Wenny bangun dari duduknya begitu melihat pria tampan berdiri di depan pintu.
"Kak!" panggilnya dengan wajah sedikit cemas.Pria itu tidak memperhatikan Wenny. Dia masuk dan menyalami Nirma, juga Astri. Astri terbengong-bengong menatap pria itu."Ini Kak Juan yang Wenny suka sebutkan itu? Oh, my God ..." batin Astri bicara. Melihat tampang pria itu, Astri ingat salah satu artis tampan asal negeri Paman Sam. Kakak Wenny keren abis!"Aku Julian Scott Dawson, kakak Wenny. Minta maaf baru bisa datang siang ini," kata Julian. Suaranya enak didengar. Tidak berat, halus, dan menawan.Melihat tampang dan bicaranya yang masih kental aksen Inggris meski dalam Bahasa, makin menambah satu poin lagi buat Julian di mata Astri. Dan Astri masih belum bisa beralih dari wajah tampan Julian."Terima kasih mau menyempatkan datang di waktu kerja seperti ini. Saya Nirma, guru BK di sekolah ini dan ini ..." Nirma menoleh pada Astri. "... Bu Astrina, Ibu Asrama Wenny.""Oh, hai ..." Julian mengulurkan tangan pada Astri.Astri menyambut tangan Julian. Besar dan kuat. Itu kesan yang Astri tangkap."Silakan duduk," kata Nirma.Julian melepaskan tangan Astrina dan duduk di sebelah Wenny. Julian melihat Wenny dengan kedua alis mengkerut."Are you making another case?" ujar Julian pada adiknya. Dia tidak suka, Wenny kembali membuat ulah. Enak sekali aksennya didengar. Dugaan Astri benar, kakak Wenny lebih bagus bicara dengan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia.Wenny tidak menjawab, dia mengangkat kedua bahunya, sedang bibirnya cemberut."Aku minta maaf, kalau Wenny harus ada di ruangan ini. Bisa dijelaskan kepada aku, apa yang dia telah buat?" Julian memandang Nirma lalu ke arah Astri."Baiklah, saya akan jelaskan Pak Dawson. Saya tidak ingin membuang banyak waktu Bapak. Jadi seperti ini ..." Nirma dengan cepat, ringkas, dan jelas menguraikan dari A sampai Z, apa yang terjadi antara Wenny dan temannya, Leni.Julian memperhatikan dengan seksama. Dia sesekali melirik ke arah Wenny yang masih juga cemberut."Well ... I hope this is the last I come here and I have to fix your misbehavior (aku harap ini terakhr kali aku datang di sini dan aku harus memperbaiki sikap kamu)." Julian menatap tajam pada Wenny."I didn't mean it anyway. I just wanted ... (Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya mau ...)""Enough, you don't need to defend yourself. Just take your responsible. If I find one more, one more trouble at school you make, I'll take you to Canada. (Cukup, kamu tidak perlu membela diri. Ambil tanggung jawab kamu. Jika aku menemukan satu kali lagi, satu kali lagi masalah di sekolah, aku akan mengirim kamu ke Kanada)," kata Julian mengancam Wenny."Kak, no way. Aku lebih suka Indo." Wenny makin kesal.Julian tidak menyahut, dia kembali melihat pada dua guru Wenny."Sekali lagi aku minta maaf. Mohon bantuan Ibu berdua, untuk menolong Wenny. Aku sendiri, harus bekerja dan memang ... agak susah waktu memperhatikan Wenny," ucap Julian serius. Aksen Indonesianya terasa sedikit aneh, tapi tetap enak didengar."Mengenai HP itu, eh ... Leni? Aku akan ganti yang sama. Bisa aku bertemu dengan Leni?" Julian melanjutkan."Aihh, ngapain juga ketemu dia? Kakak ..." Wenny menghentakkan kakinya."Don't make any protest (Jangan protes)," tegas Julian bicara. Tatapannya masih mengandung ancaman.Wenny tidak bisa lagi membantah. Nirma memanggil Leni. Gadis itu pun tidak lama muncul di ruang BK. Dia cukup kaget melihat kakak Wenny yang datang. Gadis muda itu sama seperti Astri, terpana dengan penampilan Julian yang tampan dan keren.Saat Julian menjelaskan akan mengganti ponselnya, seperti bingung bersikap, justru Leni menolak."Ih, ga usah, Kak. Ga apa-apa. Nanti aku minta papa beli lagi aja. Ga masalah, kok. Wenny juga udah minta maaf," kata Leni.Wenny mengerutkan kening dengan tingkah temannya yang menurutnya tidak sinkron itu. Nirma dan Astri juga merasa Leni jadi kikuk berhadapan dengan Julian."No, don't worry. Ini tanggung jawab Wenny. Dia yang akan mengganti, bukan aku," tukas Julian menegaskan."Kak, maksudnya gimana, sih?" Wenny jadi bingung."Sorry, I am not finished with Leni," jawab Julian. Dia balik melihat pada Leni. "Aku akan kirim HP yang sama seperti ini, paling lambat besok. Oke? Urusan yang lain aku akan selesaikan dengan Wenny. Aku pastikan Wenny tidak akan mengganggu kamu lagi.""Kak, beneran, ga usah. Aku ga minta ganti juga, kok. Cuma kesal dikit sama Wenny," tolak Leni."Leni!" Astri memanggil. Gadis itu menoleh pada ibu asramanya. Astri melanjutkan, "Tidak ada alasan kamu menolak. Itu bukti tanggung jawab Wenny kepada kamu. Itu inti pertemuan kita. Wenny menyadari kesalahannya, kamu pun akan belajar memaafkan, dan bertindak lebih tepat kepada orang lain.""Iya, Bu, baiklah," ucap Leni akhirnya.Nirma menambahkan sedikit lagi nasihat pada dua murid itu, lalu meminta Leni dan Wenny meninggalkan ruangan karena mereka harus meneruskan kegiatan selanjutnya. Sementara Nirma juga undur diri, karena dia harus menjemput anaknya dari sekolah dasar.Tinggal Astri dan Julian berdua. Julian merasa mendapat kesempatan yang baik sebab bisa berjumpa dengan ibu asrama Wenny."Ini momen baik kurasa. Aku senang, bisa bertemu Ibu ..." Julian belum mengingat nama Astri."Saya Astri." Astri memandang Julian. Tampan. Tampan yang unik. Paduan Indonesia dan Kanada yang indah di mata Astri. Lebih kuat sisi Kanada, bahkan Astri hampir yakin Julian seratus persen bule."Ibu asrama Wenny, benar?" Julian memastikan dia tidak salah mengenali."Ya, benar." Astri mengangguk."Jika tidak keberatan, aku ingin tahu seperti apa hidup di asrama? Bagaimana Wenny selama ini di antara teman-temannya?" Julia melanjutkan pertanyaannya.Astri tersenyum. Dia mengangguk. Mulailah Astri bertutur. Julian tampak serius memperhatikan. Sesekali dia bertanya ini dan itu yang dia perlu penjelasan lebih. Astri dengan sabar menjawab, semaksimal mungkin membuat Julian paham tujuan dari semua aturan dan kegiatan yang dilakukan di sekolah."Cukup ketat. Murid laki-laki dan perempuan dijaga tidak mudah bergaul dekat, tidak memberi peluang mereka lupa belajar. It is good." Kesimpulan terakhir Julian."Benar. Masing-masing asrama ada pengawas. Di asrama putri, itu tanggung jawab saya, sedang di asrama putra, ada juga yang bertanggung jawab di sana." Astri kembali menegaskan."Hmm, aku tidak salah menye ... kolahkan Wenny di sini. Awalnya aku memilih dia berasrama karena aku tidak bisa mengawasi dia. So, aku berharap di sekolah ada guru dan teman, mereka akan menolong Wenny banyak. Really, thanks a lot for all." Julian tersenyum lega."You are welcome, Mr, Dawson," kata Astri menimpali."Aku harus pergi." Julian berdiri dan mengulurkan tangan.Astri menerima tangan kuat pria tampan itu, mereka bersalaman. Julian berbalik dan menuju ke pintu. Astri hanya menatap saja, tapi rasa kagum mulai hadir di hati Astri terhadap pria itu."Well, sorry ..." Julian tiba-tiba berbalik."Yes, Sir?" Astri menyahut."Maybe ... aku bisa minta nomor Ibu Astri?" Julian kembali masuk beberapa langkah. "Aku bisa menghubungi sewaktu-waktu, jika kurasa perlu.""Oh, ya, tentu." Dengan cepat Astri mengeluarkan ponsel.Pertukaran nomor terjadi. Ada sesuatu mengalir di dada Astri. Girang, itu yang dia rasa."Thank you once more time. And see you ..." Julian melambai sambil tersenyum.Astri terkesima. Senyum Julian membuat ketampanannya seolah naik level berlipat. Dengan dada berdebar-debar, mata Astri mengikuti ke mana Julian melangkah."Aku ga pernah kayak gini kalau ketemu cowok. Apa aku tertarik pada kakak Wenny?" bisik hati Astri.Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar. Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk. "Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah. "Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny. "Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya. "Yaa!" seru Wenny gusar. "Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona? "Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya. "Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang s
Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol. Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana. "Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih. Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam. 'aku tidak penting. titik' Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkel
Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri
Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b
Astri ingin menangis mendengar kata-kata Andika. Di situasi sulit itu, sang ayah yang seharusnya meredakan pedih hatinya, sebaliknya justru menambah pilu makin menghujam. "Yah, Pa, aku tahu ..." ucap Astri. Telpon selesai. Tangis Astri kembali meledak. Sedih makin menusuk hati Astri. Semua yang ada di dalam hidupnya seakan berantakan. Dengan orang tuanya, hubungan Astri kurang baik karena Astri tidak bisa mendapatkan pendamping hidup sesuai target yang mereka punya. Dalam pekerjaan, Astri terancam dikeluarkan karena terjadi berbagai persoalan di asrama. Sementara, sekalipun Astri mulai ada rasa pada Julian, selangkah pun Astri belum bisa bergerak mendekat. "Wenny ..." bisik Astri. Tiba-tiba saja, Astri teringat pada Wenny. Gadis itu merasa tertolak dan tidak ada yang peduli. Dia juga merasa semua tidak ada gunanya, seolah-olah lebih baik dia mati. Ah, mengapa perasaan yang sama mulai menyusup di hati Astri? Dia wanita gagal. Masa lalunya yang sangat buruk karena pelecehan membu
Senyum manis di bibir Julian terurai. Cepat-cepat Julian berdiri, melangkah mendekat dan menyalami Astri. "Ibu Astri, apa kabar?" Senyum Julian semakin lebar. Wajah tampan pria bule itu, ya, membuat Astri kembali merasakan sesuatu dengan menatap wajah tampan kakak Wenny. "Saya baik, Tuan. Silakan duduk. Terima kasih Tuan memberi saya waktu untuk bicara. Saya harap ini waktu yang tepat," kata Astri masih dengan senyuman di bibir, tetapi senyum kecil saja. "Apakah Wenny melakukan kesalahan lagi? Bukan masalah yang serius, kan? Sebab, jika memang masalah besar, aku pasti sudah dihubungi," ujar Julian dengan pandangan berubah sedikit tegang. Sudah muncul rasa kuatir di hatinya kalau adiknya berulah lagi. "Ah, Tuan, tidak, tidak sama sekali," sahut Astri dengan senyum lebar sampai menunjukkan giginya yang berderet rapi, sedangkan kepalanya menggeleng keras. "Oh, thank God. So?" Julian menaikkan kedua alisnya, menatap lebih lekat pada Astri. "Wenny makin semangat belajar. Dia lebih t