Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol.
Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana."Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih.Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam.'aku tidak penting. titik'Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkelana ke mana-mana. Semua hal pedih dan buruk yang dia alami muncul lagi. Masa-masa berat yang dia harus lewati bergantian mengisi kepalanya.Saat perpisahan orang tuanya yang dia hampir tidak bisa ingat. Dia hanya bisa mengingat ibunya menangis, Julian menangis, dan Wenny juga menangis. Wajah ayahnya yang Wenny tidak bisa ingat dengan baik juga muncul. Pasti pria itu tidak menyayangi Wenny hingga dia pergi dan tak pernah kembali. Dia tidak peduli lagi pada anak perempuannya."Mommy is gone. We are alone now." Tatapan sedih Julian pada Wenny saat ibu mereka meninggal kembali membayang. Julian memeluk Wenny kuat sambil menangis. Wenny juga menangis erat dalam pelukan Julian.Jika mau jujur, Wenny sedih tetapi tidak tahu apakah dia merasa kehilangan ibunya. Sebab ibunya tidak pernah mengurus dia dengan baik. Ibu sering marah dan mabuk. Wenny sering ketakutan kalau ibu mabuk. Dia bicara macam-macam sambil marah-marah. Kadang semua barang bisa dia lempar dan buang, membuat rumah berantakan.Julian akan mengajak Wenny membereskan semuanya. Kalau Wenny bertanya kenapa dengan ibu mereka, Julian akan berkata, ibu sedang sedih dan sakit. Julian yang berjuang memenuhi kebutuhan meskipun dari hasil pekerjaan apa saja yang bisa dia lakukan."Papa dan mama ga sayang aku. Jadi mereka ga peduli. Juan? Gara-gara aku juga dia selalu saja repot. Aku cuma menjadi beban. Lihat aja, aku bikin masalah terus. Buat apa aku hidup?" Wenny membuka mata dan kembali duduk.Dia memandang ke sekeliling kamarnya. Kamar di sebuah asrama, bukan sebuah rumah. Bayangan Wenny tentang keluarga yang bahagia, tak pernah terwujud. Dan pasti tidak akan mungkin terwujud. Orang tua sudah tidak ada bersamanya. Kakaknya satu-satunya tidak bisa disebut keluarga lengkap. Wenny seolah disingkirkan dengan di sekolah berasrama."Lebih baik aku mati." Kalimat itu tiba-tiba datang di pikiran Wenny.Wenny turun dari ranjang dan menuju ke meja belajarnya di sebelah tempat tidur. Di dalam rak di bawah meja, Wenny mengambil kotak obat. Dia membuka kotak itu dan melihat beberapa macam obat di sana. Obat-obatan ini memang perlengkapan pribadi yang dimiliki murid untuk persediaan.Tangan Wenny mengambil asal beberapa pil. Apa saja yang bisa dia pegang. Lalu Wenny membuka bungkus pil-pil itu dan meminum lebih dari sepuluh butir dengan air dari botol minum di meja. Wenny kembali naik ke kasur dan berbaring di sana."Aku akan tidur setelah ini dan ga akan bangun lagi. Semua akan segera selesai. Aku ga akan merepotkan Julian lagi. Aku ga akan bikin susah semua orang," kata Wenny pelan.Tangannya meraih ponsel dan mencari nomor Julian. Bagaimanapun dia harus mengatakan sesuatu sebelum dia meninggalkan segalanya.- Juan, thank you for everything. I am so dumb. But everything will be better from now.Itu saja yang Wenny kirimkan. Lalu dia letakkan lagi ponsel dan memejamkan mata. Wenny berharap dia segera terlelap karena banyaknya obat yang dia minum.*****"Aku ga percaya semua ini. Nena pingsan tiba-tiba, ternyata dia ..." kata Astri di dalam hati.Astri merasa jantungnya seakan mau lepas. Hatinya tidak karuan saat tahu apa yang terjadi dengan Nena salah satu murid kelas 12. Tinggal satu semester lagi dia akan lulus. Sayangnya, dia hamil di luar nikah.Guru-guru dan staf sekolah heboh. Sementara berita kehamilan Nena masih disimpan agar tidak ada murid yang tahu. Astri dan satu staf dapur yang mengantar ke rumah sakit shock saat mengetahui kondisi Nena dari dokter.Nena hanya bisa menangis dan berulang kali berkata maaf pada Astri. Astri merasa tubuhnya gemetar. Bagaimana bisa ini terjadi? Beberapa waktu setelah Nena lebih tenang, baru Astri bicara dan bertanya pada Nena mengenai keadaannya."Siapa yang melakukannya, Nena?" Lembut Astri bertanya. Dia genggam tangan Nena, memberi kenyamanan dan rasa aman agar Nena tidak takut bicara."Bu ... maafkan aku ..." kata Nena lagi dengan air mata kembali mengalir."Ibu harus tahu agar bisa menolong kamu," ucap Astri dengan hati perih. "Kamu punya kekasih?"Nena mengangguk. Dengan terbata-bata Nena mengatakan dia mengenal seorang pemuda di luar sekolah, seorang mahasiswa dari sebuah kampus yang tidak jauh dari sekolah. Hubungan mereka berjalan hampir satu tahun. Awalnya semua baik-baik saja, sampai kekasih Nena mengajak Nena menonton film orang dewasa dan mulai hubungan mereka diisi dengan adegan seperti yang mereka lihat dalam film.Hati Astri terasa pilu. Yang Nena tuturkan kembali mengingatkan kisah dirinya sendiri. Sekalipun pada situasi Astri, dia adalah korban, tetap saja kengerian dari hari-hari itu tidak pernah benar-benar hilang. Astri lebih sering menyibukkan diri agar semua trauma pergi. Astri tidak mengira di depannya, muridnya sendiri harus mengalami kejadian buruk seperti itu."Ibu, aku takut. Aku harus bagaimana?" Dengan air mata kembali menetes, Nena bertanya."Kamu pikirkan kesehatan kamu saja. Setelah itu baru kita akan atur yang lain." Astri mengusap pipi Nena dan mengeringkannya."Apa aku masih bisa sekolah? Orang tuaku mungkin akan mengusir aku, Bu. Mereka pasti benci dan marah sama aku." Dengan terisak Nena mengatakan kekuatirannya.Astri tidak bisa langsung menjawab apa yang Nena katakan. Ini situasi yang tidak mudah, buat Nena, buat keluarganya.Tuuttt!! Tuuttt!! Ponsel Astri berbunyi. Dia keluarkan dari dalam tas dan melihat yang menelpon. Errin, nama yang terbaca di layar ponsel Astri."Ya, halo, Errin. Ibu masih di rumah sakit. Ada yang penting?" tanya Astri. Dia berusaha tetap tenang menerima telpon dari Errin."Bu! Tolong! Wenny, Bu!!" Suara panik yang terdengar.Apa lagi ini?Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri
Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b
Astri ingin menangis mendengar kata-kata Andika. Di situasi sulit itu, sang ayah yang seharusnya meredakan pedih hatinya, sebaliknya justru menambah pilu makin menghujam. "Yah, Pa, aku tahu ..." ucap Astri. Telpon selesai. Tangis Astri kembali meledak. Sedih makin menusuk hati Astri. Semua yang ada di dalam hidupnya seakan berantakan. Dengan orang tuanya, hubungan Astri kurang baik karena Astri tidak bisa mendapatkan pendamping hidup sesuai target yang mereka punya. Dalam pekerjaan, Astri terancam dikeluarkan karena terjadi berbagai persoalan di asrama. Sementara, sekalipun Astri mulai ada rasa pada Julian, selangkah pun Astri belum bisa bergerak mendekat. "Wenny ..." bisik Astri. Tiba-tiba saja, Astri teringat pada Wenny. Gadis itu merasa tertolak dan tidak ada yang peduli. Dia juga merasa semua tidak ada gunanya, seolah-olah lebih baik dia mati. Ah, mengapa perasaan yang sama mulai menyusup di hati Astri? Dia wanita gagal. Masa lalunya yang sangat buruk karena pelecehan membu
Senyum manis di bibir Julian terurai. Cepat-cepat Julian berdiri, melangkah mendekat dan menyalami Astri. "Ibu Astri, apa kabar?" Senyum Julian semakin lebar. Wajah tampan pria bule itu, ya, membuat Astri kembali merasakan sesuatu dengan menatap wajah tampan kakak Wenny. "Saya baik, Tuan. Silakan duduk. Terima kasih Tuan memberi saya waktu untuk bicara. Saya harap ini waktu yang tepat," kata Astri masih dengan senyuman di bibir, tetapi senyum kecil saja. "Apakah Wenny melakukan kesalahan lagi? Bukan masalah yang serius, kan? Sebab, jika memang masalah besar, aku pasti sudah dihubungi," ujar Julian dengan pandangan berubah sedikit tegang. Sudah muncul rasa kuatir di hatinya kalau adiknya berulah lagi. "Ah, Tuan, tidak, tidak sama sekali," sahut Astri dengan senyum lebar sampai menunjukkan giginya yang berderet rapi, sedangkan kepalanya menggeleng keras. "Oh, thank God. So?" Julian menaikkan kedua alisnya, menatap lebih lekat pada Astri. "Wenny makin semangat belajar. Dia lebih t
Dari kalimat yang Julian ucapkan, seolah-olah dia ingin mengatakan tidak nyaman dengan pernyataan Astri. Seketika Astri merasa dia telah salah bicara. Baru saja dia bisa mendapat angin segar mendekat pada Julian, jangan sampai situasi berbalik memaksa Astri menjauh lagi. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ..." "No. Don't worry." Julian menyahut cepat. "Jangan dipikirkan. Aku tidak terlalu senang membicarakan soal rumah dengan orang ..." "Orang lain. Aku paham. Maafkan aku, Juan. Aku tidak akan bertanya apapun jika kamu merasa tidak nyaman. Sekali lagi maaf," ucap Astri. Dia harus meluruskan situasi. "Sorry banget! Errin beneran rempong, deh." Wenny muncul dan kembali duduk di kursinya. Tangannya meletakkan ponsel lalu sibuk lagi dengan makanannya yang masih tersisa setengah. "Kenapa dengan Errin?" tanya Julian. "Dia nitip dibelikan sesuatu. Wali kelas kami mau ulang tahun. Kelas emang mau kasih surprise. Mumpung aku keluar, dia minta aku yang belikan. Ga apa-apa setelah ini kita j
"Besok?" Astri kaget dengan permintaan Darma. Pria itu ternyata mulai beraksi juga mengejar Astri."Ya, kebetulan urusanku akan selesai sebelum makan siang. Kita bisa bertemu sebelum aku pulang." Darma menegaskan.Astri harus mencari cara agar tidak ada kemungkinan Darma dengan dirinya bisa bertemu. "Besok, aku sudah ada jadwal. Lebih padat dari hari ini. Aku tidak bisa," elak Astri.Darma memandang Astri tajam. Wanita di depannya ini ternyata cukup keras. Aneh, ketika di rumah pada pertemuan di rumah keluarga Kamajaya, sikap Astri cukup manis. Tetapi selepas itu, sama sekali belum ada kesempatan Darma dan Astri bertemu lagi."Astri, aku temani Wenny. Kalian bicara saja." Julian menyela pembicaraan Astri dan Darma.Julian merasa dia tidak perlu tahu urusan Darma dan Astri. Tangan Julian menggandeng Wenny dan mengajak adiknya menjauh. Astri tidak mungkin meninggalkan Darma begitu saja. Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan. Seharusnya hari itu makin manis kebersamaan Astri dan J