Deg! Detak jantung Astri seketika bergemuruh. Dia harus kembali berhadapan dengan papanya. Senyum dan wajah ceria Astri hari itu benar-benar redup. Titi yang ada di sebelah Astri, memandang putrinya, menatap dengan wajah serius.
"Darma pria yang baik dan punya masa depan bagus. Dia pantas dipertimbangkan menjadi suami kamu.” Kalimat itu dengan lancar dan jelas meluncur dari bibir Andika.Darma dan ayahnya sudah pulang. Acara makan bersama berjalan lancar. Tirtaraka salah satu relasi Andika dalam bisnis. Dia pria berkarisma yang terbuka dan bersikap cukup menyenangkan. Darma, seorang pengacara muda yang sedang giat menaikkan karirnya. Dia bukan tidak memikirkan soal percintaan, tetapi dia butuh didesak sedikit saja, menurut ayahnya. Itulah kenapa Tirtaraka tidak keberatan mengajak Darma datang ke rumah Andika.“Pa, aku bisa mencari sendiri pendamping hidup buat diriku. Papa tidak perlu lakukan ini. Darma bukan tipeku,” kata Astri tegas menolak Darma yang seolah akan dijodohkan dengannya.“Sampai kapan? Kamu sudah dua puluh sembilan tahun, Astrina Talia. Papa terus menunggu kamu memberi kabar kalau kamu sudah punya kekasih dan siap berumah tangga." Tatapan tegas Andika membuat hati Astri menciut.Lagi dan lagi soal pasangan Astri. Ini kali yang kesekian Andika bicara dan makin kuat mendesak Astri segera mendapat kekasih. Apakah Astri harus mengiyakan rencana ayahnya, agar dia menjalin hubungan dengan Darma?Astri memandang sang ayah dengan lesu. Jujur, Astri menyesal dia benar-benar pulang hari itu, sampai bertukar jadwal, mengatur ulang kegiatan, hanya untuk mendapati kenyataan dia dikenalkan dengan Darma!"Masa sampai sudah mau kepala tiga, satu kali pun Papa tidak pernah tahu kamu suka dengan cowok, dekat cowok, apalagi sampai gembira cerita kamu punya pacar." Andika lurus-lurus memandang Astri.Astri menelan ludahnya. Itu kenyataannya! Astri belum pernah dekat dengan cowok apalagi berpacaran. Sisi itu yang Astri sama sekali tidak mau sentuh dari lembaran hari-harinya."Kamu wanita normal, kan?" tanya Andika. Dia mencondongkan wajahnya ke depan, memastikan setiap kata yang dia lontarkan, Astri mendengarnya."Mas!?""Papa?"Titi dan Astri menyahut bareng."Mas ngomong jangan sembarangan, dong!" Titi tidak terima suaminya menduga putri mereka punya orientasi hubungan yang tidak lazim."Apa salah aku punya pikiran seperti itu?" Tatapan tajam Andika beralih pada Titi.Wajah Astri seketika cemberut. Ingin sekali dia bangun dan keluar dari rumah. Untuk apa dia pulang kalau kenyataan ini yang dia dapati? Ayahnya mendesak Astri agar segera mencari pasangan dan yang mengerikan, Andika berpikiran kalau Astri penyuka sesama jenis? Seburuk itukah Astri di hadapan ayahnya sendiri?"Kakakmu, Gilang, sudah menikah. Anaknya yang kedua tidak lama lagi akan lahir. Waktu di sekolah, belum masuk SMA pun, Gilang sudah bangga menceritakan cewek yang dia taksir. Beberapa kali dia kenalkan teman wanita ke rumah."Adikmu, Damira, sudah empat atau lima kali berganti kekasih. Dan aku hampir yakin, kali ini dia serius dengan Davin. Kalau sampai dia lebih dulu menikah dari kamu, gimana? Papa tidak mau itu terjadi, Astrina!"Ini ternyata yang menjadi kekuatiran Andika. Karena anak bungsu keluarga itu sudah mulai serius dengan kekasihnya. Akan sangat tidak pantas seandainya Damira menikah sementara Astri belum menikah.Astri menelan ludahnya. Dalam hal ini papanya tidak salah. Andika punya alasan tepat meminta Astri segera mencari pasangan. Tetapi Astri tidak sanggup dan tidak siap. Entah sampai kapan baru Astri bisa memulai hubungan dengan makhluk yang disebut laki-laki.Astri memejamkan mata. Bayangan ngeri masa remajanya yang tercabik karena pria, muncul dengan cepat dalam pikirannya. Hati Astri seketika merasakan takut dan marah menjadi satu. Wajah pria berkulit sedikit gelap menghantui Astri. Astri menunduk dan menarik napas dalam, lalu segera membuka matanya lagi."Astri, kamu ada apa sampai tidak mau memikirkan jodoh? Kamu cantik, cerdas, dan banyak talenta. Karir kamu bagus. Kurang apa? Kamu tidak percaya diri?" tanya Andika dengan kesal."Bukan begitu, Pa. Aku belum siap. Itu saja. Kalau aku tidak yakin, bagaimana bisa aku menjalani hubungan, apalagi menikah?" Astri mencoba menjelaskan, meski bukan itu alasan sebenarnya."Kalau begitu sudah tepat Papa membawa Darma padamu," ucap Andika tegas."Pa, please, aku ga mau kayak gini." Astri memandang papanya. Dia tidak akan mau jika pernikahannya karena sebuah perjodohan."Karena kamu tidak mampu mencari orang yang bisa menjadi pendampingmu, Papa punya tugas dan tanggung jawab itu buat kamu, Astri." Andika memandang Astri lekat-lekat."Nggak, Pa. Jangan seperti ini." Astri menegakkan punggungnya. Lalu dia menoleh ke arah mamanya. "Ma, Mama tahu rencana ini. Dan Mama setuju?"Titi tidak tega sebenarnya melihat Andika berlaku keras pada putri mereka. Tetapi Titi tidak bisa melarang Andika berbuat seperti itu. Astri sendiri yang memaksa Andika harus bertindak.Titi mengusap-usap punggung Astri seraya mengangguk."Aku ga mau! Yang mau nikah aku. Kenapa Papa dan Mama yang repot cari orang?" tukas Astri. Belum hilang rasa terkejut di dadanya."Itu tergantung padamu. Kalau kamu bisa menemukan calon suami, untuk apa harus aku yang turun tangan?!" sahut Andika."Pa, aku pasti ketemu jodohku. Belum waktunya saja," ujar Astri sambil cemberut."Waktumu paling lama enam bulan! Satu semester ini. Jadi setidaknya dua atau tiga bulan kamu harus bisa membawa pria itu berkenalan dengan papa dan mama kamu." Andika berkata tegas. Tidak sedikitpun mengendurkan sarafnya."Tapi, Pa ...""Sudah terlalu sering kamu beralasan. Darma sudah melihat dan bertemu kamu, dan dari perbincangan kita tadi, dia siap kapan saja untuk menikah denganmu," lanjut Andika."Papa ..." Astri makin cemberut. Degupan kencang melanda dada Astri. Tidak dia kira papa dan mamanya bisa punya pikiran mencarikan dia jodoh. Dan yang lebih mengesalkan, sekalipun bersikap dingin dan sok jaim, Darma memang tidak menolak Astri."Semua sudah jelas kurasa. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan." Andika menutup pembicaraan.Kalimat itu tanda semua selesai. Astri tidak bisa lagi melakukan negosiasi kepada ayahnya. Astri ingin segera pergi ke kamar dan menghempaskan tubuh di kasur, lalu tidur. Dengan begitu dia akan lupa apa yang papanya minta.“Ingat itu, tiga bulan lagi, bawa seorang pria kepadaku. Kalau tidak, Darma akan aku minta melamar kamu,” tukas Andika.Andika meninggalkan ruangan. Astri hanya bisa menggeleng kesal, lalu beranjak masuk ke kamarnya. Titi pun hanya bisa memandangi suami dan putrinya yang membiarkan dia sendirian di ruang makan."Papa ga jelas banget! Ngapain pakai ultimatum aku cari jodoh!?" Astri berteriak, tapi di bawah bantal. Astri kesal sekali dengan keputusan orang tuanya.Astri bangun melempar bantal sembarangan, lalu duduk bersila. Hatinya benar-benar galau."Di mana aku bisa menemukan pria yang baik, lembut, dan bertanggung jawab? Yang menghargai aku dan menerima aku apa adanya? Dan cuma dalam waktu tiga bulan?"Astri berdiri di depan gerbang sekolah. Hampir jam setengah sembilan pagi. Hari cerah dengan matahari terang bersinar. Suasana terasa menyenangkan, apalagi terdengar suara riuh kelas yang sedang berolahraga di lapangan basket. Dari salah satu kelas terdengar suara tawa gembira. Sayangnya, hari yang manis itu tidak membuat senyum dan wajah Astri ceria. Ultimatum papanya membuat dia masih galau. Sebelum balik ke sekolah, Andika kembali mengingatkan soal pria pendamping Astri. Astri mampu segera menemukannya atau dipanggil pulang untuk berlanjut hubungan dengan Darma. "Gara-gara Papa ... hariku benar-benar redup di tengah panas kayak gini." Astri bergumam resah. Kembali Astri melangkah menuju ke asrama. Dia menyimpan barang-barangnya, berganti pakaian, lalu pergi ke kantor. Saat melintas di depan ruang tim pembimbing siswa, Astri mendengar suara seorang murid bicara dengan keras bernada marah. "Nggak kayak gitu, Bu! Wenny bohong!" "Aku ga bohong! Kamu saja yang lebay, Len. Cuma kesen
Wenny bangun dari duduknya begitu melihat pria tampan berdiri di depan pintu. "Kak!" panggilnya dengan wajah sedikit cemas. Pria itu tidak memperhatikan Wenny. Dia masuk dan menyalami Nirma, juga Astri. Astri terbengong-bengong menatap pria itu. "Ini Kak Juan yang Wenny suka sebutkan itu? Oh, my God ..." batin Astri bicara. Melihat tampang pria itu, Astri ingat salah satu artis tampan asal negeri Paman Sam. Kakak Wenny keren abis! "Aku Julian Scott Dawson, kakak Wenny. Minta maaf baru bisa datang siang ini," kata Julian. Suaranya enak didengar. Tidak berat, halus, dan menawan. Melihat tampang dan bicaranya yang masih kental aksen Inggris meski dalam Bahasa, makin menambah satu poin lagi buat Julian di mata Astri. Dan Astri masih belum bisa beralih dari wajah tampan Julian. "Terima kasih mau menyempatkan datang di waktu kerja seperti ini. Saya Nirma, guru BK di sekolah ini dan ini ..." Nirma menoleh pada Astri. "... Bu Astrina, Ibu Asrama Wenny." "Oh, hai ..." Julian mengulurka
Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar. Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk. "Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah. "Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny. "Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya. "Yaa!" seru Wenny gusar. "Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona? "Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya. "Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang s
Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol. Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana. "Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih. Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam. 'aku tidak penting. titik' Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkel
Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri
Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b