Share

Silvi tak terima aku tak mencuci bajunya

"Mbak Arini baru bangun, ya?" tanya Mbak Dita, tetangga sebelah.

"Iya, Mbak. Semalem kebangun, baru bisa tidur hampir subuh, eh, malah jadi kesiangan," jelasku.

"Sama Mbak, aku juga baru bangun. Lagi datang bulan, jadi puas-puasin tidur, deh!" balasnya dengan ketawa cekikikan. Aku tergelak, perutku tergelitik mendengar ucapan Mbak Dita. 

"Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku.

Mbak Dita terlihat berpikir sebelum akhirnya membalas ucapanku.

"Masih bingung, Mbak Rin," balasnya. Aku ber-oh ria menanggapi.

Setelahnya, aku bergegas memilih sayuran. Kuambil Dua ikat bayam, satu plastik jagung isi tiga buah, setengah kilo daging ayam, dan satu papan tempe. Makanan kesukaan Mas Hilman.

"Berapa, Mang?" tanyaku sembari menunjukkan belanjaanku.

"Bayam dua ikat empat ribu, jagung empat ribu, daging ayam sembilan belas ribu, tempenya lima ribu. Semua jadi tiga puluh dua ribu, Neng!" jelasnya.

Aku berlari kecil memasuki rumah setelah membayar belanjaan. Kulihat Ibu sedang menonton TV sembari memakan kuaci, kulitnya berserakan, seolah sengaja di buang ke sembarang arah. Padahal tempat sampah sudah terletak jelas di sampingnya. 

Aku melanjutkan langkahku, mencoba abai dengan apa yang aku lihat. Setelah meletakkan bahan mentah di dapur, aku bergegas ke kamar, ingin melaksanakan shalat subuh yang tak sengaja kutinggal. Urusan diterima atau tidak, itu urusan yang di atas.

 

Aku meraih ponsel di atas nakas setelah menyelesaikan dua rakaatku. Kutekan nomor Silvi, menghubunginya. Aku ingin menanyakan kenapa sampai sekarang dia dan Mas Hilman belum pulang. Akan tetapi sudah tiga kali aku memanggil, namun Silvi tak juga menjawab nya. Dosakah jika aku berburuk sangka kalau Silvi memang sengaja tak  mengangkat panggilanku? mengingat selama ini gadis itu tak pernah lepas dari ponselnya. Berak saja ia bawa, apalagi aktifitas lainnya.

Aku menghembuskan napas kasar, pikiranku jadi kemana-kemana.

"Rin! sudah jam berapa, ini. Kok gak cepat di masak!" seru Ibu dari luar. Aku bergegas melepas mukenaku, kemudian keluar kamar.

"Ngapain sih, di kamar terus. Lihat tu, pekerjaan numpuk!" ucapnya.

"Arini habis shalat, Bu. Semalam Arini kebangun karena Mas Hilman belum pulang. Apa Silvi tidak mengabari Ibu?" tanyaku.

"Kalo belum pulang, berati mereka masih ada urusan. Gitu aja kok dibuat repot!" balas Ibu ketus. 

Aku menghela napas, pantaskah aku membalas ucapan Ibu ... Sudah di uji dengan Ipar tak tau diri, sekarang ujianku malah bertambah. Mertuaku mulai ikut-ikutan.

"Sudah, masak sana! Ibu mau ke rumah, si Marni!" ucapnya kemudian berlalu. Aku memutar bola mata, malas. Untuk apa Ibu ke rumah Bu Marni, jika bukan bergosip ria. 

Belum sempat aku melangkah ke dapur, aku mendengar suara motor Silvi memasuki halaman, diiringi teriakannya yang memanggil Ibu seperti kegirangan. Merasa penasaran, aku melihat ke depan. Kulihat Silvi menenteng tas belanjaan yang tak sedikit.

"Bu, lihat, deh, Bu! bagus kan?" ucapnya.

Ibu masih terlihat kebingungan sebelum akhirnya ia membua suara.

"Dari mana ini semua, Sil. Masmu mana?" tanya Ibu.

"Nanti aku ceritain, ayo kita masuk, Bu!" 

"Mas Hilman, mana Sil?" tanyaku, saat Silvi memasuki rumah.

"Udah berangkat kerja!" jawabnya ketus. Matanya melirik sinis ke arahku.

"Lo, kok gak pulang dulu. Bekalnya gimana, dan kenapa kamu baru pulang. Semalam kalian kemana?" tanyaku bertubi-tubi. Bisa-bisanya Mas Hilman sama sekali tak memberi kabar, apa dia pikir aku tidak mencemaskannya.

"Tanya saja nanti sama Mas Hilman sendiri!" balasnya.

"Ayo Bu, kita ke kamar!" Silvi kemudian berlalu, dia sama sekali tak menperdulikanku.

Sesaat aku masih berdiri di tempat, mataku mengembun karena menahan tangis. Betapa Ibu dan Silvi tidak menghargaiku sebagai keluarganya. Apa salahku?

 Aku menghembuskan napas berat, kuusap air mataku. Aku harus tegar sampai saat itu tiba. Secepatnya aku harus meminta keputusan Mas Hilman tentang keinginanku pisah rumah. Aku takut jika suatu saat aku bisa lepas kendali dan membalas perlakuan mereka nantinya.

Suara dering ponsel membuyarkan pikiranku. Gegas aku masuk ke dalam kamar, menjawab panggilan. Nama 'Ibu tersayang' tertera jelas di layar. Demi apapun, moodku seketika membaik melihat siapa yang menelfon.

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam, Rin," jawabnya.

"Ibu apa kabar, Arini kangen sama Ibu," ujarku.

"Kalo kangen, ya main kesini dong, Rin. Sudah lama juga kamu gak gak sambang ke rumah. Ibu jadi kangen sama kamu."

"Maaf, Bu. Mas Hilman akhir-akhir ini sering lembur. Pulang kerja udah capek katanya," balasku bohong. Padahal sebenarnya, Mas Hilman selalu beralasan jika aku mengajaknya menyambangi orang tuaku. Dia selalu menjanjikan hari libur untuk membawaku kesana. Tapi nyatanya, hari liburnya selalu ia habiskan untuk tidur, atau mancing bersama teman-temannya. Jika saja aku mau, aku bisa pergi sendiri. Akan tetapi tak pantas rasanya jika Mas Hilman tidak ikut juga. Terlebih kami masih penganting baru.

"Ya sudah, gak papa. Ibu maklum, tapi minggu ini kamu bisa kan, sempatin waktu kesini. Ada hal penting yang ingin Ibu dan Bapak bicarakan sama kamu," jelas Ibu.

"Iya, Bu. Arini usahakan kesana, nanti aku bicarakan lagi dengan Mas Hilman," balasku dengan perasaan berbunga. Permintaan Ibu bisa dijadikan alasan agar Mas Hilman tak bisa menolaknya.

"Ya sudah, Ibu tunggu, ya. Nanti Ibu masakin opor ayam kesukaan kamu," Ucapan Ibu membuat perutku terasa lapar, hidungku reflek menghirup dalam-dalam sembari membayangkan aroma masakan Ibu yang tiada tandingannya.

"Makasih, Bu. Arini pasti kesana." 

"Ya sudah, kamu lanjut sana. Masih pagi, pasti pekerjaan belum selesai. Ibu tutup telfonnya ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Bu," balasku, setelahnya sambungan terputus. Kuletakkan kembali ponsel di atas nakas, kemudian keluar.

Jika biasanya aku memanggil Ibu dan Silvi saat masakan sudah matang, namun tidak untuk kali ini. Aku malas meladeni mereka.

Setelah sarapan, aku lanjut mencuci baju. Aku terdiam sejenak ketika memegang baju milik Silvi. Mungkin tidak apa-apa jika hari ini aku tak mencuci miliknya. Hitung-hitung untuk membalas perbuatannya padaku. Namun jika karena ini sikapnya semakin buruk, maka hari ini juga aku tak kan mau menyentuh baju kotornya.

"Loh, Mbak, bajuku kok gk di cuciin!" ucap Silvi, menghampiriku yang tengah menjemur baju. 

"Aku capek, Sil," balasku tak mengalihkan pandangan. Biar dia tahu, bagaimana rasanya dihiraukan.

"Capek gimana, sih Mbak. Tiap hari juga dirumah terus, kerjaan cuma itu-itu aja. Mas Hilman itu sudah kasih makan dan tinggal disini. Sudah seharusnya Mbak mengerjakan semuanya! termasuk milikku yang kotor!" sungutnya, wajah ketusnya semakin membuatku terasa panas. Aku menghentikan aktifitasku, kubalas tatapan Silvi dengan sinis. Niat hati ingin memberi pelajaran biar sadar, eh, malah nglunjak. Memang harus dilawan ipar model begini.

"Lah, kok jadi bawa-bawa makan dan tempat tinggal. Itu memang sudah tugas Mas Hilman lah, Sil. Aku ini istrinya. Kewajibanku hanya pada Mas Hilman, bukan padamu! memangnya selama ini kamu ngapain? cuma rebahan doang, kan? masa cuci baju sendiri saja ogah!" balasku tajam, kulihat Silvi semakin geram. 

"Udah mulai berani, ya, kamu sekarang!" balasnya, tatapannya semakin tajam seolah ingin menerkamku. Apalagi kali ini dia berani menyebutku dengan kata 'kamu'

Aku tersenyum sinis. "Apa kamu pikir, selama ini aku diam karena takut. Tidak! memang tiga bulan ini aku diam dan bersikap baik padamu, itu karena aku menjaga sikap sebagai orang baru. Namun ternyata, aku bersikap pada orang yang salah!" 

"Mbak!"

"Apa? mau ngadu ke Ibu dan Mas Hilman? silahkan!" sahutku sebelum Silvi melanjutkan ucapannya. Kulihat Silvi wajahnya merah padam, mungkin ia tak menyangka jika aku bisa melawannya.

"O, iya. Katanya mau kondangan pagi ini, Berangkat sana! kamu pasti sudah dibeliin baju sama Mas Hilman semalam, kan?" lanjutku dengan santai.

Silvi menghentakkan kakinya, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam rumah. Dia pasti langsung mengadu ke Ibu dan mengadu domba. Biarlah, aku tak peduli jika Ibu semakin membenciku.

Aku melanjutkan kembali pekerjaanku, setelahnya masuk ke dalam. Akan tetapi, baru selangkah kakiku meninjak teras, Ibu sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah menakutkan. Napasnya terlihat kembang kempis seperti dikuasai emosi. Membuat nyaliku seketika menciut.

"Kenapa kamu tidak mencuci baju Silvi, hah!" ucapnya penuh amarah. Benar saja, dugaanku sama sekali tak meleset. Silvi langsung mengadu pada Ibu.

Aku mengampil napas dalam, sebelum akhirnya berucap. Mengumpulkan keberanian.

"Bukan kewajibanku melakukanya, Bu. Lagipula baru kali ini aku tak mencucinya. Arini capek, baju kotor milik Silvi terlalu banyak karena dia sering gonta-ganti seolah sengaja membuat pekerjaanku semakin banyak," jawabku.

"Itu sudah tugasmu dan kewajibanmu sebagai menantu disini, Rin!"

"Bukan, Bu. Itu bukan tugas Arini, dan kewajibanku hanya pada Mas Hilman. Aku sangat menghormatimu, Bu. Jadi tolong, jangan buat Arini berani melawan Ibu nantinya. Ibu pasti tau mana yang benar dan yang salah. Bukan berarti Silvia putri kandung Ibu, lantas Ibu selalu membelanya meskipun dia salah." 

"Arini, jaga ucapanmu!" balas Ibu tak terima.

"Permisi, Bu. Arini capek, mau istirahat. Nanti suruh Silvi saja menyapu, supaya dia merasakan pekerjaan yang katanya hanya itu-itu saja," ucapku santai, kemudian berjalan melewati Ibu yang masih berdiri di ambang pintu dengan wajah tak percaya.

Aku menghentikan langkahku, menoleh ke belakang.

"Satu lagi, Bu. Mulai hari ini, suruh Silvi mencuci bajunya sendiri. Jangan sampai dia tidak bisa melakukannya kelak saat ia di perlakukan sama sepertiku di keluarga suaminya," lanjutku, Ibu langsung membalikkan badannya menatapku tajam. Aku tak peduli, kulanjutkan langkahku hingga memasuki kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status