Share

3. Test-pack

BAKU HANTAM DENGAN MERTUA

Bab 3

"Sama ajalah, Bu!" cebikku kesal.

"Emangnya kamu tahu sego itu apa?" Ibu menggelontor pertanyaan yang bagiku mudah dijawab.

"Tahulah, aku kan sering beli sego gudeg punyanya Haji Taslim, yang itu tempatnya di deket alun-alun," jelasku lantas berbalik hendak kembali duduk bersama mas Irfan.

Kami makan seperi biasa, sambil mengobrol hangat. Meski entah bagaimana kondisi perasaan masing-masing.

*

"Dek, kenapa belum tidur?" tanya mas Irfan yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya.

"Nggak pa-pa, Mas. Mas lanjut tidur aja. Aku belum ngantuk." tukasku sibuk dengan gawai yang kupegang dengan kedua tangan.

"Kamu nggak capek ya?" tanyanya lagi. Kini posisi lelaki itu menatap wajahku lama. Meski ia tengah berbaring dan aku terduduk, posisi yang berbeda ini tak menghalangi tatap netra kami yang semakin mendalam.

Segera kutepis pikiran menyebalkan dalam otakku. Biasanya kalau mas Irfan ada manis-manisnya gini, bau-baunya dia mau minta ronde ke dua.

"Ngapain Mas kamu lihatin aku kayak gitu? Udah tau kali kalau aku memang cantik, jadi biasa aja dong lihatinnya!" cebikku lantas membuang muka.

"Dek ... katanya kamu nggak capek 'kan?" tanyanya mengerling nakal.

"Capek, Mas!" jawabku sekenanya.

"Capek apa?"

"Capek mikir! Dah ah, Mas! Mas mendingan tidur lagi aja. Besok Mas harus bangun pagi buat ngarit." pintaku. Ia mengeha napas lalu membenamkan wajah dibalik selimut motif Doraemon. Betewe kalian kalau nggak tahu ngarit itu apa? Sini aku kasih tahu, ngarit itu cari rumput buat pakan ternak.

Mas Irfan tak lagi berkata lagi. Kulanjutkan aktivitas menulisku seperti biasa. Kebetulan sebuah ide melintas di kepala. Sebuah cerbung bergenre rumah tangga yang mudah dipahami.

Ah, beginilah, ketika waktuku banyak terbuang kumanfaatkan untuk menulis. Awalnya hanya hobi di waktu luang. Tapi lama-lama bisa jadi uang. Terlebih lagi, bisa mencukupi kebutuhan harianku, tanpa aku harus meminta uang pada mas Irfan.

Mata ini sudah terasa pedih, kelamaan menatap layar digital yang sedari tadi tak hentinya memancar di wajahku. Kini, kuberalih memandang jam bulat di dinding. Tepat pukul satu dini hari.

Selepas menyelesaikan satu bab cerita yang akan kuposting pada esok hari. Aku lantas mematikan gawai dan menyelam ke alam mimpi.

Tak lupa, kucium kening mas Irfan yang lagi pulasnya tidur. Beginilah, aku selalu mencuri ciuman ketika ia terlelap. Kalau sewaktu ia melek, gengsilah aku nyosor lebih dulu. Kalau dia tidur, barulah aku beraksi. Beginilah wanita, kebanyakan gengsi meski sudah halal dan milik sendiri.

*

"Ternyata udah bangun Dek kamu?" Mas Irfan yang baru terbangun memandangku sembari mengucek kedua netranya.

"Iya, dong. Istri rajin tuh begini, pagi-pagi udah bangun." jawabku. Jemari ini sibuk bergulir di layar pipih. Tentu untuk memposting cerita semalam di sebuah platform kepenulisan.

"Kamu akhir-akhir ini main HP mulu sampe larut malam? Ngapain? Nonton drakor atau drachi?" tanyanya perlahan menurunkan kaki dari ranjang.

"Em, aku ...." Harus kujawab apa ini? Mas Irfan kan nggak tahu kalau aku jadi penulis. Dia tahunya aku sibuk main HP karena nonton drama luar negeri.

Tok!

Tok!

"Yeni!" Terdengar ibu mengetuk pintu sambil beteriak memanggil namaku.

Pagi-pagi udah bikin kesel aja. Gumamku sebal.

Cepat kubuka pintu untuk menghentikan tangan ibu yang sedari tadi belum berhenti mengetuk.

"Ada apa, Bu? Ini masih pagi." tukasku pada ibu yang berdiri di depanku.

"Pagi apanya, Yen? Udah siang begini, lihat tuh ke luar, matahari udah hampir meninggi kamu masih aja ndekem di kamar." cebik ibu yang lagi-lagi membuat moodku rusak.

"Emangnya Ibu mau aku ngapain?" Karena bosan baku hantam dengannya. Lebih baik aku mengalah.

"Tolong Ibu sebentar ya di dapur." Ibu langsung membawaku ke dapur. Aku menurut saja.

"Biasanya 'kan Ibu paling seneng masak sendiri. Kenapa sekarang minta bantuan Yeni?" kataku sambil mencuci tangan di kran wastafel.

"Kamu tolong ulek-in bumbu ini sampai halus ya, Ibu mau baca novel sebentar." titahnya. Kugaruk pelipis yang tak gatal. Ngapain ibu baca novel? Ada-ada aja.

Tangan cekatan ibu menyambar ponselnya yang tergelak di atas meja makan.

Kuperhatikan tingkah laku ibu yang terlihat antusias sekali.

Karena penasaran, akhirnya kudekati ia yang tengah sibuk mengotak-atik aplikasi berwarna hijau berlogo pena.

Itu 'kan aplikasi tempatku menulis. Ngapain ibu pakai d******d aplikasi itu segala? Batinku penuh tanya.

"Eh, Yeni, lihat deh, ini tuh cerita favorit Ibu. Nama penulisnya Pelangi Indah dia barusan posting bab baru tadi. Jadi nggak sabar Ibu buat baca," ujar ibu bersemangat. Layar gawai itu tak hentinya diotak-atiknya.

Kuperhatikan seksama, rupanya ibu baru saja membuka kunci bab itu menggunakan gembok. Dan ... betapa menganganya aku, saat tahu isi bab terkunci itu.

Fix, dunia memang sempit. Dan, wajan yang kemarin kubeli untuk ibu. Itu sama saja pakai uangnya yang digunakan untuk membuka kunci pada novelku.

Kasihan sekali kau, Bu.

Mataku masih mengawasi setiap gerakan ibu. Kini, wanita ceria di dekatku itu asyik membaca novel tulisan anak menantunya sendiri.

Aku pun memang sengaja menggunakan nama pena dan juga foto profil bukan asliku. Takut terkenal dan banyak yang naksir nanti. Apalagi, aku memanglah semempesona ini. Siapapun pasti akan kelabakan melihat jati diriku yang sesungguhnya. Biarlah saja mereka menikmati hasil karyaku, tanpa tahu wujud asliku yang kadang memang misterius. Iya misterius, karena suka mendadak hilang pas punya hutang. Eh tapi boong.

"Yeni! Kenapa masih bengong?! Cepetan ulek tuh bumbu. Nanti keburu Mira, Irfan, dan Danu berangkat kerja," perintah ibu menyentakkan napas kasar.

Aku mendengkus sambil meliriknya dengan ekor mata. Kadang ibu emang suka nyebelin. Gumamku seraya melangkah mengerjakan titahnya untuk menghaluskan serangkaian bumbu dapur yang sudah tertata di atas cobek batu berwarna hitam.

"Iya, iya," jawabku malas.

Sedikit demi sedikit semua bumbu sudah kuhaluskan.

Aku segera mengalihkan pandang ke arah ibu. Ia masih di posisi yang sama. Masih fokus pada gawainya, bahkan sesekali ibu mengumbar tawa.

Duh, makin tua makin jadi. Tapi bagus sih, kalau ibu suka baca novel onlineku di aplikasi. Aku jadi punya pembaca militan kayak ibu yang seneng unlock gembok.

Tapi, di sisi lain, kok aku merasa bersalah ya sama ibu. Dia nggak tahu kalau sebenarnya novel yang sedang ia baca dan kagumi itu milikku.

Apa aku bilang yang sejujurnya aja ya?

Enggak, enggak, kalau aku jujur pasti ibu dan semuanya bakalan tertawa. Aku yang selama ini petakilan mendadak jadi penulis yang berpenghasilan. Kurasa … mereka tak akan percaya.

Aku sibuk bermonolog dalam hati, sambil menggeleng pelan mengargumenkan semuanya dalam benak.

"Bu, udah selesai belum baca novelnya?" tanyaku disela-sela keheningan dapur.

"Udah, Yen. Bumbunya udah jadi belum?" tanya lalu mendekat.

"Udah."

"Ya udah, sana kamu layani suamimu. Persiapkan arit sama glangsingnya." kata ibu, menyuruhku melayani mas Irfan. Glangsing itu karung. Orang sini biasa menyebutnya glangsing untuk wadah rumput pakan ternak.

"Ya elah, Bu. Biasanya juga disiapin sendiri sama mas Irfan."

"Jadi istri mbok ya yang penurut. Selama ini Irfan nyiapin sendiri kan memang dia nggak mau ngerepotin kamu," ujar ibu lalu mengambil alih cobek berisi bumbu yang ada di hadapanku.

Tak ada pilihan lain, selain mengiyakan perkataannya. Lagipula, bagus kalau aku nggak masak bareng ibu. Pasti dia nyuruh ini itu, belum lagi kalau aku dibanding-bandingin sama mantu tetangga. Sudah kubayangkan pasti hal itu sangat menjengkelkan.

"Iya Bu, Iya," cetusku sembari berbalik badan hendak ke kamar.

"Ibu …!" Sebuah teriakan mendengung di telinga. Rupanya mbak Mira tergopoh datang dengan ekspresi kegirangan.

"Ada apa Mira? Kenapa seneng banget kayaknya?" tanya ibu pada menantunya itu.

"Mira, Ibu, lihat!" Alat tes kehamilan berbentuk stik kecil itu mbak Mira tunjukan padaku. Dan … ini yang membuat hatiku berdenyut nyeri. Test pack itu menunjukan dua garis berwarna merah yang sangat jelas.

"Mira, kamu hamil?!" Mata ibu melebar. Sesekali tangannya mengatup pada mulut karena mungkin sangat terkejut dengan kehamilan mbak Mira.

"Iya, Bu. Alhamdulillah." ucap mbak Mira girang. Ia lantas mendaratkan pelukan di tubuh ibu dan mendekapnya lama.

Sedangkan aku, aku menatap kebahagiaan mereka dengan kemelut duka dalam hati. Bukan aku tak bahagia akan mendapat keponakan. Tetapi, gunjingan tetangga dan ibu yang sudah pasti akan mengusik telingaku.

Ah, rasanya aku ingin enyah saja dari sini.

"Mira, kamu istirahat aja ya, nggak usah kerja. Biar Danu aja yang kerja." cecar ibu seusai mereka menyudahi pelukan masing-masing.

"Nggak ah, Bu. Aku masih pengen kerja, hari ini aja aku izin cuti karena mau periksa ke Dokter." cetus mbak Mira.

Di sini, dengan baik aku menyimak pembicaraan hangat keduanya. Hampir saja aku ingin menyimak sambil makan pop cron.

"Ya udah, kamu istirahat aja. Biar ibu masakin makanan kesukaan kamu." titah ibu memapah mbak Mira untuk duduk.

Kuayunkan langkah hendak ke kamar.

"Yeni! Mau ke mana kamu?!" sentak ibu membuat langkahku reflek terhenti.

"Mau ngarit." ujarku sekenannya. Karena memang rencananya aku ingin ikut mas Irfan nyari rumput. Daripada di rumah, pasti banyak cemoohan yang membuat kuping panas mendingan aku nyari udara segar.

"Emang bisa ngarit?" Naik turun alis ibu seolah tak percaya pada jawabanku. "sama cacing aja takut gimana bisa ngarit." lanjutnya menorehkan decak tawa.

"Bisalah," kataku tak acuh.

"Udah lah, nggak usah ke mana-mana, mendingan bantuin Ibu masak biar cepat selesai. Kasihan tuh bayinya Mira pasti lapar." panjang kali lebar kali tinggi ibu berceloteh.

"Bukannya tadi ibu yang nyuruh aku pergi ya?"

"Itu tadi, sekarang enggak. Udah ah, jangan membantah mulu, nih kupas pete ini."

Satu keranjang pete yang barusan diambil ibu langsung di sodorkan ke arahku.

"Huek!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status