Share

8. Mungkin Karena Ini

Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat.

Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai.

"Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik.

"Akut... (Takut)"

"Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai.

"No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar.

"Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?"  Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan.

"Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama papa uga, jadi ndak takut, (Disana tuh Bara naik sama banyam teman papa juga sama papa, jadi nggak takut.)!" Balasnya bercerita. Aku beroh-ria mulai paham situasi Bara.

Apa ini ada hubungan dari masa lalu Bara? Dia takut naik lift yang kosong dan hanya berdua. Apa pernah terjadi sesuatu sebelum menjadi little.

"Tidak ada kabar apapun mengenai Bara saat ditemukan dulu. Kami hanya bisa mengorek informasi seputar profil Bara, tapi tidak latar belakang anak ini."

Itu adalah penjelasan Suster Dara saat aku meminta penjelasan mengenai latar belakang Bara satu bulan yang lalu. Yang aku dapatkan dari pencarian diam-diam saat itu adalah nama Bara, umur asli dan little, waktu ditemukan, sisanya adalah kepingan tentang Bara yang Suster Dara dapatkan selama merawat Bara.

Tapi untuk takut lift ini, aku belum pernah tahu. Bahkan mungkin Suster Dara tidak tahu juga.

Kami akhirnya naik juga dari eskalator. Dan kini kami sudah ada di lantai 4. Lantai dimana para mainan bersemayam menunggu ithikad baik pembeli.

"Bara, buka matanya dong! Lihat tuh, ada banyak mainan!" Ajakku antusias. Ia nampak menggeleng.

"Kenapa?"

"Akut! (Takut!)" Lirihnya. Aku menghela nafas. Perlahan tanganku mencoba melepaskan diri dari genggamannya. Bukan melepaskan tangan untuk meninggalkannya, aku hanya melepas untuk berpindah posisi saja. Kini tangnku berada di pundaknya untuk memberi kekuatan tersendiri.

“Ayo dong, masa masih takut. Percuma kesini!” Ujarku pura-pura kesal. Tapi sebenarnya aku juga kesal sih. Jarak mall dan rumah itu jauh, jadi sia-sia jika dia tetap melanjutkan dramanya.

Ia sedikit berjengkit kaget, sepertinya niatanku menakutinya mulai berhasil. Ayo lanjutkan sampai ia membuka matanya. Dan dengan ragu-ragu ia membuka matanya. Perlahan ia melihat ke arah kios.

Ajaib! Pandangan takut-takutnya berubah seketika. Matanya berbinar dan memberi kesan takjub yang sudah jelas ia arahkan ke apa.

“Bagus, kan?” Tanyaku meyakinkan. Ia tak menjawab, hanya mengangguk. Berhasil!

“Cobalah dan buang rasa takut, maka kamu bisa melihat keindahan!” Kataku sembari menasihatinya. Ia hanya tersenyum kecil lantas berlari penuh kepenasaran pada benda-benda yang ada di depan. Tentu aku tak melarangnya. Aku hanya mengekor di belakang sambil mengawasi. Layaknya anak-anak pada umumnya, ia melihat mainan dan menanyakannya padaku tentang mainan itu. Kios ini tak terlalu ramai, hanya ada beberapa pembeli dan penjaga kios yang sesekali melihat tingkah Bara yang di rasa aneh.

Memang aneh sih jika kita hanya melihat dari covernya.

“Mbak, pacarnya kenapa?”

SETAN! Kaget aku.

Tiba-tiba saja ada sebuah suara yang tanpa izin menyapaku, menanyakanku sesuatu yang bagiku kurang etis. Mungkin dia penasaran, tapi ayolah! Jangan di depan anaknya langsung!

Kadang orang memang tak tahu sikon kalau mau menyeletuk.

Dan apa tadi dia bilang? Pacar? Ini matanya yang rabun, atau memang aku yang terlihat muda dan seumuran Bara?

“Oh, nggak papa. Dia memang suka bertingkah imut kok!”

Hehe, maaf ya tapi menjelaskan tentang kondisi Bara padanya hanya membuang waktu dan tenagaku untuk meladeni. Aku sedang tidak ingiin berceloteh panjang

kali lebar!

Orang yang tadi menanyaiku hanya mengangguk ber-oh ria. Haish, dasar orang!

Aku pun beranjak menyebelahi Bara yang sibuk melihat mainan bus biru yang saat ku lihat pada bungkusnya memiliki banyak fitur dan keunggulan. Bisa berjalan dan bersuara karena dilengkapi baterai, lalu bisa menyalakan pada bagiam lampu bahkan berkedip bak bus sungguhan. Katanya jika berada di kegelapan, lampu bus yang ada di dalam juga  akan menyala, mirip bus modern di malam hari.

“Kamu mau ini?”

“Oleh? (Boleh?)” Tanyanya yang langsung ku sanggupi.

“Ih, kenapa om main mainan anak-anak?” Tiba-tiba seorang bocah berdecih di bawah sana. Aku dan Bara ttentu terkejut sekaligus tersinggung. Apalagi Bara yang pasti merasa lebih muda dari anak itu tapi malah dipanggil “om”.

“Ala bukan om-om!” Serunya menegaskan. Wah, sepertinya akan ada perdebatan anak-anak sungguhan dan yang menyerupai.

“Terus apa? Kakak?” Si Anak tadi belum mau mengalah.

“Kakak? Kamu yang kakak!” Anak tadi terlihat kebingungan. Ia menggaruk rambutnya yang tak gatal sambil ber-hah ria. Aku dibuat terkekeh sendiri dengan tingkah keduanya.

Masih ku pantau saja aksi kedua bocah ini. Si Anak tadi terlihat masih mencerna perkataan Bara, dan Bara kembali sibuk memilih warna bus. Namun itu tak berlangsung lama, anak itu keburu pusing dan pergi.

“Nggak jelas, ih!” Cicitnya di tengah jalan.

Wah anak siapa ini? Entah kenapa rasanya ini bocah bakal jadi bibit-bibit pembully, ya? Mana sih orang tuanya?!

Aku terus memperhatikan langkah kaki anak itu pergi sambil memendam geram. Sayang, semua itu berubah saat Bara bertanya sesuatu.

“Kok kakak itu bilang Ala nggak jelas, sih?” Tanyanya dengan raut sedih. Ia terlihat merunduk dengan mata sendu dan jemari yang sok sibuk pada mainannya.

Baru, baru kali ini aku melihat Bara nampak sedih begini. Padahal anak itu hanya becicit tak jelas, namun entah mengapa cicitan itu bagai pisau yang menggores lapisan tipis selaput. Aku yang bukan objek perkataan anak itu saja bisa merasakan goresan itu, bagaimana dengan Bara yang pasti jarang mendengar hal seperti ini?

Padahal ia hanyalah bocah berusia dibawah 10 tahun ku tebak, yang mungkin masih berucap tanpa menimbang. Namun entah kenapa gatal sekali ingin menyeletukinya.

Eits, sebentar! Menyeletukinya saat ini adalah pikiran kedua. Yang utama adalah menyembuhkan kembali perasaan Bara yang tergores.

“Eh, nggak papa. Dia kan nggak sengaja. Mungkin karena dia tidak mengerti ucapan kamu?” Kataku menenangkannya yang masih lesu.

“Beyayti Ala memang nggak jelas dong ngomongnya?”

ADUH! Susah nih ngomong alias jelasin ke anak-anak! Kudu bagaimana, ya? Apa ya bahasa simpelnya?

“Bukan tapi kakaknya mungkin sudah ngerasa kalah, jadi ya ngomong gitu!” Tukasku dengan sejuta harapan pengertiannya. Bara tak menjawab, ia hanya diam dan masih merunduk. Asumsiku, harapanku gagal.

“Sudah sayang, jangan dipikirin! Bara nggak aneh kok, Bara baik, Bara ganteng!” Pujiku. Ini natural lho ya, jujur!

Bara langsung tersipu dengan bibir menyungging malu-malu dan rona pipi yang memerah. Ah, lucunya!

“Sudah yuk pilih yang lain!” Ajakku mengalihkan atensinya,

Disinilah aku semakin menyayanginya. Saat ku ajak membeli mainan yang lain. Ia berkata, “jangan ah, nanti uangnya abis! Kata papa kita hayus beyhemat! (Jangan ah, nanti uangnya habis! Kata papa kita harus berhemat?)” Katanya dengan sok ceramahnya. Aku dibuat tersenyum lagi.

Disisi kekagumanku pada kepeduliaanya, aku juga kagum dan sangat kagum atas sikap yang diajarkan dan diturunkan oleh Chan.

  • Wait For Next Chapter4

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status