Share

6. Noda di Rok

NASI GORENG GOSONG DARI MERTUA

Bab 6

"Tapi, aku takut kalau hasilnya negatif, Mbak." cetusku pada mbak Mira yang tadi memberi saran padaku.

"Coba aja, Yen. Siapa tahu kamu hamil. Kan malah bagus, kita kalau hamil barengan."

Meski ragu, berulang kali kupikirkan hal ini. Tak ada salahnya juga saran mbak Mira.

Bismillah, semoga tidak mengecewakan.

"Ayo, Yen." Ia menarik tanganku menuju ruangan.

Sesampainya dalam ruang periksa. Wanita berkacamata bening menyambut dengan ramah. Tak salah lagi, itu Lina mantan mas Irfan. Tapi, dia lumayan baik. Tidak ketus seperti mantan-mantan lainnya.

"Ini siapa yang mau periksa?" tanya Lina sopan.

"Yeni aja dulu, Lin. Tadi dia mual-mual soalnya." kata mbak Mira tanpa menyebut Lina dengan sebutan Dokter atau sebagainya.

"Oh, udah berapa hari mualnya, Yen?" Lina bertanya sembari memapahku untuk berbaring di bangsal.

"Baru tadi pas nyium bau obat." jelasku biasa saja.

"Oh …." Kedua tangan Lina sibuk menata alat untuk USG di atas perut datarku. "oya, Mas Irfan kok nggak nganterin kamu?" tambahnya membuat dahiku berkerut sesaat.

"Dia lagi sibuk, Mbak." jawabku enteng.

"Oh, pasti dia masih di peternakan 'kan?" tanyanya lagi. Kali ini, alat itu mulai menari di perutku. Gel dingin bening juga semakin meluber seiring bergeraknya entah benda apa itu namanya. Maklum, aku tak pernah sekolah kedokteran. Jadi, aku tak paham namanya alat medis yang agak susah disebut.

"Iya, Mbak. Emangnya, mau kerja apalagi dia, toh di peternakan juga hidup kami bahagia saja."

Lina samar menghela napas. Kenapa? Cemburukah? Batinku tersenyum jahat.

Wanita berkulit putih itu sibuk memperhatikan layar monitor di depannya.

"Gimana hasilnya?" Mbak Mira nyeletuk. Ia membungkuk untuk turut melihat layar alat USG.

"Iya, Yen. Kamu hamil." ujar Lina. Aku memiringkan wajah dan ikut melihat gambar yang menurutku membingungkan. Iya, membingungkan, pasalnya di sana hanya guratan gambar berwarna hitam. Mana gambar janinnya?

"Selamat ya, Yen. Akhirnya kamu hamil juga." sorak senang mbak Mira ucapkan padaku. Meski aku masih bingung, pura-pura saja sok paham. Toh, aku juga sangat senang dengan kehamilan tak terduga ini.

"Alhamdulillah, makasih, Mbak. Aku beneran nggak nyangka kalau Allah ngasihnya nggak terduga. Padahal aku nyaris putus asa." Aku bangkit dari bangsal dan turun. "sekarang giliranmu, Mbak."

"Iya, Yen. Semoga hasilnya juga sama kayak kamu ya," Kini giliran mbak Mira yang berbaring. Ia perlahan menyingsing bajunya bersiap untuk USG.

Lina mendadak diam, dia sibuk menyiapkan peralatan di sekitarnya.

Wajahku pun antusias saat menyaksikan hal yang sama denganku tadi. Tinggal menunggu Lina menjelaskan, apakah mbak Mira positif hamil atau tidak.

"Gimana hasilnya?" tanyaku pada Lina yang masih sibuk.

"Iya, selamat. Kamu juga positif hamil, Mir." Akhirnya, setelah menunggu kata itu tercetus dari bibir dokter ini. Kami berdua amat sangat puas mendengarnya. Mbak Mira tentu sama bahagianya sepertiku.

"Aaaa! Alhamdulillah, duh aku terharu banget. Kita bisa hamil barengan. Padahal bikinnya nggak janjian lebih dulu," gelak tawa tersembur dari iparku itu. Dia memang sedikit agak konslet kalau lagi seneng.

"Namanya juga rezeki, Mbak." ucapku lantas memegang lengan mbak Mira untuk turun dari pembaringan.

*

"Yen, pasti Ibu seneng banget dapet dua cucu sekaligus." sepanjang perjalanan pulang, tak hentinya mbak Mira nyerocos yang kadang entah aku tak mendengarnya dengan jelas.

"Ya jelas seneng dong, Mbak." jawabku bersaing dengan deru mesin motor.

"Yen, kita langsung pulang aja ya? Mataharinya udah terasa di ubun-ubun nih, mana panas banget kayak mulut tetangga." cetus wanita yang kubonceng di jok belakang.

"Iya, Mbak. Aku juga udah kepanasan nih rasanya. Mana lupa nggak pakai jaket lagi."

Kupacu kuda besi secepat mungkin agar segera sampai di rumah. Tak sabar juga untuk segera memberitahu ibu kabar bahagia ini. Agar ibu tak mengecapku sebagai wanita yang nggak bisa hamil lagi.

*

"Assalamualaikum!" Aku dan mbak Mira kompak mengucap salam selepas membuka pintu rumah.

Ibu tersenyum menyambut. Mertuaku itu duduk di depan TV dengan santai.

"Udah nggak pusing Bu, kepalanya?" tanyaku lalu duduk di sampingnya. Mbak Mira pun duduk di sisi ibu. Sekarang posisi ibu berada di tengah.

"Wa'alaikumsalam, Ibu udah sembuh kok. Oya Mira, gimana hasilnya? Kamu beneran hamil 'kan?" Seketika ibu langsung menggeser duduknya menghadap ke mbak Mira. Kedua tangan ibu memegang punggung mbak Mira erat. Terlihat sekali kalau ibu sangat mengharapkan hasilnya.

"Bukan cuma aku Bu, yang hamil. Yeni juga," kata mbak Mira menatapku sembari tersenyum.

"Kamu beneran hamil Yen?" Ibu nampak tak percaya.

Jemari mbak Mira merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Itu hasil USG tadi. Karena aku tak membawa tas, jadi hasil USG milikku kutitipkan di tasnya mbak Mira.

"Lihat aja, Bu. Ini hasil USG-ku sama punyanya Yeni, kami berdua sama-sama mengandung cucu ibu." Mbak Mira terus mengemban senyum bahagia.

Dalam sekejap, ibu juga lantas menatapku dan memeluku erat.

"Alhamdulillah kalian hamilnya barengan." kata ibu seraya menarik dirinya.

Binar bahagia terpancar sekali dari wajah mertuakum. Ronanya berbeda, ia yang sering memasang wajah garang, kini melempem bak kerupuk yang terkena air. Sudahkah luluh hatimu, Bu? Tanyaku dalam hati. Rasanya aku juga sudah tak sabar untuk memberitahu mas Irfan kalau aku hamil. Pasti ia sangat bahagia.

*

Gawai dalam genggaman terus memperlihatkan kata-demi kata yang kutulis. Hari ini moodku bagus, jadi aku berencana menulis satu bab lagi dan ingin mengadakan give away berupa uang untuk para pembaca setia. Ya, sekadar untuk merayakan kebahagiaanku hari ini.

[Ada hadiah uang tunai 200 ribu rupiah untuk satu pemenang. Syaratnya gampang, cukup tekan love serta komentar di bab ini. Maka akan saya undi pemenangnya besok. Selamat mengikuti, semoga beruntung.] tulisku di pengujung bab cerita yang usai kutulis.

Kumatikan HP dan menoleh ke arah jam. Ternyata sudah sore, mas Irfan sebentar lagi pulang. Dan penampilanku masih kacau begini. Nggak! Nggak bisa dibiarin ini. Segera kuayunkan kaki ke luar kamar untuk mandi.

Tumben hari ini ibu nggak ngomel. Bahkan ia selalu tersenyum saat berpapasan denganku. Aku yang tadi hendak menyapu pun tak diperbolehkan olehnya. Ya ya, mungkin ini efek aku hamil kali, ibu jadi sayang sama aku. Baguslah, aku jadi punya banyak waktu untuk menulis dan bermalas-malasan. Asyik!

"Bumil mau ke mana?" tanya seseorang membuat langkah ini terhenti.

Aku berbalik mencari sumber suara itu.

"Ibu ngagetin aja ah," sungutku cemberut.

"Jangan marah! Nggak baik buat kesehatan. Lagian, ngapain sih kamu jalannya mengendap-ngendap gitu? Terus, kenapa juga sambil celingukan ke sana sini. Nyari apa?" Ibu berjalan dan mengambil sesuatu dalam lemari pendingin.

Benarkah aku tadi jalannya ngendap? Entahlah, karena aku tadi sibuk bermonolog tentang ibu.

"Enggak kok, Bu. Aku biasa aja jalannya. Udah ya, aku mau mandi." Kubalik badan hendak meneruskan perjalanan ke kamar mandi.

"Tunggu! Itu di rokmu ada noda apa? Kok merah begitu?"

Bersambung….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status