Share

5. Hariku Di Mulai?

"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan.

"Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya.

"Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya.

"Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi."

"Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang.

"Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.

Usai mengantar dokter keluar dan menunggunya sampai pergi, aku kembali masuk. Mata ini langsung tertuju pada koper hijau yang ku letakkan di samping sofa. Niatanku untuk pergi entah kenapa sirna. Aku jadi merasa cukup berat meninggalkan Bara yang sedang sakit, dan ikut bersimpati bersama Chan.

Apa aku harus mengalah?

Aku masuk ke kamar Bara. Anak itu masih terlelap dengan Chan yang bagai sosok ayah menemani anaknya tidur. Ia usap surainya, kadang ia pijit lengan tangan kakinya dan juga mengganti kompresan air. Seniat itu dia ingin punya anak.

Lagi-lagi aku jadi merasa jahat.

"Kenapa nggak tidur?" Tanya Chan yang memergokiku melihatnya.

"Nggak papa, aku mau kesini, boleh?" Ujarku sembari mendekati ranjang yang kini tak berpenyangga. Chan hanya mengangguk tanda mengiizinkan. Aku pun duduk di sisi yang berbeda.

"Besok nggak usah bawa Bara ke kantor, kasihan." Kataku terdengar agak dingin. Entah diotakku ternyiang kesombongannya yang katanya bisa merawat Bara. Cih, nyatanya zonk!

"Hm..." Aku memutar bola mataku malas, jawaban menyebalkan.

Terlihat sekali raut kekalahan yang sok disembunyikan.

"Mending kamu beliin plester fever di apotek 24 jam depan komplek, daripada kompras kompres." Chan terlihat terjengkit sedikit lalu menampakkan raut berpikir. Otakku langsung berasumsi jika dia khawatir, Bara akan ku tongseng atau ku jadikan semur jika ia tinggal.

Jadi ku lemparkanlah celetukkan ini, "Bara nggak bakal aku oseng-oseng kok, tenang!"

Terdengar hembusan nafas pasrah dari Chan yang bersamaan dengan bangkitnya Chan dari box.

"Aku pergi dulu, titip Bara." Aku mengangguk.

Chan berjalan keluar ruangan sambil membenahi celana pendeknya. Aku pun menyusul, bukan untuk mengekori tapi untuk membantu menyiapkannya. Seperti menyiapkan dompet, kunci motor, helm, dan jacket yang suka tersebar.

Seusai menyiapkan Chan aku jadi teringat resep dokter yang bisa ditebus di apotek, "Chan resepnya sekalian ditebus gih," kataku sambil balik ke kamar Bara mengambil resep.

"Ya udah taruh di deket dompet aja," serunya yang agak berisik. Pasalnya, Bara agak menggeliat.

Eh, jadi dia hampir sadar, dong?

Aku kembali berjalan ke arah Chan dengan suara langkah yang sangat aku kecilkan.

"Kamu kenapa?" Tanyanya bingung.

"Bara hampir bangun, udah-udah sana!" Bisikku sambil menahan Chan yang ingin masuk ke kamar lagi.

"Tapi-"

"Sst...!" Desisku menariknya keluar, "tuntun itu motor, jangan nyalain disini!" Pintaku lalu masuk lagi.

Aku sudah tak peduli lagi dengan Chan yang pasti bingung di luar sana. Sekarang aku sudah berada di kamar Bara lagi. Melihat anak itu menggeliat seperti hendak bangun aku pun berdiri diam.

"Pa-" Rengeknya terdengar lucu. Mataku mulai melihat sosoknya yang mulai membuka mata. Mata kecilnya membuka menutup menjadikan bibirnya menyunging sedikit. Tentu saja pipi chubbynya jadi ikut menggembung.

Anak ini katanya berusia 23, tapi kenapa malah seperti berusia 3 tahun sungguhan?

"Hiks, pa-" Rengeknya lagi yang kini bertambah isakan kecil.

"Erm, halo sayang," kataku mencoba lembut sambil mengelus kepalanya. Bisa ku lihat mata berkaca-kaca milik Bara. Tanganku merasakan hangat suhu kulit kepala Bara.

Bara tak menjawab, ia hanya melihatku terus tanpa ekspresi. Tentu saja otakku langsung melayangkan tuduhan negatif pada Chan, "setan jenis apa yang ia deskripsikan untuk menggambarkan aku? Mengapa Bara sebegitunya padaku?"

"J-jangan takut sayang, i-ini aku bukan orang jahat kok, kenal aku, kan ya?" Mulaku menyapanya. Sumpah demi apapun aku grogi sekali berbicara sepanjang ini dan hanya berdua dengannya. Ini semua lagi-lagi ulah Chan juga.

"Papa mana?" Tanyanya polos.

"Lagi beli obat sayang, yuk duduk dulu!" Ujarku sambil membantunya duduk, "kamu minum teh hangat dulu, ya?Bunda ambilin."

Eh apa? Aku tadi kerasukan apa ya sampai menyebut diriku sendiri "bunda"? Tapi aku memang bingung sih mau menyebut diriku siapa, tante? Kakak? Mama?

Hih.

"Ini sayang," kataku sambil membawa segelas teh hangat dari dapur. Bara pun segera meneguknya.

"Uhuk... Anas..." Katanya setelah tersedak dan menjauh dari teh.

Aku tentu terkejut dan panik.

"Eh? Nggak papa, kan? Maaf-maaf sayang, tunggu bentar," panikku sembari mengelus punggung anak itu. Aku langsung beranjak dan berlari ke dapur mengambil sendok dan air putih hangat tuk meredakan batuknya.

Ketahuilah malam ini, aku kerasukan splash, jadi kaki ini berlari bak angin.

"Sst... Maaf, maaf, maaf ya," ucapku sambil menyendoki dan menyuapinya air putih hangat. Aku juga meniup air putih itu agar tidak terlalu panas. Seakan aku tidak ingin mengulang kembali kesalahanku.

Ia menyudahi tegukan air putihnya. Aku pun menaruh gelas itu di atas nakas lagi. Tangan ini dengan sigap menyamankan posisi bantal agar ia bisa bersandar di kepala ranjangnya.

"Apa yang sakit?"

"Pala Bala sakit..." Ia berusaha menjelaskan kondisi badannya dengan bahasa dan aksen khas anak-anaknya.

"Mau di pijat?" Tawarku. Ia menggeleng. Wajahnya terlihat lesu sekali, aku yakin ia pasti lemas. Ku lirik jam di arloji tanganku yang menunjukkan pukul 1 dini hari.

Merasa ingat sesuatu, aku pun mengambil obat penurun panas dan sebuah vitamin yang tadi dianjurkan dokter.

"Sekarang minum ini dulu, ya?" Matanya nampak melebar kaget mendapati sesuatu di tanganku, 2 benda yang siap ia telan. Aku terkikik kecil, "aku tahu kamu belum berani makan pil dan kapsul seperti ini, jadi akan aku olah dulu, okay?" Ia mengangguk setuju.

Sekarang panggilan bunda menjadi "aku" lagi.

Sembari tangan ini melarutkan obat, aku jadi penasaran ingin tanya beberapa hal dengan Bara. Tapi rasanya kurang etis. Pikirannya sudah buyar dengan adanya sakit yang ia alami, apa aku setega itu memintanya berpikir lagi.

"Jadi deh," kataku sedikit bersorak.

Bara menutup mulutnya seketika, "baunya ndak enak, pasti pait!"

Sabar... Tenang...

"Oh tentu, kan ini obat. Tapi obat ini bakal bikin kamu cepat sembuh, bikin kamu cepat makan es krim sama kue lagi," terangku mengiming-imingi, "kamu mau, nggak? Kalau nggak mau, its okey. Nanti semua kue cokelat dan permen, ku ambil!"

Sh*t!!! Aku sangat tidak bisa mengubah kata "aku" menjadi lebih manis.

"Hah? Noo!" Pekiknya. Ia langsung memajukan tubuhnya dan melahap suapan larutan obat dariku, "wle! Pahit!"

Aku buru-buru menyendokinya air putih lalu teh hangat dengan maksud menghilangkan rasa pahitnya. Bara sendiri hanya menurut setiap pergerakan dan pemberianku.

"Yeay, udah!" Pekikku bersenang telah menuntaskan satu misi. Hal ini Bara sedikit tersenyum.

Sedikit tersenyum padaku.

Padaku.

Aku rasa ini bukan mimpi. Apa ini awal mula dari hubungan baik kami?

- Wait For Next Chapter

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status