Share

BAYI YANG KUBAWA PULANG
BAYI YANG KUBAWA PULANG
Penulis: Putri putri

PULANG MERANTAU BAWA BAYI

“Dasar perempuan bia-d@b! Jadi ini alasan kamu tak pernah pulang?” Pak Sarip menampar keras wajah Zahra—anak bungsunya.

“Ma-Maaf, Pak. Zahra bisa jelasin semuanya?” Zahra terus mendekap bayi berumur empat bulan dalam gendongannya.

“Jelasin apa, hah? Jelasin kalo kamu hamil tapi enggak menikah? Katakan siapa Ayah dari bayi ini? Biar Bapak patahkan tulang-tulang lelaki itu!” Suara Pak Sarip terdengar menggelegar. Para tetangga kanan kiri rumah yang mendengar pun akhirnya berdatangan.

“Sabar, Pak! Kita bisa bicara baik-baik. Kasihan Zahra, Pak. Dia pasti capek setelah perjalanan jauh.” Bu Sumi—istri Pak Sarip berusaha menenangkan suaminya.

“Gimana mau sabar, Bu? Pulang merantau bukannya membanggakan orang tua malah bikin malu!”

Bu Sumi menggiring anaknya ke dalam kamar sebelum suaminya bertindak lebih jauh.

Belum genap dua tahun Zahra pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib di ibukota. Faktor ekonomi menjadi alasan bagi gadis yang saat itu baru lulus SMA agar bisa segera mengubah nasib keluarganya. Apalagi melihat Andini—kakak kandungnya yang lebih dulu sukses, niat Zahra semakin tak terbendung meski berulang kali Ibunya melarangnya pergi.

Tapi ternyata semua tak seperti harapan. Bukannya pulang membawa segepok u@ng untuk merenovasi rumah atau membeli sawah. Zahra malah membawa bayi merah yang entah anak siapa. Sontak hal itu membuat Pak Sarip sangat syok dan tak terima akan nasib anak bungsunya. Lelaki itu benar-benar merasa gagal sebagai orang tua karena tak bisa menjaga anak gadisnya.

**

Di luar rumah, desas-desus kepulangan Zahra yang membawa bayi pun langsung tersebar seantero kampung. Zahra yang terkenal cantik, sopan dan alim akhirnya menjadi bahan hujatan siapa saja yang mendengarnya.

“Enggak nyangka ternyata Zahra berubah jadi cewek murahan. Pasti di kota dia kerja yang enggak-enggak,” cibir Bu Seli—wanita biang gosip di kampung.

“Enggak boleh suuzon gitu Bu Seli, siapa tahu Zahra di salahi sama orang di kota. Tahu sendiri kan, gimana gawatnya keadaan Ibukota sekarang?” timpal Bu Rahayu sang Ibu RT.

“Halah, kalo dia di salahi pasti udah pulang sejak dulu enggak nunggu lahir sampe segede itu. Itu pasti anak hasil hubungan gelap dan lakinya sekarang minggat dan dia enggak tahu mau kemana.” Bu Seli menerocos sembari mengunyah dadar gulung di mulutnya.

Segerombol ibu-ibu yang mengelilingi tukang sayur itu hanya mengangguk saja. Mereka tahu tak mungkin menang jika berbicara dengan Bu Seli. Tak hanya biang gosip, wanita itu juga istri juragan Romli, pengusaha padi dan beras tersukses di kampungnya.

“Masih mendingan Andini, biar dia centil, bajunya seksi tapi kelakuannya bener. Nyatanya dia udah bisa beli sawah dan bantuin bangun dapur rumahnya Bu Sumi.” Bu Seli mengganti topik pembicaraan.

“Namanya juga nasib, Bu. Mana ada yang tahu.”

“Kalo emang enggak ada Bapaknya, kan bisa digugurin aja. Kalo enggak kasih aja sama pasangan yang belum punya anak dari pada bikin malu kayak gitu.”

“Ibu-Ibu, aku permisi dulu, ya. Suamiku udah kelaperan di rumah soalnya.” Bu Rahayu memotong pembicaraan dan diikuti ibu-ibu yang lain. Mereka tahu jika sudah berurusan sama Bu Seli, kasus apa pun di kampung ini enggak akan ada habisnya. Semua akan digoreng bolak-balik sampai gosong ke akar-akarnya.

Memang omongan Bu Seli tak sepenuhnya salah. Andini, anak sulung Pak Sarip memang terkenal berhasil di tanah rantau. Wanita yang selalu berpakaian modis bak artis ibukota saat pulang kampung itu sedikit demi sedikit sudah bisa mengubah nasib keluarganya. Dua petak sawah seharga ratusan juta sudah berhasil ia beli, dua ekor sapi serta sebuah sepeda motor yang ia beli secara cash juga cukup menunjukkan keberhasilan seorang berijazah SMP yang katanya hanya bekerja di toko roti.

Tapi sayang sekali keberhasilan itu tak berpihak pada Zahra. Meski tingkatan pendidikan gadis itu lebih tinggi dari pada Andini, nyatanya Zahra malah tak menghasilkan apa-apa dan malah memberikan rasa malu pada keluarganya.

**

“Sebenarnya siapa yang sudah membuatmu seperti ini, Nak?” Bu Sumi mendekati Zahra yang tengah menidurkan anaknya.

“Bukan siapa-siapa, Bu. Suatu saat nanti aku pasti cerita setelah Ayah bayi ini bisa aku temui,” jawab Zahra santai sembari terus memegang botol susu yang sedang dilahap bayi mungil yang terbaring di ranjangnya.

“Kenapa enggak cerita sekarang aja, biar Ibu merasa tenang.”

“Aku enggak punya bukti apa pun, Bu. Kalo pun aku cerita yang sebenarnya, aku yakin Ibu dan Bapak enggak akan percaya.”

“Tapi kami butuh kejelasan, Nduk. Tetangga mau bilang apa nanti kalo asal usul anak ini enggak jelas!” Bu Sumi terus mendesak.

“Maaf, Bu. Tapi untuk sementara waktu, hanya di sinu tempat paling aman untuk bayi ini.”

“Kamu semakin bikin Ibu bingung. Sebenarnya dia anak siapa? Anak kamu atau bukan?” Suara Bu Sumi meninggi. Ia benar-benar tak rela jika anaknya harus menanggung rasa malu atas kehadiran bayi ini tanpa seorang lelaki yang mau bertanggung jawab. Ia tak masalah jika harus menerima kenyataan jika anaknya sudah rusak namun ia pun harus tahu siapa yang telah tega menghamili anaknya dan meninggalkannya begitu saja.

Zahra menatap nanar pada bayi yang kini sudah terlelap di hadapannya. Ia memberi nama Amora, nama yang tercetus begitu saja di kepalanya yang hingga saat ini hanya ia yang tahu. Tanpa syukuran tanpa selamatan, nama itu tersemat begitu saja pada bayi yang kini sudah mulai belajar tengkurap itu.

“Beri aku waktu beberapa bulan untuk tinggal di sini, Bu, sampai orang yang bisa menjelaskan siapa bayi ini datang.” Zahra memohon.

“Tapi sampai kapan, Nak? Aku takut Bapakmu kalap dan tak sengaja menyakitimu atau anak ini nantinya.”

“Bagini saja, Bu. Kalo sampai akhir tahun ini, orang itu tak kunjung datang, Bapak dan Ibu boleh mengusirku dari sini.”

“Kami tak mungkin mengusirmu, Nak. Kami hanya butuh kejelasan!”

Zahra menghela nafas berat, andai saja punya pilihan lain, tentu ia lebih memilih tak pulang dan menyelesaikan masalah tanpa melibatkan orang tuanya. Namun semua sudah terlambat, kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak bisa berpikir jernih sehingga memutuskan untuk pulang.

Baru saja ingin beranjak, Zahra terperanjat saat ponsel di sampingnya berbunyi tanda sebuah pesan masuk. Dengan cepat ia menyambar ponsel itu dan segera membukanya.

[Kembalikan anakku!]

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status