Share

2. Beda Hurufnya

BAKU HANTAM DENGAN MERTUA

Bab 2

Aku tersenyum membayangkan.

Pasti nanti mas Irfan bakalan seneng banget kalau aku ngomong itu ke dia.

*

Selepas mandi sore. Aku berdandan cantik dan bersiap untuk menunggu kepulangan belahan jiwa di seberang sana. Meskipun dia orang kampung, tapi ketampanannya mengalahkan oppa-oppa Korea. Mirip sekali dengan Kim Soo Hyun. Ah, lagi-lagi hatiku bermekaran kalau membayangkan betapa tampannya mas Irfan.

"Assalamualaikum." Lamunanku terbuyar saat terdengar ucapan salam dan terbukanya pintu kamar.

Rupanya itu mas Irfan. Tumben sekali dia pulangnya cepat. Ah iya, aku lupa, mas Irfan kan bos di kantornya sendiri. Aku menyebutnya kantor, kandang kotor. Karena memang suamiku kerjanya di peternakan sapi.

"Waalaikumsalam. Tumben pulang cepet?" tanyaku, tak lupa mencium takzim tangannya yang beraroma khas sapi.

"Tangan Mas bau kan? Karena Mas belum mandi. Kamu tumben dandan cantik begini, mau ke mana?" Mas Irfan melepas jaketnya dan duduk di tepi ranjang.

"Emangnya aku nggak boleh cantik ya? Aku dandan begini 'kan buat kamu Mas," ujarku sembari melangkah mengambil sesuatu dari meja rias.

"Boleh dong, istri Mas mah nggak usah dandan juga udah cantik."

"Nih, hadiah buat, Mas." Kuberikan kotak persegi ini padanya. "aku koyo wedhus, Mas." tambahku tersenyum lebar.

"Hah! Kamu ngomong apa tadi?" Kedua matanya melebar sempurna.

"Aku koyo wedhus. Emangnya kenapa, Mas? Apa ada yang lucu? Aku seharian ngehafalin bahasa Jawa ini loh Mas. Buat nyatain sayang ke kamu."

"Hahah … Dek, Dek, kamu belajar bahasa Jawa sama siapa?" Mas Irfan malah terbahak. Emangnya ada yang salah apa?

"Aku belajarnya sama Ibu. Kenapa Mas?"

"Dek, Dek, kamu mau aja dikibulin sama Ibu." Tak hentinya mas Irfan menyemburkan tawa.

"Dibohongin gimana, Mas?" Aku yang masih tak paham berekspresi datar.

"Adek tahu apa artinya itu?"

"Artinya aku koyo wedhus itu?" Aku bertanya balik.

"Iya."

"Taulah, artinya aku sayang kamu 'kan Mas?"

"Bukan Adek, itu artinya, kamu kayak kambing." Tak ada angin tak ada hujan. Mas Irfan malah menghinaku kayak kambing.

"Kok kamu malah ngehina aku sih, Mas?"

"Mas nggak lagi hina kamu, Dek. Memang itu arti kata yang kamu pelajari dari Ibu."

Wah sial. Ternyata aku dikerjain sama ibu. Duh, malunya setengah mati. Awas aja akan kubalas nanti ibu.

Aku nyengir kuda karena malu.

"Udah ya, Mas mau mandi dulu," pamit mas Irfan ke luar dari kamar. Karena letak kamar mandi berada di luar kamar.

*

Sepeninggal mas Irfan. Mataku menyisir ke seluruh penjuru ruang tamu. Tentu untuk mencari ibu.

Ke mana sih orang itu. Bikin jengkel aja. Bisa-bisanya dia ngerjain aku, pakai bilang kambing segala lagi. Hih! Awas aja kalau ketemu, tak bejek-bejek ntar.

Sreng!

Sreng!

Kudengar bunyi orang memasak di dapur. Pasti ibu di sana. Pikirku.

Secepat kilat kuayunkan langkah menuju dapur.

Benar saja. Wanita berusia enam puluh tahun itu sedang sibuk berkutat dengan peralatan masak.

"Hai Bu," sapaku ramah. Aku berdiri di samping ibu sembari turut menatap ikan yang tengah di goreng di wajan.

"Eh, Yeni, tumben nyusul ke dapur?" tanya ibu sesekali melirikku dengan ekor mata.

"Enggak, Bu. Aku mau ambil minum kok." tukasku lantas menuangkan air di teko ke dalam gelas.

"Oh."

"Bu, Yeni mau tanya sesuatu nih,"

"Tanya aja, Yen."

"Sebagai menantu Ibu yang lumayan lama. Ibu tuh sayang nggak sih sama aku?" cetusku menatap ibu yang sibuk mengupas bawang.

"Ya jelas sayang dong, Yen."

"Kalau Ibu sayang sama aku, berarti Ibu koyo wedhus dong." Ibu langsung terperanjat. Hingga menghentikan aktivitasnya.

Kira-kira ibu bakalan ngejawab apa ya? Rasain, emangya aku nggak bisa ngebales apa?

Ibu lantas menatapku tak berkedip.

"Kenapa, Bu? Ibu koyo wedhus 'kan? Aku juga loh, Bu. Aku tuh juga sayang banget sama Ibu." Aku tersenyum lebar mengatakan.

Ibu tak berkutik. Ia malah menyunggingkan senyum paksa. Ya, aku melihatnya senyum paksa. Lagian, mana ada orang yang mau sama kayak kambing. Rasain tuh Bu!

"Hehe, iya, Yen. Oya Yen, makan malam nanti, kamu mau Ibu masakin nasi goreng tanpa nasi 'kan?" kata ibu mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, dong, Bu. Aku tuh penasaran banget sama menu satu itu. Bisa menghemat beras ya, sesuai sama judulnya, nasi goreng tanpa nasi." Dikalimat terakhir, kutekan nada bicaraku.

"Iya, dong." jawabnya enteng. Kedua tangannya cekatan sekali membalik ikan bandeng yang hampir kering.

"Cie akrab banget. Lagi ngomongin apa?" Mas Irfan tiba-tiba muncul di belakang kami.

"Lagi ngomongin wedhus, Mas," tukasku lantas menyenggol lengan ibu. "iya 'kan, Bu?"

"Iya, Fan. Ibu sama Yeni lagi bahas wedhus," sahut ibu pada anak lelakinya.

"Oh …," tanggap mas Irfan hanya ber-oh ria.

"Kalian sana istirahat di kamar aja. Biar Ibu konsen masaknya," celetuk ibu padaku dan mas Irfan.

"Nggak mau aku bantuin masak nih, Bu?"

"Nggak usah, Ibu malah seneng masak sendiri. Berasa kayak chef profesional."

"Oke, aku pergi." Kusambar tangan mas Irfan untuk membawanya ke kamar.

Sesampainya di kamar.

"Mas, aku tuh capek deh serumah sama Ibu." Aku menghela napas gusar.

"Kenapa Dek? Bukannya kalian tuh akrab banget ya?" Kedua tangan mas Irfan menangkup wajahku.

"Ya, capek aja, Mas. Pengennya aku tuh hidup bahagia sama kamu di rumah kita sendiri."

"Aku pun pengennya juga gitu, Dek. Kita punya anak yang lucu-lucu." Napas berat mas Irfan berhembus menerpa wajahku. Dapat kulihat raut wajahnya yang terulas kecewa.

"Mas, kamu kecewa ya sama aku? Karena aku belum bisa kasih kamu anak." Mataku memanas mengatakan hal itu. Serasa setitik bulir air meluncur dari pelupuk mataku.

"Kenapa nangis, Dek?" Usapan lembut menyeka pipi ini. "Mas nggak kecewa kok sama kamu, mungkin Allah belum percaya sama kita. Kamu sabar ya,"

"Tapi, Mas ...."

"Dek, dengerin, Mas. Mas tuh sekarang aja udah bahagia sama kamu. Jadi, jangan mikir yang aneh-aneh lagi ya. Kita usaha, kita berdoa, supaya Allah segera memberikan kita keturunan." jelas lelaki di depanku membuat tubuh ini tercelos dan bersandar di dada bidangnya.

Aku tak dapat berkata apa-apa. Memang benar selama ini aku memiliki sifat yang riang dan suka bercanda. Tetapi, kadangkala saat sendiri aku begitu rapuh.

*

Makan malam pun tiba. Kini, semua anggota keluarga ibu sudah berkumpul di meja makan. Ada mbak Mira dan suaminya, Ibu, dan juga aku sama mas Irfan.

Aku dan mbak Mira sama-sama belum punya anak. Namun, usia pernikahanku lebih tua dari mbak Mira. Karena memang mas Irfan menikah lebih dulu dari pada kakak lelakinya.

"Yeni sini," Ibu memanggilku. Baru saja kudaratkan bokong ini. Ia sudah bikin ulah. Nggak bisa apa, lihat mantunya yang cantik jelita ini santai sebentar.

"Ya, Bu. Apa?" jawabku seraya menghampirinya yang masih berdiri di dekat kompor.

"Ini nih, nasi goreng spesial buat kamu."

Aku langsung menatap ke arah wajan.

"Katanya nasi goreng tanpa nasi. Tapi itu, kenapa pakai nasi?" Dahiku mengernyit. Pasalnya memang benar kalau nasi goreng itu pakai nasi.

"Itu bukan pakai nasi. Tapi pakai sego." Ibu tertawa cekikikan.

Halah, emangnya aku nggak tahu apa itu sego. Sego itu artinya nasi. Karena aku sering beli sego gudeg. Jadi aku tahu apa artinya sego.

"Sego sama nasi sama ajalah Bu," protesku.

"Bedalah."

"Apa bedanya?"

"Beda hurufnya." Aku langsung mendelik menatap ibu. Wah, ngajak perang nih orang gegara wedhus tadi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status