[Bersiaplah esok aku akan datang]Zahra melempar ponselnya kasar, andai saja tak ingat jika benda itu berharga jutaan tentu sudah sejak lama ia hancurkan berkeping-keping.[Besok kita mulai persiapan pernikahan kita]“Arghh ... sialan kau David!” pekik Zahra.Sudah tiga hari ini lelaki itu meneror Zahra. Bukan tanpa sebab, itu semua karena Zahra sengaja memblokir nomornya.Sudah seminggu ini Zahra memutuskan untuk tak memegang Mora. Ia sudah merelakan sepenuhnya anak itu pada Andin meski setiap hari Bu Sumilah yang mengasuhnya. Setiap mendengar Mora menangis terkadang ia pun ikut menangis, tapi sekali lagi ia sudah bertekad merelakan Mora. Entah bagaimana nasib anak itu ke depannya, ia hanya bisa pasrah.[Setelah hasil tes itu keluar, kita akan langsung menikah. Aku sudah mempersiapkan semuanya]Lagi-lagi Zahra dibuat geram oleh pesan-pesan yang dikirimkan beberapa nomor baru ke ponselnya. Berkali-kali di blokir nyatanya
“Eh, Zahra, sebenarnya yang ibu kandung bayi itu kamu apa Andin? Kok jadi enggak jelas begini? Dulu Andin enggak terima waktu kamu bilang itu anak dia, sekarang malah ngaku-ngaku.”Zahra yang baru saja pulang langsung dicegat oleh segerombolan ibu-ibu berseragam yang baru saja senam di lapangan voli.“Ibu-ibu kepo, deh! Permisi minggir dulu, aku mau lewat.” Zahra membunyikan klakson motornya.“Jawab dulu, Ra. Jangan bikin kami penasaran. Tahu enggak? Bu Seli sampe meriyang mikirin kasus keluargamu.”“Lah kok?”Zahra menyapukan pandangan pada lebih dari sepuluh Ibu-ibu yang rata-rata bermake up menor tapi luntur karena berkeringat. Saking viralnya kasus yang menimpanya, hingga ia bak artis yang selalu dibuntuti paparazi. Bahkan rumah Uwak Ipah yang berada persis disebelah barat rumahnya menjadi pos pemantauan terpadu untuk mengawasi setiap gerak-gerik orang-orang yang ada di rumah Pak Sarip.“Dia anak Mbak Andin, Ibu-ibu. Udah ya aku mau pulang dulu.” Zahra kembali menarik gas motornya
Zahra menatap gambar bayi di ponselnya. Sudah dua jam ia duduk terdiam di dalam kereta yang membawanya pergi dari kota kelahirannya.“Jangan bilang siapa-siapa, La. Kalo Ibu dan Bapak tanya, bilang aja kamu enggak tahu,” ujar Zahra pada sahabatnya pagi tadi.“Kamu yakin akan pergi? Bagaimana dengan Mora nantinya?”“Ada ibu yang merawatnya. Aku sudah mencatat semua hal yang biasa aku lakukan saat mengasuh Mora. Aku juga udah ninggalin ATM yang biasa aku gunakan untuk menerima uang dari Mas David.”Semalaman berpikir, subuh tadi Zahra terpaksa pergi meninggalkan rumah. Pembicaraannya tempo hari membuatnya takut jika David akan memanipulasi hasil tes DNA miliknya juga Andin. Zahra yang tak mau menjadi orang ketiga di antara Andin dan David akhirnya mengambil jalan pintas untuk pergi diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun.Zahra menatap deretan bangku yang sebagian kosong. Hanya ada beberapa orang yang duduk terpisah yang semuanya sibuk dengan ponsel atau tidur berbaring karena banyak ku
Sudah hampir sebulan berlalu sejak Zahra pergi meninggalkan rumah. Selama itu ia berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Uang tabungan dan uang hasil menjual perhiasan yang ia bawa sudah mulai menipis dan mungkin hanya cukup untuk menutup biaya makan sekitar satu minggu ke depan. Selama bekerja memang gaji Zahra bisa dibilang utuh karena biaya hidupnya ditanggung oleh Andin. Tapi gadis itu juga tak bisa menabung banyak karena gajinya yang hanya setara UMR biasa ia gunakan untuk bensin, jajan, beli skincare, baju yang tak mungkin ia minta pada Andin. Setiap bulan ia juga selalu menyisihkan untuk dikirim pada kedua orang tuanya di kampung. Selama mengasuh Mora, mau tak mau tabungan itu mulai terpakai karena ia tak lagi bekerja. Alhasil, kini semuanya hampir habis tak bersisa. Untung saja mulai besok ia sudah bisa aktif bekerja di sebuah restoran yang menerimanya sebagai karyawan beberapa hari yang lalu.“Ada kabar apa?” tanya Zahra dari balik
“Ini nih biang keroknya, udah bawa pulang bayi, giliran mau dinikahin malah kabur! Mau kamu sebenarnya, hah?”Baru saja tiba di rumah sakit, Zahra langsung dicecar oleh Pak Sarip. Untung Mora dirawat di ruang VIP jadi tak ada pasien lain di sana.“Lihat! Kalo bukan gara-gara kamu, ibumu tak perlu kerepotan kayak gini! Puas kamu bikin orang tua capek? Anak dibesarin bukannya ngringanin benan malah nambah beban!”“Diam, Pak! Ini rumah sakit. Kalo mau marah-marah mending bapak pulang!” sahut Bu Sumi.“Aku lagi bilangin Zahra, Bu.”Zahra memilih tak menanggapi perdebatan kedua orang tuanya, ia langsung melangkah menuju ranjang tempat Mora tertidur.Baru sebulan tak bertemu, Zahra sudah merasa ada yang berbeda dengan Mora. Tak seperti saat terakhir kali ia lihat, tubuh bayi itu terlihat lebih kecil dan sayu.“Terima kasih sudah mau pulang, Nak. Ibu enggak tahu harus bagaimana kalo kamu enggak pulang. Lihat Mora nangis sampai
“Kamu bohong, kan Mas? Itu semua enggak benar, kan?” tanya Zahra dengan suara bergetar.David menggeleng.“Mbak Andin enggak mungkin kayak gitu!”“Aku bertemu dengan Andin di sebuah club malam.”“Pasti kamu yang goda dia, bukan Mbak Andin yang goda kamu!” Tangan Zahra menunjuk wajah David.“Terserah kamu mau percaya atau tidak, yang jelas selama kami menjalin hubungan aku yang memintanya berhenti bekerja di sana. Aku cukupi semua kebutuhannya termasuk uang yang selalu ia kirimkan pada kalian.”Zahra bergeming, ia memang sudah curiga sejak lama pada pekerjaan Andin, mana mungkin seseorang yang hanya bekerja di toko roti bisa mendapatkan uang begitu banyak setiap bulannya. Belum lagi dengan gaya hidupnya yang serba wah, tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit. “Jangan selalu merasa tak enak, dia saja tak pernah memikirkan perasaanmu. Wanita seperti Andin itu hanya butuh uang dalam hidu
Zahra mematung saat melihat rumah yang berdiri megah di hadapannya. Rumah dua lantai bercat putih dengan dua pilar besar di depannya terlihat begitu besar dan mewah persis dengan rumah yang sering ia lihat di televisi.“Ayo masuk!” David menarik tangan Zahra.“Ini rumah kamu?” “Bukan, ini rumah kita.”“Ki-kita?” Zahra menunjuk dirinya.“Iya, kita. Rumahku juga rumahmu.”Zahra masih bergeming, ia sedang menerka-nerka berapa banyak kekayaan David saat ini. “Wah, yang ditunggu sudah datang!”Baru saja berjalan beberapa langkah, Zahra dikejutkan oleh kemunculan wanita yang ia taksir berusia empat puluhan. Wanita berkulit sawo matang dengan rambut yang diikat tinggi itu tersenyum ramah lalu mengambil alih koper dan tas yang dibawa David.“Wah, ini anak Mas bos? Wah, cantiknya! Persis Mas Bos,” ujar wanita itu menoel pipi gembul Mora.“Namanya Amora
David melepas pegangan tangganya dan berjalan mendekati tumpukan tiga kardus besar di sudut ruangan. Lelaki itu memindahkan satu per satu kardus tersebut dan membuka kardus paling besar yang paling bawah. Dari sana, lelaki itu mengeluarkan benda berbentuk kayu berlapis kaca dengan berbagai ukuran.Zahra yang mulai penasaran akhirnya berjalan mendekat. Ia meraih satu foto berukuran 10R dan memperhatikan gambar di dalamnya. Belum puas, Zahra berjongkok dan menjajar sekitar lima bingkai foto dengan gambar sama namun berbeda gaya.“Ini mantan istrimu?” tanya Zahra.“Ya, ini foto pernikahan kami sekaligus foto yang kami punya selama delapan tahun pernikahan kami.”Zahra terdiam, ia masih fokus memperhatikan wajah wanita cantik berkulit putih dan bermata sipit serta lelaki berambut cepak yang ia yakini sebagai David. “Kenapa wajah kalian terlihat murung? Senyumnya juga terkesan memaksa?” Zahra menunjuk lekuk bibir di g