudah melakukan hal yang sama.
“Ibu yang salah Wulan. Karena terus meminta cucu laki-laki pada Harun. Biar Ibu saja yang menanggung semuanya. Asal kamu tetap membiayai kuliahnya Rani.” Tangan Ibu bertumpu di pahaku dengan derai air mata di wajahnya. Tapi, aku sama sekali tidak merasa iba.Rani adalah adik iparku yang sedang menempuh kuliah kedokteran di tahun ketiganya. Sama seperti Ibu mertua, Rani adalah tipe adik ipar yang cuek dan semena-mena padaku. Sejak duduk di bangku sekolah, Rani tidak mau menurut perkataan orang yang lebih tua. Otaknya memang encer hingga bisa menembus fakultas kedokteran di luar kota. Sayangnya sikapnya minus sekali.Aku masih ingat betul saat Rani memaksa untuk kuliah disana. Dia sampai bertengkar dengan Mas Harun karena tidak bisa membiayai kuliah kedokteran yang harganya sangat mahal sekali. Itu karena Rani kuliah di perguruan tinggai swasta, bukan di perguruan tinggi negeri. Perdebatan malam itu tidak ada ujungnya hingga Mas Harun masuk ke dalam kamar kami.“Rani tetap mau kuliah di PTS itu Mas?” Tanyaku kala itu melihat wajah lesunya. Ia menganggukan kepala.“Nggak mungkin aku meminta Rani untuk mundur.” Jawab Mas Harun lemah. Kami terdiam sejenak kala itu. Memikirkan solusi terbaik yang harus di hadapi.“Kenapa nggak di PTN saja yang biayanya lebih murah?”“Rani nggak lolos tiga tes seleksi di PTN manapun. Karena dia terlalu menggampangkan tes dengan yakin akan lulus. Padahal persaingan di PTN tentu saja sangat tinggi. Banyak orang pintar yang akan mendaftar.” Jawab Mas Harun yang masih kesal pada adiknya. Aku hanya bisa menepuk bahu Mas Harun pelan untuk memberikan kekuatan.Drrtt…Hpku tiba-tiba berdering. Ada pesan masuk dari manajer di toko komputerku jika aku harus pergi ke toko besok. Tanpa aku sadari, Mas Harun ikut membaca pesan di hpku. Matanya tiba-tiba saja jadi berbinar.“Kamu mau terus berusaha untuk mengambil hatinya Ibuku dan Ranikan, Lan?” Ujar Mas Harun dengan wajah yang sudah berubah menjadi cerah. Keningku berkerut bingung. Tapi, aku tetap menganggukan kepala. “Tentu saja aku mau, Mas. Sayangnya usahaku selama ini belum terlihat oleh Ibu. Sesuai dengan saranmu, aku sudah memberikan pendapatan dari tokoku untuk Ibu. Memberikan uang pesangon untuk sekolah Rani hingga mencuci dan menyetrika pakaian Ibu dengan tanganku sendiri.” Kataku sedih mengingat semua pemberian untuk Ibu dan Rani yang tidak bisa meluhkan hati mereka. Mas Harun sudah menggenggam tanganku dengan erat.“Kalau begitu kamu harus terus berusaha. Tolong biayai uang kuliah Rani. Untuk biaya kos dan jajannya akan aku tanggung sendiri.” Pinta Mas Harun sambil tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku langsung menganggukan kepala.Lagipula uang tabunganku untuk masa depan anak-anak masih banyak. Papa dan Mama sudah tiada. Aku juga tidak punya saudara kandung. Jadi, aku dengan ikhlas membantu keluarga Mas Harun. Karena aku menganggap jika mereka juga keluargaku. Tapi, setelah semua pengorbanan yang aku berikan, justru penghianatan yang kini aku dapatkan.Secara agama, aku tidak bisa menuntut cerai pada Mas Harun jika dia menikah lagi. Awalnya itu yang aku pikirkan saat pertama kali mengetahui rencana pernikahan mereka. Walaupun aku juga sudah mendapat bukti jika Mas Harun sudah berzina lebih dulu sebelum menikah dengan Raya, aku tidak kuasa berpisah karena anak-anak yang sangat dekat dengan Mas Harun. Dia memang telah menyakitiku sebagai seorang suami. Namun, bagi anak-anak Mas Harun adalah cinta pertama mereka.“Jangan memohon seperti itu Mas Harun, Ibu.” Raya berusaha menarik tangan Mas Harun berdiri. Mas Harun langsung mendorongnya hingga jatuh.“Aku bilang diam.” Hardik Mas Harun walaupun tidak sekeras tadi. Raya beringsut mundur lalu kembali duduk di sofa.“Kamu tahu sendiri biaya kuliah Rani sangat mahal, Lan. Aku tidak sanggup. Rani pasti akan mengamuk kalau dia terpaksa berhenti kuliah karena kamu tidak mau membiayainya lagi.”“Semua itu sudah jadi konsekuensi keputusan kamu saat memutuskan untuk menikah lagi dengan Raya, Mas.” Jawabku tenang.“Kalau aku menceraikan Raya sekarang juga, apakah kamu akan tetap membiayai kuliah Rani. Toh kami hanya menikah siri.”“Aku nggak mau kamu permainkan seperti ini Mas. Kamu yang jujur sama aku tentang masalah rumah tangga kalian. Kenapa aku juga harus ikut menanggung semuanya sekarang?” Teriak Raya keras hingga membuatku takut jika anak-anak akan terbangun dari tidur mereka.“Raya benar Mas. Aku nggak suka kamu mempermainkan sakralnya pernikahan. Jangan ceraikan Raya hanya demi aku. Karena kamu harus menanggung semua konsekuensi atas keputusan yang kamu pilih saat melakukan poligami.” Kataku setuju dengan perkataan Raya. Tubuh Ibu mertua sudah luruh ke lantai. Tangisnya jadi semakin keras hingga terdengar sangat menyedihkan.“Jangan ceraikan aku Mas. Kalau Mbak Wulan sudah tidak mau membayar uang kuliah Rani, aku bisa menggadaikan sawah milik Bapakku.” Kata Rani lagi berusaha menarik tangan Mas Harun untuk berdiri. Kini, pria itu sudah tidak lagi bersimpuh di kakiku. Dia juga menarik Ibu mertua untuk duduk di kursinya semula.“Baguslah kalau begitu. Tenang saja aku akan memberikan tanda tanganku agar pernikahan kalian sah di mata hukum.”Ini bisa jadi pembalasan yang menarik untuk orang tua Rani. Mereka pasti tidak akan menyangka jika Rani rela menggadaikan tanah peninggalan Mbah Kakung yang sangat luas itu.“Baiklah. Aku terima syarat keduamu.” Mas Harun segera menyeka air mata di pipi. Wajahnya dan Ibu mertua jadi lebih tenang setelah mendengar perjataan Raya tadi.“Apakah masih ada syarat lain?”“Syarat ketiga aku tidak mau kalau sampai anak-anak tahu jika kalian sudah menikah. Karena anak-anak benci dengan yang namanya pelakor. Jika sampai mereka tahu, akan aku buat anak-anak benci padamu seumur hidup mereka.” Ancamanku ini sebenarnya hanya gertak sambal belaka. Karena aku tahu kedua putriku masih membutuhkan Ayah mereka saat menikah kelak. Aku melakukan hal ini hanya untuk melindungi mental anak-anakku saja.“Untuk syarat lain bisa kalian baca sendiri. Tanda tangani dan semuanya akan beres.”“Kamu tidak bisa membuat anak-anak membenciku Lan. Jangan libatkan mereka dalam masalah kita.” Raut wajah Mas Harun kembali berubah merah karena menahan amarah.“Bukan aku yang akan mempengaruhi mereka. Kamu saja yang tidak tahu dengan berita terhangat di komplek rumah kita, Mas.” Balasku tidak terima. Ibu mertua yang mengerti maksudku tampak sangat kaget.“Maksudmu dengan tetangga yang selingkuh lalu meninggalkan istri pertama dan anak-anaknya?” Tanya Ibu mertua yang sudah pasti tahu dengan gosip terhangat di komplek ini.“Nah itu Ibu tahu. Anak sulung mereka sering main ke rumah ini. Diakan teman baik Lana juga. Setelah tahu berita itu, Lana bilang kalau dia akan membenci Mas Harun seandainya Mas Harun menikah lagi.” Ujarku membuat wajah Mas Harun sudah berubah menjadi pucat pasi. Dia pasti merasa sangat takut akan di benci anak-anak. Tangan Raya kembali melingkar di bahu Mas Harun sembari berbisik. Membuatku langsung membuang pandang.Rasanya sakit sekali melihat pemandangan itu. Masih kuatkah aku untuk menerima poligami ini? Bagaimana jika suatu saat nanti kedua putriku tahu jika Ayah mereka sudah berhianat? Siapa yang akan mereka ikuti? Aku atau Mas Harun.“Ayah sudah pulang?” Suara Alana terdengar di atas tangga. Membuat Mas Harun langsung melepaskan pelukan Raya.“Eh iya sayang.” Mas Harun seketika gugup. Pandangannya terus beralih dari Alana ke arahku.“Kamu tidur lagi ya sayang. Ibu dan Ayah akan menyusul ke kamar kalian.”“Iya Bu.” Jawab Alana lalu naik tangga lagi menuju kamarnya. Syukurlah Alana mau menuruti perintahku. Detik itu juga Mas Harun menghela nafas lega.“Kamu lihat sendirikan Raya. Aku dan Mas Harun harus masuk ke dalam kamar anak-anak saat mereka terbangun. Tapi, saat jatah Mas Harun ada di rumah orang tuamu, aku akan memberi pengertian pada mereka jika suami kita sedang sibuk bekerja. Begitu juga dengan Ibu yang harus ikut dengan anaknya karena ingin sekalian liburan.”“Kamu licik sekali karena sudah memakai anak-anakmu untuk mengancam Mas Harun.” Kata Raya yang kembali berani menunjukkan taringnya setelah tadi terdiam karena Mas Harun memarahinya.“Jangan mentang-mentang kamu lebih kaya daripada Mas Harun, kamu jadi istri yang durhaka Mbak.” Jarinya segera menunjuk diriku sendiri dengan ekpresi menantang.“Aku? Merendahkan
Kedua mataku sontak membeliak kaget. Jadi Bulek May mau menguasai rumah ini. Padahal rumahku adalah warisan dari Bapak yang diturunkan turun temurun dari Kakekku. Sama sekali tidak ada hak Bulek May dan Raya dalam rumah ini. Sekali lagi, tanganku cekatan memindahkan semua pesan di hp Raya yang kembali muncul ke laptop, lalu menghapusnya lagi.Drrtt…Hp Raya sudah bergetar lagi. Ada pesan masuk dari Mas Harun. Aku hanya bisa melihat sekilas dari pop up pesan tanpa berani membukanya di hp. Karena hp Raya sudah aku bajak, aku memilih untuk membaca pesan Mas Harun di komputer. [Kamu sudah masukin obat tidur ke dalam minumannya Wulan dek?]“Obat tidur?” Gumamku heran. Apa yang hendak mereka lakukan sampai Raya harus memberiku obat tidur.[Kalau bisa cepat sedikit ya. Kita harus pergi ke penjahit untuk fitting baju pengantin sore ini juga. Aku tidak mau Wulan memergoki kita saat pergi bersama sore ini.]Tanpa terasa air mataku kembali mengalir di pipi. Sakit sekali rasanya saat suami yang
“Wu, wulan.” Mas Harun seketika melepaskan rangkulannya dibahu Raya. Aku pura-pura tidak melihat semua itu. Mereka tidak boleh melihatku lemah agar tidak curiga jika aku sudj tahu tentang hubungan terlarang mereka.“Kalian darimana saja baru pulang selarut ini?” Pertanyaanku tentu saja membuat Mas Harun tergagap. Mulutnya terbuka dan tertutup sendiri. Sepertinya dia hendak bicara. Tapi, tidak ada suara yang keluar. Raya menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. Aku masih bisa melihat tas belanja yang menyembul keluar.“Kami dari rumah sakit Mbak. Tiba-tiba perutku keram. Ternyata aku salah makan hari ini.” Jawab Raya memberikan alasan kliss.“Oh begitu.” Ucapku datar.“Kamu kok belum tidur sayang. Ayo kita masuk ke dalam kamar sekarang. Aku masih harus bekerja besok.” Akhirnya Mas Harun bisa bicara juga. Dia segera menarik tanganku agar masuk ke dalam kamar. Kuikuti saja permainanya. Mas Harun langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tidak lama kemudian dia sudah ter
Dengan cepat aku segera berjalan menjauh hingga suara langkah kakiku terdengar nyaring. Karena kamar tamu ada tepat di sebelah dapur, seharusnya aku masih bisa mendengar aktivitas pasangan pengantin baru itu. Tapi, hanya suara air dari dispenser yang mengisi keheningan rumah ini.Tidak ingin larut dalam kesedihan seorang diri, aku segera berjalan menuju kamar. Suara bisikan Raya yang cukup keras membuatku seketika menghentikan langkah. “Apa Mbak Wulan sudah masuk ke dalam kamarnya Mas?”“Sepertinya belum. Aku tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka dan tertutup.”Dasar bodoh. Tanpa harus menguping di depan pintu kamar kalian aku bisa tahu apa yang terjadi. Aku segera melanjutkan langkah menuju kamar lalu mengunci pintu kembali. Kini aku sudah duduk di depan komputer untuk memantau kamar tamu menggunakan kamera CCTV. Kamera yang aku pasang dua minggu lalu. Sehari setelah mengetahui perselingkuhan Mas Harun dengan Raya.“Sudah aman Mas?” Tanya Raya yang menutupi tubuhnya dengan s
“Uhuk, uhuk, uhuk.” Raya segera mengulurkan segelas air pada Mas Harun bersamaan denganku. Pandangan kami bertemu untuk sesaat. “Maaf Ayah jadi terbatuk sayang.” Tangan Mas Harun otomatis mengambil gelas air yang di sodorkan Raya. Membuat adik maduku itu seketika tersenyum senang.“Tuhkan. Ayah lebih milih gelas dari Tante Raya daripada gelas yang di berikan Ibu.” PrangGelas yang di pegang Mas Harun tadi jatuh ke bawah. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi karena Syifa bertanya hal yang kritis lagi. “Nggak ada yang spesial sayang. Ayah kira tadi gelas air itu dari Ibu. Bukan dari Tante Raya.” Kilah Mas Harun gugup.“Terus kenapa tadi Ayah keluar bareng Tante Raya?” Tanya Alana lagi mengulangi pertanyaan Syifa tadi.“Kebetulan saja sayang.” Kilahnya lagi. Aku mendengus mendengar jawaban Mas Harun.Bude Yah segera membersihkan pecahan gelas itu lalu membuangnya di tempat sampah. Aku segera mengalihkan perhatian anak-anak dengan menanyakan kegiatan mereka di sekolah hari ini. Syifa leb
Aku segera memegang tangan Raya dan mengambil gelang itu. “Apa yang sedang kamu lakukan Mbak? Kenapa kamu harus mengambil gelangku?” Raya berusaha mengambil gelang emas ini dariku. Untung saja aku bisa menghindarinya hingga Raya jatuh sendiri.“Ya ampun kalian ini. Bisa nggak sih nggak bertengkar di pagi hari ini seperti ini.” Tegur Ibu mertua yang sudah membantu Raya untuk berdiri. Kepalanya celingukan ke kanan kiri. Mungkin takut para tetangga akan melihat.“Mbak Wulan itu Bu. Dia mengambil gelas emas pemberian Ibu saat lamaran di rumahku.” Lapor Raya meringis kesakitan. Kedua mata Ibu mertua seketika membulat saat aku mengeluarkan gelang emas itu.“Jadi, Ibu memberikan gelang ini untuk acara lamaran di rumah Raya?” Tanyaku sambil menunjukkan gelang itu ke hadapan Ibu.“Iya. Memang kenapa sih Mbak? Mas Harun yang membelikan gelang emas itu sendiri kok. Benarkan Bu?” Justru Raya yang menjawab. Membuatku seketika tertawa hingga perutku terasa sakit.“Apa yang lucu? Kalau cemburu bilan
“I, itu bisa aku jelaskan sayang.” Amarahku sudah hampir meluap. Melihat orang-orang yang berlalu lalang membuatku menghela nafas berulang kali. Aku tidak boleh marah di tempat umum seperti ini.“Suruh Raya bawa balik motorku. Atau kalau nggak aku akan langsung melaporkan kalian ke polisi. Ingatlah Mas. Jika aku belum menandatangani surat yang mengijinkan agar pernikahanmu dan Raya disahkan secara negara.” Kataku pelan agar tidak menarik perhatian semakin banyak orang.Tanpa melihat wajah Raya lagi, aku langsung masuk ke dalam mobil. Terlihat dari kaca spion Mas Harun tengah bicara dengan Raya. Sepertinya mereka tengah berdebat. Karena sudah tidak sabar lagi, aku menelpon Mas Harun. “Cepatlah. Jangan sampai semua orang merekam kalian.” Kataku begitu dia mengabgkat panggilan. Tanganku menunjuk pada orang-orang yang masih menonton kami. Mas Harun menganggukan kepalanya lalu segera duduk di balik kemudi.Selama di perjalanan, aku terus melihat ke kaca spion untuk memastikan jika Raya t
Tubuh Raya seketika bergetar. Dia langsung bersembunyi di belakang tubuh Mas Harun. Tanganku meraup wajah kesal. Niat hati ingin menyembunyikan dulu pernikahan kedua suamiku malah berakhir seperti ini. Gara-gara Mas Harun yang mengabulkan keinginan istri keduanya itu. Masalah kami justru sudah di ketahui oleh para tetangga.“Maaf Ibu-ibu kami mau lewat.” Kata Mas Harun yang suaranya tenggelam di antara para Ibu-ibu yang sedang bicara. “Mas Harun benar Ibu-ibu. Tolong jangan halangi jalan mereka. Biarkan mereka pergi dari rumah saya. Satu hal lagi. Tolong jangan bicarakan kejadian ini pada Alana dan Syifa. Karena saya masih ingin menjaga perasaan kedua putri saya.”“Baiklah. Kami pergi dulu Lan. Kalau butuh bantuan bilang saja sama salah satu dari kami. Biar kami yang memberikan pelakor ini pelajaran.” Kata Bu Wati lalu mengajak para tetangga untuk pergi. Tapi, bukan pulang ke rumah mereka masing-masing. Melainkan berkumpul di rumah Bu Wati untuk bergosip.“Terima kasih banyak Lan.” K