Astri berdiri di depan gerbang sekolah. Hampir jam setengah sembilan pagi. Hari cerah dengan matahari terang bersinar. Suasana terasa menyenangkan, apalagi terdengar suara riuh kelas yang sedang berolahraga di lapangan basket. Dari salah satu kelas terdengar suara tawa gembira.
Sayangnya, hari yang manis itu tidak membuat senyum dan wajah Astri ceria. Ultimatum papanya membuat dia masih galau. Sebelum balik ke sekolah, Andika kembali mengingatkan soal pria pendamping Astri. Astri mampu segera menemukannya atau dipanggil pulang untuk berlanjut hubungan dengan Darma."Gara-gara Papa ... hariku benar-benar redup di tengah panas kayak gini." Astri bergumam resah.Kembali Astri melangkah menuju ke asrama. Dia menyimpan barang-barangnya, berganti pakaian, lalu pergi ke kantor. Saat melintas di depan ruang tim pembimbing siswa, Astri mendengar suara seorang murid bicara dengan keras bernada marah."Nggak kayak gitu, Bu! Wenny bohong!""Aku ga bohong! Kamu saja yang lebay, Len. Cuma kesenggol sedikit tanganku, udah jatuh sendiri!" Teriakan balasan terdengar lebih keras."Hei, kalau berani berbuat berani bertanggung jawab! Pengecut!" Suara yang pertama kembali terdengar."Siapa yang pengecut!? Kamu emang suka ngadu!" Balasan kembali terlontar keras.Astri mendekat ke pintu yang terbuka. Di dalam tampak dua orang murid, Wenny dan Leni, bersitegang. Mereka berhadapan seperti hendak berkelahi. Sementara guru BK duduk di belakang meja memandang keduanya dengan tatapan bingung."Sudah! Kalian berhenti!" ujar guru BK itu. Tangannya memukul meja untuk memaksa keduanya berhenti saling berteriak.Wenny dan Leni pun berhenti, saling menatap dengan wajah marah."Ibu Astri! Mari masuk! Kurasa aku perlu saksi untuk mengurus dua gadis ini!" Guru itu tampak lega saat melihat Astri di pintu ruangan.Astri melangkah masuk, berdiri di antara kedua murid itu."Ini ada apa, sih? Dari luar kedengaran keras kalian ribut," kata Astri."Bu Astri, kalau tanya ke mereka lagi, ga akan ada habisnya. Satu bilang begini, satu bilang begitu. Ini bisa menghabiskan waktu ga ada guna," ujar guru BK yang usianya kira-kira beberapa tahun di atas Astri."Hmm, sepertinya kalian pingin diperlakukan lebih tegas, ya? Setuju dengan saya, Bu Nirma?" Astri melipat kedua tangan di dada sambil memperhatikan Leni dan Wenny bergantian."Kurasa iya. Aku sih, dengan senang hati menjatuhkan disiplin pada mereka," tutur Nirma."Bu, jangan! Aku ga mau sampai kakakku tahu!" Wenny langsung menyahut.Kedua tangannya menyatu seperti berdoa, memohon dengan memelas. Disiplin berarti akan ada kabar ke rumah tentang kelakuan buruk murid di sekolah."Tidak bisa, Wenny. Aturan sekolah harus ditegakkan. Kamu paham itu, bukan?" Nirma bicara makin tegas."Bu, please, Bu, jangan sampai kakakku tahu soal ini," sahut Wenny dengan nada mulai ketakutan."Kalau begitu, duduklah. Kalian berdua. Jujur katakan apa yang terjadi, tanpa membela diri, tanpa menyalahkan yang lain. Jelas?" Astri bicara tegas juga pada keduanya.Leni dan Wenny tidak mengelak. Mereka mengambil tempat, duduk bersebelahan di depan meja Nirma. Astri mengambil kursi dan duduk di samping Nirma.Maka meluncur cerita bagaimana Leni menemukan ponselnya jatuh dan pecah. Leni mengatakan dia melihat Wenny sengaja menjatuhkannya. Menurut Leni, Wenny memang tidak suka dengannya dan selalu mencari cara membuat hidup Leni sial. Astri ingin tertawa mendengar itu. Sepertinya terlalu berlebihan kalau Leni mengatakan Wenny selalu ingin membuat dia sial."Ga gitu, Bu!" Wenny menyahut tidak terima dengan yang Leni katakan."Wenny, tunggu sampai Leni selesai," sahut Nirma.Wenny cemberut. Dia mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Kedua tangan dia lipat, sedang wajahnya manyun, dan matanya melihat ke arah luar pintu.Leni meneruskan penuturannya apa yang sebenarnya terjadi menurut versi Leni sendiri. Wenny sesekali menggeleng kesal dengan apa yang Leni ucapkan."Kayak gitu, Bu. Pokoknya aku ga mau tahu, Wenny harus tanggung jawab!" ujar Leni dengan wajah geram."Leni, sekarang biarkan Wenny yang bicara, oke?" Nirma berkata tegas.Wenny menoleh pada Nirma. Tapi dia enggan membuka mulutnya."Buat apa aku cerita? Karena aku pasti ga dipercaya," tukas Wenny. Dia bicara santai, tidak dengan nada tinggi seperti sebelumnya, tapi jelas masih tidak terima kalau dia disalahkan."Wenny, kamu tahu mengapa kita harus bicara bersama. Kamu juga paham mengapa Leni dan kamu harus mengatakan apa yang terjadi." Astri berusaha tetap tenang, tidak terpancing situasi yang panas di ruangan itu.Wenny melirik Astri. "Biar jelas persoalannya. Lalu bisa tahu kebenarannya, dan akan diambil keputusan yang adil.""Tepat sekali." Nirma menyahut. "Karena itu, kamu harus jujur, mengatakan apa adanya."Astri dan Irma menatap pada Wenny. Yang kesekian kali, Wenny masuk ruang BK, bermasalah dengan temannya. Gadis cantik dengan rambut coklat kemerahan tebal seleher itu sudah mendapat julukan troublemaker. Ternyata sudah mau naik kelas 11 juga, dia belum berubah."Oke, aku akan katakan saja." Suara Wenny sedikit naik. "Aku memang menyenggol ponsel Leni. Biar saja jatuh dan hancur, sama kayak dia hancurin hati Shesa, rebut Kelvin, ga mikir perasaan teman."Astri dan Nirma saling memandang. Mereka ingin sekali tertawa mendengar itu. Tapi keduanya menahan diri, menarik napas dalam. Ternyata pasalnya adalah soal teman laki-laki."Siapa yang rebut? Kelvin yang deketin aku! Kalau Shesa juga suka Kelvin, bukan urusanku." Leni sewot."Sudah, cukup!" Nirma menengahi. "Apapun alasannya, Wenny sudah mengakui, dia sengaja melakukannya. Dan itu salah.""Bu, aku cuma ...""Tidak ada cuma. Kalau memang Leni bertindak sesuatu yang tidak benar, bukan dengan cara itu kamu mau menunjukkan kalau Leni salah. Kamu mengerti maksud Ibu?" ujar Nirma."Iya, Bu," kata Wenny. Hidungnya yang tinggi memerah. Makin tampak jika wajah cantik Wenny bukan murni Indonesia. Wenny paham yang Nirma katakan, tapi tidak sepakat. Wenny jelas masih tampak kesal."Kalau begitu, kamu tahu apa tanggung jawab yang harus kamu lakukan." Nirma melanjutkan."Ya, aku akan ganti ponsel Leni. Berapa, sih? Paling tiga juta doang," tandas Wenny."Enak saja. Kamu emang kudet. Itu keluaran terbaru, hampir delapan juta, tahu!" tukas Leni."Apa?!" Wenny kaget dan melotot lebar. "Ga mungkin!""Perlu aku tunjukkan notanya, Sis!?" sahut Leni sinis."Sudah. Kalian bisa tidak belajar bersikap dewasa?" Astri kesal juga melihat keduanya terus saja ribut."Iya, Bu." Leni dan Wenny menyahut bareng.Nasihat meluncur dari bibir Astri untuk Wenny dan Leni. Mereka harus bisa saling memaafkan. Menerima kesalahan dan bersedia memperbaiki diri. Keduanya tidak ada yang bisa dibenarkan.Selesai itu Leni diizinkan kembali ke kelas. Sedangkan Wenny, sekalipun dengan berat hati, dia akhirnya menerima konsekuensi dari yang dia lakukan. Nirma menghubungi wali Wenny untuk datang ke sekolah."Bu, aku ga mau bikin Kak Juan marah. Kenapa harus dia datang, sih?" Wenny bicara lirih di dekat Astri, setengah berbisik."Orang tua kamu harus tahu, Wenny. Karena ... ini bukan kali pertama juga ...""Aku ga ada orang tua, Bu. Kak Juan itu sibuk. Dia jadi ikut ribet, aduh ..." Wenny terlihat kesal, tetapi bukan marah. Lebih terkesan cemas."Bu Astri, kalau nanti wali Wenny datang, aku masih perlu Bu Astri menjadi saksi." Nirma melihat pada Astri dengan serius."Ya, tidak masalah, Bu Nirma." Astri mengangguk.Siang itu, kira-kira jam dua, yang ditunggu datang. Pria dengan tubuh tinggi tegap dan gagah, kulitnya putih bersih, berambut ikal kecoklatan, hidung bangir bagus, bibir tipis dan sensual, berdiri di depan ruang BK. Matanya memandang pada Astri yang duduk melihat ke arah pintu.Wenny bangun dari duduknya begitu melihat pria tampan berdiri di depan pintu. "Kak!" panggilnya dengan wajah sedikit cemas. Pria itu tidak memperhatikan Wenny. Dia masuk dan menyalami Nirma, juga Astri. Astri terbengong-bengong menatap pria itu. "Ini Kak Juan yang Wenny suka sebutkan itu? Oh, my God ..." batin Astri bicara. Melihat tampang pria itu, Astri ingat salah satu artis tampan asal negeri Paman Sam. Kakak Wenny keren abis! "Aku Julian Scott Dawson, kakak Wenny. Minta maaf baru bisa datang siang ini," kata Julian. Suaranya enak didengar. Tidak berat, halus, dan menawan. Melihat tampang dan bicaranya yang masih kental aksen Inggris meski dalam Bahasa, makin menambah satu poin lagi buat Julian di mata Astri. Dan Astri masih belum bisa beralih dari wajah tampan Julian. "Terima kasih mau menyempatkan datang di waktu kerja seperti ini. Saya Nirma, guru BK di sekolah ini dan ini ..." Nirma menoleh pada Astri. "... Bu Astrina, Ibu Asrama Wenny." "Oh, hai ..." Julian mengulurka
Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar. Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk. "Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah. "Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny. "Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya. "Yaa!" seru Wenny gusar. "Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona? "Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya. "Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang s
Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol. Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana. "Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih. Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam. 'aku tidak penting. titik' Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkel
Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri
Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b
Astri ingin menangis mendengar kata-kata Andika. Di situasi sulit itu, sang ayah yang seharusnya meredakan pedih hatinya, sebaliknya justru menambah pilu makin menghujam. "Yah, Pa, aku tahu ..." ucap Astri. Telpon selesai. Tangis Astri kembali meledak. Sedih makin menusuk hati Astri. Semua yang ada di dalam hidupnya seakan berantakan. Dengan orang tuanya, hubungan Astri kurang baik karena Astri tidak bisa mendapatkan pendamping hidup sesuai target yang mereka punya. Dalam pekerjaan, Astri terancam dikeluarkan karena terjadi berbagai persoalan di asrama. Sementara, sekalipun Astri mulai ada rasa pada Julian, selangkah pun Astri belum bisa bergerak mendekat. "Wenny ..." bisik Astri. Tiba-tiba saja, Astri teringat pada Wenny. Gadis itu merasa tertolak dan tidak ada yang peduli. Dia juga merasa semua tidak ada gunanya, seolah-olah lebih baik dia mati. Ah, mengapa perasaan yang sama mulai menyusup di hati Astri? Dia wanita gagal. Masa lalunya yang sangat buruk karena pelecehan membu