Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu.
"Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi.Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena."Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis."Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar."Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis."Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri."Ya, Bu!" sahut Errin.Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muridnya begini kacau? Yang satu hamil di luar nikah, yang satu nekad mau bunuh diri."Ya, Tuhan ... tolong aku ... aku harus gimana?" Dengan dada berdebar kuat, tangan dan kaki seakan tak mampu menopang tubuh, Astri berdoa.Menjadi ibu asrama ternyata tidak seindah yang orang lihat. Sekolah elite, sebagian besar anak para konglomerat dari berbagai daerah, pasti enak sekali. Banyak pemberian dari mereka. Anak-anak yang serba kecukupan bahkan berkelimpahan yang diurus. Sudah mendekati usia dewasa, apa-apa bisa mengatur sendiri.Tidak! Tidak semudah itu. Dua kasus ini saja membuat hati tidak karuan. Astri harus memaksa dirinya tetap tenang agar bisa berpikir dan bertindak bagaimana. Dia harus bertanggung jawab ke sekolah juga dengan apa yang terjadi pada anak-anak itu. Rasanya kalau boleh lebih baik Astri menyembunyikan diri ke dalam gua agar tidak bertemu dengan siapapun."Tuhan, kumohon tolong aku. Beri aku damai-Mu, agar aku tidak salah bersikap dan bertindak. Aku mohon," bisik Astri dalam doa.Ponsel Astri berdering. Panggilan dari salah satu staf sekolah yang akan mengantar Wenny ke rumah sakit. Astri menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan. Dia menunggu di rumah sakit. Lima belas menit berikut, Wenny dikabarkan sudah tiba dan langsung ditangani paramedis.Evalina, salah satu staf sekolah yang juga tinggal di asrama menemui Astri di ruangan Nena. Dia terlihat cemas, saat muncul di depan Astri."Aku akan temani Nena. Kamu lihat Wenny. Aku benar-benar shock. Dia lemas, hampir pingsan dengan wajah pucat. Dia minum obat lebih dari sepuluh butir, menurut pengakuannya." Evalina mengabarkan kondisi Wenny."Baiklah, terima kasih banyak, Mbak. Ini hari yang sangat berat buat aku. Dua murid sekaligus mengalami masalah. Dan dua-duanya sangat rumit. Aku tahu, pimpinan akan memanggil aku karena ini," kata Astri dengan hati pilu."Jangan dipikir dulu soal itu, Astri. Kita fokus sama anak-anak saja." Evalina menepuk bahu Astri berusaha menenangkannya.Astri mengangguk, lalu dia beranjak dan bergegas menuju ke IGD tempat di mana Wenny ditangani. Ada Pak Ardi, kepala bagian kebersihan sekolah. Untung juga Pak Ardi belum pulang, karena dia memang tidak tinggal di lingkungan sekolah."Pak, gimana?" tanya Astri."Masih diurus dokter. Mudah-mudahan tidak lama lagi. Aduh, anak-anak zaman now, ada saja kelakuannya. Bikin sakit kepala orang tua. Apa yang ada di pikiran mereka?" Pak Ardi tampak kesal dengan kejadian beruntun yang sangat menegangkan itu."Sudah terjadi, Pak. Mungkin juga orang tua kurang memahami mereka, jadi mereka melakukan apa yang mereka pikir baik buat dirinya, padahal justru menimbulkan masalah baru," kata Astri."Ibu Astri harus lebih tegas sama anak-anak itu, Bu. Kalau memang ga nurut ya udah dihukum saja. Aku gemas sekali dengan kelakuan anak-anak itu," tukas Pak Ardi.Astri tersenyum kecut. Pak Ardi memang orang yang tegas dan sangat bertanggung jawab. Dia sangat tidak suka jika ada pelanggaran aturan terjadi. Anak-anak boleh dibilang takut pada pria dengan kumis lumayan tebal itu."Bu, aku ga bisa temani lama. Setengah jam lagi aku harus jemput anakku pulang les. Ibu Astri ga apa-apa sendiri?" tanya Pak Ardi."Ga apa-apa, Pak. Kalau mau berangkat silakan saja. Nanti aku bisa hubungi Bu Eva atau yang lain jika perlu bantuan," kata Astri."Baiklah, kalau begitu aku jalan sekarang. Semoga Wenny tidak kenapa-napa. Yang sabar dan kuat, Bu Astri," ujar Pak Ardi.Astri sendirian, duduk di ruang tunggu di samping ruang IGD. Sambil menunggu Astri berkoordinasi dengan pimpinan memberi kabar tentang dua murid yang tengah bergelut di atas ranjang di rumah sakit. Pihak pimpinan meminta Astri terus memantau kondisi kedua murid itu dan terus memberi kabar perkembangannya seperti apa.Setelah Wenny selesai ditangani, Astri diizinkan masuk ke dalam ruangan dan menemui gadis itu. Astri memandag Wenny yang tampak sedih. Wajahnya masih pucat dan matanya berkaca-kaca."Wenny, ada apa? Ibu kaget kamu sampai nekat begitu," kata Astri.Wenny mengulurkan tangan dan memegang tangan Astri. Dia merasa bersalah, juga butuh dukungan. Astri pun membalas memegang erat tangan Wenny. Astri mau Wenny tahu, Astri mendukungnya."Maafkan aku, Bu. Aku memang bodoh. Aku ga tau kenapa tiba-tiba saja merasa semua sia-sia. Ga ada yang peduli sama aku. Ga ada guna aku hidup," ucap Wenny dengan matanya mulai basah."Ibu juga minta maaf. Kamu belum selesai bicara Ibu harus pergi. Tapi itu tidak berarti Ibu tidak peduli, Wenny," tegas Astri. "Dengar baik-baik. Setiap kehidupan itu penting dan berarti. Tuhan ga pernah main-main menciptakan seseorang dan mengizinkan dia lahir di dunia. Tuhan pasti punya tujuan.""Tapi, sejak aku kecil semua berantakan. Aku ga punya keluarga yang baik. Ayah saja aku ga tau di mana. Masa-masa berat terus yang aku harus lewati. Apa baiknya? Tujuan kayak apa?" tukas Wenny kesal."Kamu ingat bukan, kalau manusia punya kehendak bebas di hidupnya? Dia bisa melakukan apa saja yang dia mau, karena dia punya pilihan atas hidupnya. Pilihan-pilihan itu yang menentukan dia akan jadi baik atau buruk. Akibat pilihan itu berpengaruh dengan orang lain di sekitarnya." Astri memandang Wenny.Wenny mendesah dan mengembuskan napas besar. Tentu saja Astri benar. Tapi Wenny tidak berpikir sama sekali kalau apa yang dia lakukan bukan hanya merugikan dirinya tapi juga orang lain. Payahnya, Wenny seakan merasa paling menderita dan mau orang lain ikut merasa bersalah atas hal buruk yang terjadi dengannya.Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b
Astri ingin menangis mendengar kata-kata Andika. Di situasi sulit itu, sang ayah yang seharusnya meredakan pedih hatinya, sebaliknya justru menambah pilu makin menghujam. "Yah, Pa, aku tahu ..." ucap Astri. Telpon selesai. Tangis Astri kembali meledak. Sedih makin menusuk hati Astri. Semua yang ada di dalam hidupnya seakan berantakan. Dengan orang tuanya, hubungan Astri kurang baik karena Astri tidak bisa mendapatkan pendamping hidup sesuai target yang mereka punya. Dalam pekerjaan, Astri terancam dikeluarkan karena terjadi berbagai persoalan di asrama. Sementara, sekalipun Astri mulai ada rasa pada Julian, selangkah pun Astri belum bisa bergerak mendekat. "Wenny ..." bisik Astri. Tiba-tiba saja, Astri teringat pada Wenny. Gadis itu merasa tertolak dan tidak ada yang peduli. Dia juga merasa semua tidak ada gunanya, seolah-olah lebih baik dia mati. Ah, mengapa perasaan yang sama mulai menyusup di hati Astri? Dia wanita gagal. Masa lalunya yang sangat buruk karena pelecehan membu
Senyum manis di bibir Julian terurai. Cepat-cepat Julian berdiri, melangkah mendekat dan menyalami Astri. "Ibu Astri, apa kabar?" Senyum Julian semakin lebar. Wajah tampan pria bule itu, ya, membuat Astri kembali merasakan sesuatu dengan menatap wajah tampan kakak Wenny. "Saya baik, Tuan. Silakan duduk. Terima kasih Tuan memberi saya waktu untuk bicara. Saya harap ini waktu yang tepat," kata Astri masih dengan senyuman di bibir, tetapi senyum kecil saja. "Apakah Wenny melakukan kesalahan lagi? Bukan masalah yang serius, kan? Sebab, jika memang masalah besar, aku pasti sudah dihubungi," ujar Julian dengan pandangan berubah sedikit tegang. Sudah muncul rasa kuatir di hatinya kalau adiknya berulah lagi. "Ah, Tuan, tidak, tidak sama sekali," sahut Astri dengan senyum lebar sampai menunjukkan giginya yang berderet rapi, sedangkan kepalanya menggeleng keras. "Oh, thank God. So?" Julian menaikkan kedua alisnya, menatap lebih lekat pada Astri. "Wenny makin semangat belajar. Dia lebih t
Dari kalimat yang Julian ucapkan, seolah-olah dia ingin mengatakan tidak nyaman dengan pernyataan Astri. Seketika Astri merasa dia telah salah bicara. Baru saja dia bisa mendapat angin segar mendekat pada Julian, jangan sampai situasi berbalik memaksa Astri menjauh lagi. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ..." "No. Don't worry." Julian menyahut cepat. "Jangan dipikirkan. Aku tidak terlalu senang membicarakan soal rumah dengan orang ..." "Orang lain. Aku paham. Maafkan aku, Juan. Aku tidak akan bertanya apapun jika kamu merasa tidak nyaman. Sekali lagi maaf," ucap Astri. Dia harus meluruskan situasi. "Sorry banget! Errin beneran rempong, deh." Wenny muncul dan kembali duduk di kursinya. Tangannya meletakkan ponsel lalu sibuk lagi dengan makanannya yang masih tersisa setengah. "Kenapa dengan Errin?" tanya Julian. "Dia nitip dibelikan sesuatu. Wali kelas kami mau ulang tahun. Kelas emang mau kasih surprise. Mumpung aku keluar, dia minta aku yang belikan. Ga apa-apa setelah ini kita j
"Besok?" Astri kaget dengan permintaan Darma. Pria itu ternyata mulai beraksi juga mengejar Astri."Ya, kebetulan urusanku akan selesai sebelum makan siang. Kita bisa bertemu sebelum aku pulang." Darma menegaskan.Astri harus mencari cara agar tidak ada kemungkinan Darma dengan dirinya bisa bertemu. "Besok, aku sudah ada jadwal. Lebih padat dari hari ini. Aku tidak bisa," elak Astri.Darma memandang Astri tajam. Wanita di depannya ini ternyata cukup keras. Aneh, ketika di rumah pada pertemuan di rumah keluarga Kamajaya, sikap Astri cukup manis. Tetapi selepas itu, sama sekali belum ada kesempatan Darma dan Astri bertemu lagi."Astri, aku temani Wenny. Kalian bicara saja." Julian menyela pembicaraan Astri dan Darma.Julian merasa dia tidak perlu tahu urusan Darma dan Astri. Tangan Julian menggandeng Wenny dan mengajak adiknya menjauh. Astri tidak mungkin meninggalkan Darma begitu saja. Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan. Seharusnya hari itu makin manis kebersamaan Astri dan J
Hari berganti. Astri tidak mungkin lupa, Darma mengatakan akan datang menemui Astri di sekolah. Sejak bangun pagi, Astri sudah merasa tidak tenang. Dia harap-harap cemas kalau tiba-tiba benar pria itu datang dan mencari dia di sekolah. Sampai Astri kurang bisa fokus dengan apa yang dia kerjakan di kantor. Teettt!!! Keras dan nyaring bel tanda istirahat siang berdering. Astri sampai sedikit melompat karena terkejut. Ini waktunya. Apa benar Darma datang menemui Astri? Astri melihat ke ponselnya, tidak ada pesan masuk dari pria itu. Ah, anggaplah urusannya belum selesai, jadi tidak mungkin Darma datang. "Baiklah, kurasa aman. Pak pengacara ga mungkin ke sini. Dia kan super sibuk," ujar Astri lirih, meyakinkan dirinya. Astri meninggalkan tasnya di kantor bersiap menuju ruang makan untuk makan bersama dengan para guru dan murid. Paling seru saat makan siang. Apalagi biasanya menu sedikit istimewa dibanding saat sarapan atau makan malam. Masuk ruang makan, seperti biasa riuh suara murid