Share

4. Aku Punya Peran

PART 4 *Aku Punya Peran*

Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya. 

"Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari. 

Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada. 

Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup. 

"Papa, Bara boleh nonton tv?"

"Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?"

"Papa baik deh, i love you..."

Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga ini terbuka sekali acapkali anak itu melontarkan suara dan logat gemas khas anak balita yang polos padahal usianya cukup untuk berkencan. 

Apalagi dia tampan.

Ini yang membuatku lebih percaya jika anak ini memang 'sakit' dan sangat membutuhkan seseorang.

Tapi kenapa Chan? Apa hati nurani Chan selembut itu? Apa yang dia pikirkan dan apa tujuan sehingga diangkatlah anak itu menjadi anaknya dan aku? 

Drttt.. Drtt... Drtt

Handphoneku berdering di nakas ruang tamu, aku berlari untuk mengambilnya. Tertulis nama yang membuatku menghela nafas. Disaat seperti ini dia masih memintaku mencari cuan?

"Halo Mas Agi, ada apa?"

"..."

"Nggak dulu mas, kondisiku masih belum stabil. Cari aja model lain, maaf."

"..."

"Iya, aku nggak profesional, aku tahu. Aku kayak gini juga karena lagi menikmati karma kepergian anakku, mas. Maaf."

"..."

"Aku nggak tahu, tapi kayaknya untuk beberapa bulan ke depan aku nggak mau nerima project apa-apa dulu. Tolong."

"..."

"Kesibukan, ada lah.. Masalah rezeki, aku yakin udah ada jalannya. Nggak papa kalau mungkin aku bakal di cap nggak profesional, nggak ada lagi yang mau kerja sama aku. Atau aku di pecat, nggak papa, berarti bukan rezekiku dan aku ada lingkungan yang salah. Makasih."

Pip.

Aku sengaja memutuskan sambungan telefon dan menaruhnya ke nakas. Untuk sememtara ini aku ingin mwnjauh dari orang-orang yang ku anggap menjadi karpet menuju bongkahan emas dan gemerlap tepuk tangan. Mungkin bahasaku saat memerima telefon agak sedikit mengundang hujatan. Tapi aku hanya sekedar berbagi apa yang ku rasakan saat ini.

***

Hari terus berganti, tak terasa sudah hampir sebulan Bara menjadi putraku, atau putra Chan saja. Itu artinya sudah 2 bulan kepergian janinku.

Haha, mengapa aku bilang begitu, itu semua tak luput dari segala tingkah laku dan kedekatan Bara pada Chan juga sebaliknya. Oh, juga segala kecanggungan yang aku rasakan tanpa mendapat pengertian dari Chan. Orang itu tidak memberi pengertian apapun, menanyakan keadaanku atau bagaimana padaku. Ia hanya memperdulikan Bara. 

Jika aku ikut campur, ia hanya berkata, "aku bisa mengurusnya." 

Cih, aku juga tahu. Tapi aku hanya ingin menyalurkan naluriku sebagai ibu untuk merawatnya, tapi seakan aku ini orang yang tak dikenal dan tak dianjurkan untuk ikut campur. Ia memberi jarak untukku dan Bara. 

Seakan aku adalah orang jahat yang bisa saja sewaktu-waktu melukainya. Haha konyol!

Ia membawa Bara setiap hari ke kantor, mengajaknya di hari minggu dan meninggalkan aku di di rumah. Jika aku memperingatinya, maka ia hanya mengatakan "okey." tanpa tindakan pasti. Aku lelah.

Aku lelah tidak punya peran. Aku lelah harus selalu bertanya-tanya pada diriku untuk dosa apa yang ku lakukan hingga dia sampai sebegitunya. Aku lelah berusaha menjadi baik dengan hasil tak dianggap. 

BRUK.!

"Chan, aku pergi dulu." Kataku sambil menaruh koper dan tas di sofa cokelat. Chan yang tadinya asyik menongon tv lalu menoleh ke arahku.

"Mau ke?"

"Pergi aja dari kamu. Kan kamu udah nggak butuh aku lagi, kan?"

Wajahnya terlihat terheran-heran. Ia menatapku yang sedang menyatukan rambut menjadi satu, "jangan bercanda!"

"Serius kok," sahutku cepat, "ngapain aku bercanda tengah malam gini, ngga lucu. Ganggu Bara tidur!"

"Justru kamu ngajak debat kalo kaya gini!"

"Seenggaknya ini yang bisa bikin kita ngomong bareng lagi?!" 

Chan menatapku dengan tatatpan bertanya. Seperti ada pandangan tak percaya atas yang ku katakan. Alhasil aku hanya mendecih dan bersidekap. 

"Aku tahu mungkin ini ekspresi kekecewaan kamu terhadap aku yang tak menjaga bayi itu dengan baik. Gara-gara aku anak kita pergi. Iya itu salahku," mulaku menunjukkan apa yang aku pendam selama ini, "tapi kamu perlu tahu juga kalau aku merasakan kesedihan yang sama. Aku juga merasa bersalah. Kamu siapa, sih? Tuhan? Penguasa dunia? Aku siapa sih? Selir kamu? Sampai kalo kamu butuh langsung dihempas nggak dipeduliin lagi?!" 

Persetan dengan perasaanmu. Aku muak!

"Kenapa seakan setelah kejadian itu kamu kayak nggak ngasih aku kesempatan lagi? Kenapa setelah kejadian itu mata kamu ketutup sehingga mungkin segala usaha aku untuk berubah semu di matamu?"

Dia masih diem.

"Aku tanya tentang Bara kamu nggak mau jelasin, aku minta kamu diskusi sama aku, kamu juga nggak mau kesannya kayak aku nggak perlu beropini, padahal jelas kamu ngangkat anak yang sekarang ini tinggal sama kita, sama kamu sama aku. Dan maaf ya, anak itu punya kondisi yang perlu aku tahu, tapi apa? Kamu masa bodoh sama aku!" Ujarku berceloteh. Aku yakin dia tetap tidak mengerti, atau malah sengaja tak mengerti ucapanku.

Ia memalingkan wajahnya dariku, tak melihat diri ini yang mengoceh bak beo.

Kini aku diam, aku masih banyak serapah yang ingin aku muntahkan, namun aku ingin rehat sejenak sembari menanti jawabannya.

Dan tahu apa yang ia lakukan? Ia malah duduk. Duduk!

"Oh ya, kamu nikah sama aku cuma karena anak dari aku ya? Maaf aku mengecewakan." Tuntasku menaruh koper di bawaj dan menyeratnya keluar. Aku sudah tak tahan bicara dengan batu es bernafas ini.

"Gimana kerjaanmu sekarang?" 

Eh? Kupingku nggak salah denger kan? Kenapa pertanyaannya seperti lari dari pembicaraan?

"Bisa taruh kopermu dan duduk kemari?" Katanya tak membuatku berpaling dari posisiku. Tidak semudah itu, sayang!

"Jika kamu nganggap ini terlambat, no problem. Tapi memang aku tak tahu harus melakukan apalagi setelah kejadian itu. Kalau kamu mikir, aku hanya menikahimu karena hanya ingin memiliki anak, itu salah. Aku mencintaimu bahkan sampai saat ini."

Bul*hit!

"Tapi rasa kecewa saat aku berharap sesuatu darimu membuat entah kenapa hati ini mendingin seketika," katanya sedikit lirih. 

"Apakah tidak ada kesempatan?" Sahutku. Ia terdiam. Masih sunyi, hanya suara berisik sofa yang ku rasa ia sedang membenahi posisi duduknya atau mungkin bangkit.

Setelah itu aku tak mendengar apapun. Aku penasaran dia kemana dan kenapa. Tapi di satu sisi aku tak mau menoleh ataupun mencarinya. 

Tapi kok slow respon ya?

Mau tak mau aku akhirnya menoleh, mendapati sofa tadi kosong. Astaga, orang ini tidak belajar sopan santun?

Tap tap tap...

Tiba-tiba aku memdengar jelas sura langkah kaki yang semakin jelas. Ternyata itu adalah langkah... Bara?

"Cari papa, ya?" Tanyaku lembut. Ia tak merespon, ia hanya melihatku dengan tatapan sendu. Sepertinya anak ini habis menangis. 

"Duduk sini dulu, yuk!" Ajakku. Ia tak menggubris. 

Ku lihat tubuhnya terlihat lesu dan lemas. Jika ini efek bangun tidur, maka ku raa tidak selunglai itu. Hidungnya juga terlihat memerah. Kulit di area wajah hingga leher juga terlihat merah. Jangan-jangan...

"BARA!" 

Aku berlari langsung menopangnya. Ia tiba-tiba saja melemas, bahkan sekarang terlihat tak berdaya. Aku sekuat tenaga memapahnya menuju kursi. Setelah ku berteriak tadi, aku mendengar seseuatu dijatuhkan dan langkah kaki berlari mendekatiku. Jangan tanya itu siapa.

"Bara kenapa?" Tanya Chan panik. Ia langsung menggendong anak itu dan membawanya ke sofa.

"Kamu kasih makan apa dia? Aku harap kamu udah tahu dan nggak lupa sesuatu." Balasku membuatnya pasti menerawang jauh. Aku masih diam dengan wajah datarku.

Aku mendengar ia mendecih sambil menidurkan anak itu di sofa.

"Perlu aku telefonin dokter?" Kataku menawarkan bantuan, pasti dia bilang..

"Ya." 

Lho? Tumben?

Aku pun membuka ponselku dan mencari nomor di buku telefon. Setelah ku dapatkan, aku mulai menghubungi nomor itu. Itu adalah nomor Dokter Bayu. Ia adalah dokter keluarga kami. 

Setelah menjelaskan panjang lebar, aku pun menutup telfon dan menghampiri  mereka. 

"Kamu tahu sesuatu tentang Bara?" Tanya Chan tiba-tiba.

"Maaf ikut campur." Jawabku singkat. Chan menatapku.

"Kamu tidak jadi pergi?"

"Kamu mau aku pergi?" Jawabku kembali bertanya. Aku pun berdiri menuju kamar tuk mengambil selimut. Selimut itu ku kalungkan ke leher dan kini aku membuat teh hangat dan sebaskom air hangat untuk Bara. Ku bawakan benda-benda itu ke ruang tamu. 

Dengan lembut ku letakkan punggung tanganku ke dahi dan sekitar area wajah dan leher.

Panas. 

Aku pun mengompresnya dengan air hangat secara perlahan. Chan? Sibuk melihatku. 

"Kamu tahu kan Bara alergi strowberry?" Ingatku. Ia mendesah.

"Aku tahu, tapi aku lupa..." Aku terkekeh. Bodoh!

"Tapi darimana kamu tahu?"

"Suster Dara," jawabku sambil duduk di lantai, persis di dekat Bara hingga bisa ku lihat pesona wajah bak idol ini. Sungguh, ini polesan yang menawan.

"Kapan kalian ketemu?"

"Kamu pikir selama dua bulan ini aku di rumah terus?" Kataku mencoba membuatnya mengingat, "kamu pikir aku betah gitu di rumah terus? Dan kamu pikir disaat aku hancur gini, aku masih tetep mikirin duit? Nggak lah!" 

Yups, aku diam-diam banyak mencari tahu tentang Bara. Menunggu Chan bicara bisa-bisa aku mati berdiri. Orang itu terlalu menyebalkan saat itu.

"Eugh-" Anak itu melenguh tak nyaman. Aku yang mengerti pun mencoba menenangkannya dengan suara desisan. 

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, tapi rasanya sedih melihat kondisinya yang biasanya terlihat ceria harus melesu. 

"Bawa saja ke kamar!" Pintaku pada Chan. Oh ya, aku lupa memberi tahu bahwa Bara sudah tidur di kamarnya sendiri. Meski begitu, ia masih butuh ditemani.

Chan segera membawanya ke kamar bernuansa orange ini. Ia meletakkan anak itu di box berukuran besar. Aku pun kembali mengompresnya dengan air hangat, sedangkan Chan menyelimutinya dengan selimut berlapis.

"Kenapa bisa dia memakan strowberry?" Tanyaku terdengar dingin.

"Aku tidak tahu, kemungkinan saat ku tinggalkan dia dengan sekertarisku," katanya. Aku menghela nafas sembari menggelengkan kepala. Tanganku memijit dahi dan tengkuk yang terasa tegang.

Sedangkan bisa ku lihat raut penyesalan dari wajah Chan yang sering membeku.

"Ternyata orang yang merasa paling bisa menjaga juga lalai, ya?" Sindirku mengingatkannya pada kalimat sombongnya dulu acapkali aku meminta agar Bara di rumah saja selama ia kerja. 

Dulu ia selalu berkata, "aku bisa menjaga Bara. Kau bekerja saja!" Tanpa mau tahu aku bekerja atau tidak

"Aku tidak mau mengganggu kariermu lagi,"  katanya datar. Aku hanya melihatnya yang terduduk merunduk dan terlihat sangat hancur.ia terlihat kembali menatap sosok Bara yang pucat.

Ada apa ini? Kenapa aku masih sulit mengerti kenapa hati Chan bisa selembut ini dengan anak angkatnya? Iya, aku tahu jika mungkin ini bentuk kasih sayang dari seorang Chan yang pernah gagal menjadi ayah, apa sampai segini? 

- Wait For Next Chapter

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status