Share

3. Aku Bukan Orang Tuanyaw

PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*

Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami. 

Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap.

"Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya.

"Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan. 

"Sendilian?"

"Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut hingga menyisakan tanya pada Chan, "ada apa?" Tanya lembut.

"Takut—" 

Aku hampir bersuara jika saja aku tak ingat yang kuhadapi saat ini adalah balita berusia 4 tahun. Tapi sungguh, suatu hal baru untukmu melihat sosok remaja begini dengan polosnya membentuk wajah imut, sekalipun dia manis. 

"E-" Akhirnya aku bisa melihat raut bingung Chan saat hendak menanggapi pernyataan Bara. Dia pasti bimbang. Salahmu sendiri tak berdiskusi apapun dulu denganku! 

Ku akui cara mereka menata ruangan kamar itu memang terlihat sangat rapi dan indah. Tapi, ketidakterbukaan Chan dengan alasan entah apa membuat aku kesal dengan semua yang terjadi.

Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang harus aku lakukan? Bertengkar dengan Chan bukanlah jawaban tepat saat ini, ingat kami punya anak. Entah anak itu mengenalku sebagai apa, tapi aku akan berusaha menyebutnya sebagai anak kami.

"Ajak tidur dikamar kita aja, ruangan kamarnya juga masih bau cat, kurang baik untuk dihirup." Usulku sembari membuang muka ke gelas minum. Aku sengaja berbicara tanpa melirik ataupun menghadap Chan, "aku akan tidur disini, toh aku lagi tidak bersahabat dengan dingin AC. Jadi, lebih baik tidur di luar," bohongku. Padahal aku baik-baik saja dengan AC, maaf AC!

"Erm, okey." Singkatnya. Kurang ajar bukan? Tidak ada apresiasi bahkan kata terimakasih dari Chan atas pengorbananku. Anak itu juga sama saja, diam dan hanya diam ketika denganku. 

Aku berlalu ke kamar untuk mengambil bantal dan selimut. Ku letakan kedua benda itu ke sofa, lalu berlalu ke dapur untuk memasak nasi. Sedangkan Chan dan Bara tengah ada di kamarnya berunding, bercanda, tertawa. 

"Papa keluar bentar, ya sayang?" 

"Otay!" 

Sabar, sabar, sabar. Mungkin ini salah satu karma dari dosaku dengan anakku dulu. Merasa gemas dan kesal secara bersamaan. Aku gemas dengan sosok manis Bara, tapi aku juga kesal dengan bagaimana dia berinteraksi. Little space? Hm.. Aku masih tak percaya jika anak itu mengalami sydrome itu, jika ku perdalam lagi pikiranku, itu seperti mimpi dan tipuan. Aku masih kadang berpikir jika anak ini tidak serius begini. 

Tapi masa iya riwayat medis berbohong?

"Kenapa masak nasi malam-malam?" Aku agak terkejut mendapati suamiku bertanya.

"Oh, ini antisipasi aja kalau aku telat bangun," jawabku sambil mengelap tangan.

"Tumben kepikiran?" Ujarnya lalu meninggalkanku dengan seribu pertanyaan terkait pernyataannya tadi. Benarkah?

Tapi setelah ku pikirkan lagi, emang iya sih. Aku jarang sekali kepikiran nyicil nyediain sarapan kayak gini. Kenapa ya?

"Jangan terlalu kering, Bara lebih suka nasi lembek."

Aku mendengus mendengar hirauan Chan dari kamar mandi. Untung saja panci nasi ini belum mendaratkan pantatnya, dan siap ku masak. 

Dia tak tahu ya kalau aku tidak terlalu suka nasi lembek? Huh, mengalah, sekarang aku punya 'bayi'.

"Udah?" Tanya Chan keluar dari kamar mandi. Aku mengangguk sambil berjalan ke sofa, "Oke!" Katanya sekian sembari memasuki kamar. 

"Oke..." Lirihku mengikutinya. Seolah meledeknya, sembari memgangguk-angguk, aku menata bantal dan merebahkan diriku dengan nyaman menyambut waktu tidur. Kamar juga mulai tenang, ku pikir mereka juga sudah tertidur. 

Aku langsung kepikiran tentang bsgaimana aku melaksanakan hari besok sebagai ibu? Chan akan ke kantor, dan otomatis anak itu akan ditinggal di rumah bukan? Dan otomatis aku yang menjaga. So? Apa yang harus ku lakukan untuk mengusir kecanggungan, besok?

"Ah, masih besok, pikir besok..." Tenangku lalu menutup mata.

****

"Mam..." 

Ia berbicara meminta makan dengan Chan. Dengan sendok dan garpu, ia tersenyum menunggu Chan mengambilkan nasi. Chan hanya terkekeh.

"Sayang, papa suapin, ya?" Anak itu mengangguk. Chan pun duduk di dekat Bara.

Aku? Aku sedang menyeduh teh untuk aku dan Chan. Sesekali aku melirik Chan yang tengah membarakan aura 'papaable'-nya.  Chan tidak bisa menipu dan menyembunyikan ekspresi senang sedihnya. Aku bisa membedakan dan merasakannya. Ketika ia bersama atau sekedar mengobrol denganku, rasanya sangat dingin dan penuh mendung. Beda cerita jika itu Bara.

Tidak aku tidak cemburu. Justru aku sedih karena aku tak bisa mewujudkan harapan Chan untuk bersama dan menyambut kelahiran anaknya. Hingga sikap kebapakannya tersebut muncul dengan sendirinya pada orang lain yang sudah ia angkat.

"Susu untuk Bara, biar aku aja yang bikin." Aku mendengus kasar mendapati titah Chan yang hobi mendadak. Untung aku belum menuangkan susunya.

"Ya," balasku lalu membawa nampan berisikan dua cangkir teh hangat untuk aku dan Chan. Sesampai di meja makan, Chan yang bergantian ke dapur, menyiapkan susu Bara. 

"Berapa sendok, sih?"

"2." Aku mengangguk paham dan mulai mengambil nasi. Sesekali aku melihat bagaimana Chan mengolah susu bubuk itu. Sungguh, wajah serius Chan seperti menggambarkan ketampanan sendiri. Aura keayahan yang terpancar dari gerak-geriknya menjadikan bibir ini menyungging sendiri. 

Ini baru perhatian dengan anak orang, bagaimana jika Bara itu anak kandungnya? Huh.

Aku melirik Bara sekarang, melihatnya melahap makanan dengan enaknya. Anak itu melihatku dan reflek aku menyapanya dengan lambaian, jangan lupa senyuman agat terlihat lebih manis. 

Tahu responnya apa?

Ya, hanya diam saja. Haha..

Aku pun kembali memakan makananku. Disinilah aku kepikiran dengan harus dikemanakan anak ini, jika Chan bekerja.

"Chan, Bara dirumah atau-?" Tanyaku.

"Ikut aku."

Hah? Dia nggak lagi asal ngomong, kan? Dari perkataannya sih nggak asal ngomong. Tapi bagaimana bisa anak ini ikut ke kantor, apa tidak merepotkan? Tapi kalau aku banyak omong, bukannya mendapat apresiasi atau minimal simpati, justru mungkin akan tersembur api.

Jadi aku memilih diam.

"Bala ikut papa, iya?" Tanya anak itu. Gimana dek? Mau ikut saya?

"Iya sayang, kamu ikut papa," anak itu langsung seperti menyorakkan kata "yes" dengan lirih. Melihat itu, Chan terkekeh dengan tangan yang mengudak susu dalam dot. 

"Nti, beli boleh pelmen, pa?" 

"Boleh..."

Anak itu kembali bersorak tanpa menggemborkan suara. Melihat aksi gemas Bara, Chan nampak terkikik. Aku? Ya, biasa saja. Duduk dan tersenyum kecil sembari membawa sendok dan garpu di kedua tangan.

"Nanti papa beliin permen juga es krim, tapi Bara jsnji nggak nakal, ya?" Sambung Chan sembari memberikan botol dot itu ke Bara. Entah karena haus atau bagaimana, anak itu langsung menyahut dan mengulum dotnya.

Ketahuilah, aku berada di posisi geli dan gemas saat ini. 

Ingin ku tanyakan tentang bagaimana jika aku saja yang mengurus anak ini, tapi rasanya percuma. 

- Wait For Next Chapter

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status