Share

4. Kentut Ibu

BAKU HANTAM DENGAN MERTUA

Bab 4

"Huek!"

Hampir saja aku muntah, bukan karena bau pete yang barusan aku terima. Namun, bau ini agak lain. Mirip bau bangkai yang membuat aku bergidik sembari menahan guncangan dalam perut.

"Yeni kamu kenapa?" tanya ibu was-was.

"Ibu kentut ya?" cetusku to the point. Tak lupa, kujepit ujung hidungku dengan kedua jari.

"Ih iya, bau banget lagi." Mbak Mira yang duduk di sana pun turut mencium aroma khas gas oksigen yang baru keluar dari sarangnya tersebut.

Ibu meringis. "duh, maaf ya, Ibu kelepasan," ujarnya tanpa sungkan.

Padahal, aku sama mbak Mira tuh menantu ibu. Tapi, dia biasa begini. Suka buang angin sembarangan. Ibu sih lega, udah kehilangan kentut itu. Lah kita yang nemu, pasti nggak mungkin menganggap itu rezeki nomplok. Tentu aku hanya membatin. Mana berani aku nyeletuk kayak gitu. Ya, meskipun aku menantu yang kadang suka dibilang kurang waras. Tapi setidaknya aku masih punya etika kesopanan, dan kekurangajaran. Hanya sedikit.

"Aku ke kamar dulu ya, mau nyiapin baju Mas Danu ke kantor." Mbak Mira berpamitan.

Kini, hanya aku sendiri yang menikmati betapa nikmatnya aroma kentut ibu yang sedari tadi tak mau enyah dari rongga udara yang kuhirup.

"Bau banget sih Bu, kentutnya!" Aku berdecak kesal. Satu tanganku kugunakan untuk mengibas-ngibaskan udara di depan wajah. Karena satu tanganku lagi memegang keranjang pete.

"Yang namanya kentut ya bau, Yen. Kalau wangi mah udah kamu jadiin aroma terapi pasti." Bukannya ibu lekas menyadari kesalahannya. Ia malah melemparkan candaan padaku. Duh Gusti! Nasib apa aku punya mertua kayak dia.

"Ibu sih, kebanyakan makan pete. Pagi pete, siang pete, malam pete, makan bakso sama mie aja pake pete juga. Apa nggak konslet tuh perut?" Nada bicaraku masih meninggi. Kedua alis ini pun masih saling bertaut rapat.

"Biasa aja dong Yen ngomongnya. Nggak usah ngegas gitu ah," kelakarnya mencoba merayuku agar lekas menurunkan emosi.

"Udah ah, Bu! Aku nggak mau kupas pete ini. Kalau mau, Ibu masak aja sama kulitnya." Kuletakkan kembali keranjang ini di meja kompor.

"Yen, jangan gitu dong. Mau jadi mantu durhaka kamu?" cetus ibu membuat suasana hatiku semakin buruk.

"Apaan sih, Bu. Pakai bilang mantu durhaka? Selama ini aku tuh selalu patuh ya sama Ibu. Termasuk cabutin tuh uban Ibu satu persatu." Bibirku masih maju layaknya ikan julung-julung.

"Kepatuhan gitu aja udah dihitung. Gimana kalau misalkan kamu cabutin bulu ketek Ibu, kamu hitung juga?" balas ibu tanpa jeda.

"Iya, Bu, iya. Sini, aku kupas semua petenya sekalian sama keranjangnya juga!" Gigi ini reflek berderit karena gemas.

Kuambil kembali keranjang pete itu lalu membawanya ke meja makan.

Pete aja aku nggak doyan. Kalau bagian ngupas selalu saja aku yang disuruh. Mentang-mentang aku nggak kerja dan di rumah aja.

Kesel! Kesel! Pokoknya kesel! Andai aja dapat bantuan rumah geratis dari pemerintah pun aku mau. Nggak perlu mewah asalkan ada kolam renangnya, dan ada garasi mobilnya. Itu saja sudah cukup bagiku.

Ah, dan hal itu tak akan terjadi. Kecuali dalam bentuk halusinasiku saja.

Beberapa saat kemudian ….

Semua pete sudah kukupas dengan sempurna. Tinggal menyerahkannya pada ibu yang sejak tadi sibuk bergulat dengan alat masak.

"Bu, ini petenya udah selesai," kataku sambil bangkit hendak menyerahkan sebaskom pete tanpa kulit.

"Taro kulkas aja, Yen. Ibu nggak jadi masak itu. Itu buat besok aja," jawabnya enteng tanpa melihat ke arahku yang hampir saja membuat pete ini melayang ke wajahnya.

Sabar Yen, sabar … kuusap pelan dadaku sembari beristighfar.

Mas Irfan datang ditengah hatiku sedang berkemelut menahan kesal.

Lelaki berkaos oblong itu bersiap pergi ke peternakan. Dan di belakangnya nampak mas Danu juga sudah bersiap hendak pergi ke kantor.

Dua kakak beradik itu berbeda sekali. Yang satu tampan namun jadi tukang ngarit. Dan yang satunya biasa saja dengan gigi maju beberapa senti, namun ia memiliki nasib baik dan bekerja di kantor.

Beginikah hidup? Selalu seimbang.

Tergantung pilihan. Pilih tampan tapi kerja pas-pasan. Atau pilih kerja mapan tapi muka yang pas-pasan. Kalau masalah duit jangan ditanya, jelaslah banyak uangnya mas Irfan. Asal ia mau menjual semua sapi sama sekandang-kandangnya sekalian.

Fix, setelah ini aku bakalan ikut mas Irfan ngarit. Daripada di rumah sama ibu hanya makan hati.

***

"Kalian sarapan dulu ya, aku mau ke kamar ganti baju." Aku berpamitan pada ibu, mas Irfan, juga mas Danu. Mereka bertiga sudah duduk di meja makan sambil menyantap masakan yang dihidangkan oleh ibu.

"Mau ke mana Yen, pakai ganti baju segala?" Ibu nyeletuk.

"Aku mau ikut mas Irfan ngarit Bu," tukasku.

"Kamu yakin mau ikut nyari rumput? Sama belalang aja takut." Kini, mas Danu menimpali seraya menyemburkan tawa.

Memang benar yang dikatakan mas Danu. Bahwa aku memang takut pada belalang, cacing, dan hewan lainnya.

Ah, hidup lama di kota membuat hidupku berubah drastis. Aku sebenarnya asli orang kampung sini. Bahkan rumahku dengan rumah mas Irfan dulu hanya beda RT saja. Tapi, karena kedua orang tuaku membawaku merantau juga menetap di kota metropolitan. Membuat aku lupa semua masa-masa kecilku di kampung ini dulu. Termasuk soal bahasa Jawa, aku juga tak bisa sama sekali.

"Yakinlah," sahutku pada mas Danu.

Lelaki yang sedang sibuk menyantap makanan itu sesekali meririkku dengan mata bulatnya. Sebenarnya aku agak risih serumah sama dia, tapi ya … mau bagaimana lagi, aku tak punya pilihan lain.

"Yeni, kamu kapan hamil? Mbakmu udah mau punya anak tuh," seketika, aku langsung menatap mas Danu yang juga menatapku.

"Aku …." Aku bahkan tak sanggup untuk menjawab.

"Aku sama Yeni emang belum pengen punya anak kok, Mas. Kita lagi menikmati masa muda. Iya kan, Yen?" Mas Irfan menimpali. Kedua netra indah itu menatapku lama.

"Oh, gitu." Suami mbak Mira ini tak lagi nyerocos lagi.

Kutinggalkan mereka ke kamar untuk ganti baju.

***

"Kalian mau ke mana?"

Aku dan mas Irfan lantas menoleh. Seusai mendengar mbak Mira bertanya. Wanita itu sedang duduk santai di depan TV saat aku dan suamiku melintas.

"Mau ngarit, Mbak," jawabku. Sedangkan mas Irfan tetap melangkah ke luar rumah.

"Kamu mau ikut Irfan cari rumput?" ucapnya bernada tak percaya.

"Iya, Mbak."

"Oh, ya udah ya, tapi nanti pulangnya jangan siang-siang."

"Kenapa, Mbak?"

"Nanti anterin Mbak ke Dokter ya, buat periksa."

"Hah, aku?!" Alisku bertaut. "kenapa harus aku, Mbak? Kenapa nggak sama Mas Danu aja?" Jujur aku malas untuk bepergian ke rumah sakit. Apalagi kalau harus antri lama. Membuang waktuku saja, mendingan 'kan aku nulis, dapat cuan.

"Mas Danu kan harus kerja Yen." jawab mbak Mira terlihat menghela napas.

"Sama Ibu aja, Mbak," saranku.

"Ibu bilang kepalanya mendadak pusing. Udah ya, sama kamu aja. Masa kamu nggak mau anterin calon keponakanmu ini Yen?" Perut mbak Mira yang masih datar pun dielusnya berulang kali.

"Iya, Mbak. Nanti aku pulangnya nggak kesiangan."

"Makasih ya, Yen. Kamu memang adik ipar Mbak yang paling cantik dan baik," pujinya berekspresi kegirangan.

"Halah, ngerayu nih," Kubalas ia dengan tersenyum lebar. "udah ya, Mbak. Aku berangkat dulu. Keburu ngambek nanti mas Irfan karena kelamaan ngobrolnya."

"Hati-hati Yen, jangan lupa nyari rumput yang banyak."

Mbak Mira melambaikan tangannya. Aku pun segera beringsut dan menyusul mas Irfan. Lelaki berkumis tipis nan manis itu menunggu di teras depan.

"Lama ya? Maaf," ujarku menepuk pelan pundaknya.

"Udah biasa," sahutnya bermuka datar.

"Aku kira kamu bakalan marah, Mas?" Aku meringis dan menoel dagunya gemas.

"Bakal panjang urusan mah kalau aku marah," katanya memulaskan senyum manis.

"Hehe iya, Mas. Yuk berangkat, keburu siang."

Sepanjang jalan, kedua mata ini disuguhkan pemandangan yang indah. Padi-padi yang tengah merindukan dan menguning, pertanda sebentar lagi panen tiba.

Kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Sejuk sekali. Aku lebih suka hidup di perkampungan begini dari pada di kota. Lebih ayem saja, meski kadang makan hati. Ah, sudahlah, tak perlu pusing memikirkan permasalahan orang rumah. Yang penting aku sekarang menikmati pemandangan luar biasa ini.

"Dek, kamu tunggu di gubuk aja ya, Mas nyari rumput di sebelah sana." Ketika kami sampai di sebuah gubuk beratap ilalang. Mas Irfan memintaku untuk menunggu di gubuk ini. Sedangkan ia akan menyari rumput di area lapang dekat kebun singkong.

"Kita foto dulu yuk, Mas." Kuambil gawai yang kusimpan di saku celana.

"Nggak ah, Dek. Malu," tolaknya pelan. Jemari mas Irfan bergerak menuju wajahku.

Ia menyelipkan anak rambut yang menghalang di wajahku.

"Ih, so sweat …," cecarku memandangi setiap inci wajahnya yang dekat dengan wajahku.

"Kalau ikat rambut yang bener. Pasti tadi kamu nggak sisiran dulu 'kan?" Perlahan, ia mulai menarik ikat rambutku yang memang kudapatkan dari karet gelang bekas sayur kangkung kemarin.

"Kamu kok tahu sih, Mas?" Memang benar yang dikatakannya. Aku tak menyisir rambut terlebih dulu.

"Sini duduk, Mas benerin dulu." Aku dan pasangan halalku ini lantas duduk di gubuk yang alasnya terbuat dari bambu.

Romantis sekali, mas Irfan mengikat rambutku dengan penuh kelembutan. Sedangkan hatiku … hatiku sibuk mengaguminya dalam diam.

Kurasa, ada sesuatu yang menjalar merambat di kakiku. Apa ini? Kenapa geli sekali?

Cepat kutundukan wajah dan menatap sesuatu di sana.

"Aaaaa!" jeritku sekuat tenaga. Secepat kilat aku naik ke pangkuan mas Irfan. Hingga kedua pasang mata kami bersirobok saling menatap lama.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status