Share

Mas Hilman kemana

"Gimana, sih, Mas! aku kan sudah bilang lewat WA, tadi!" sungutnya sembari menghentakkan kaki. Pantas saja tadi Mas Hilman sempat melihat ponsel. Ternyata itu dari Silvi.

"Ya, gimana Dek! Mas lupa. Besok saja, pulang kerja kubelikan," bujuk Mas Hilman.

Aku melirik malas. Silvi persis seperti anak kecil. Mas Hilman, juga. Dia terlalu memanjakan adiknya.

"Jadi, Silvi sudah pesan Mie ayam. Kenapa bisa lupa sih, Man-Man ... gak biasanya juga kamu mengabaikan permintaan Silvi," sahut Ibu, matanya melirikku sinis, seakan aku yang membuat Mas Hilman lupa.

"Mas, kita shalat sekarang. Udah adzan Maghrib juga," ajakku.

"Eh, Rin! kamu gak liat, Ibu belum selesai ngomong sama Hilman? shalat duluan sana!" sungut Ibu. Benar sekali dugaanku, Ibu akan seterusnya seperti ini. Mertuaku itu seolah mencari gara-gara. Niat hati ingin mengalihkan pembicaraan, eh, malah jadi salah lagi.

"Yaudah, Mas. Aku shalat duluan, ya," ucapku, kemudian memasuki kamar.

"Arini ngomong apa saja sama kamu!" suara Ibu terdengar jelas dari kamar. Entah, mungkin Ibu sengaja meninggikan suaranya agar terdengar olehku.

"Ngomong apa, sih, Bu. Gak ada!" sanggah Mas Hilman lirih.

"Jangan bohong, Man! Ibu sudah tahu sifat Arini," jelas Ibu membuat hatiku berdenyut. Sifat yang mana? aku ingin bertindak bodoh dengan keluar untuk membalas ucapan Ibu. Tapi aku masih berpikir waras.

"Gak ada, Bu. Yaudah, aku mau shalat dulu," terdengar langkah Mas Hilman mendekati pintu, namun langkahnya kembali terhenti.

"Eh, eh! Mie ayamku gimana, Mas?" Itu suara Silvi. Benar-benar, makanan lupa saja dipermasalahkan.

"Ya gimana, Sil! masa kamu tega nyuruh Mas keluar lagi."

"Yaudah, aku beli sendiri. Mana uangnya!" Bisa kutebak raut wajah silvi sekarang. Dia pasti tengah cemberut dan menadahkan tangan, menunggu Mas Hilman memberikan uang.

"Tadi sore, kan udah Mas kasih?"

"Itu beda, Mas!" rengeknya, membuatku ingin muntah saja.

 Aku menghela napas berat. Mas Hilman tak pernah bicara padaku jika dia habis memberikan uangnya pada Silvi. Meski aku selalu mendengarnya sendiri, namun aku ingin kata itu keluar langsung dari mulut Mas Hilman. Setidaknya aku merasa dihargai sebagai istrinya.

"Berapa uang yang kamu kasih ke Silvi?" tanyaku saat Mas Hilman memasuki kamar.

"Dua puluh ribu," jawabnya datar.

"Lain kali, kasih dia uang yang pas!" ucapku ketus. Kulihat Mas Hilman hanya menggaruk tengkuknya.

Usai shalat. Aku mendekati Mas Hilman. Bermaksud menanyakan keinginanku tadi.

"Gimana, Mas?" tanyaku

"Apa?" lihatlah, betapa polosnya suamiku itu.

"tentang keinginanku tadi," jelasku mulai malas.

"Kita bicarakan besok saja, ya."

"Kamu harus membuat keputusan, Mas. Iya, atau tidak!"

"Mengertilah, Rin. Jika aku tidak disini, siapa yang akan menjaga Ibu dan Silvi?" ucapnya, samasekali tak memikirkan perasaanku.

"Lalu, bagaimana dengan aku? aku tahu, Mas. Setiap pernikahan pasti memiliki ujiannya masing-masing. Aku paham itu."

"Kamu paham, tapi kenapa kamu ingin menghindarinya, Rin," sahutnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku. Raut wajahnya terlihat jelas jika Mas Hilman keberatan dengan permintaanku.

"Mas, kamu tahu, kan. Tidak mungkin ada dua ratu dalam satu istana. Aku bukan bermaksud menghindari masalah. Aku hanya ingin mencegah apa yang belum terjadi," jelasku, membujuk.

"Apa yang akan terjadi itu tergantung kamu Rin. Kamu hanya perlu diam dan bersabar, atas perlakuan Silvi atau Ibu. Hanya itu, anggap mereka seperti keluarga kandungmu, maka kamu tak akan merasa tertekan. Jangan mengeluh hanya karena satu masalah sepele yang bahkan masih pertama kali terjadi. Kamu itu sekarang seorang Istri, sudah kewajibanmu mematuhi aku--suamimu," Mas Hilman begitu lancar berucap. Dia seolah abai dengan perasaanku sebagai istrinya. Seperti inikah sifat suamiku?

"Mas!" ucapku melihat Mas Hilman berdiri. Kali ini, tak kan kubiarkan Mas Hilman menghindar.

"Kamu bilang aku sekarang seorang Istri. Tapi jangan lupa, kamu sekarang juga seorang Suami, Mas!" Aku menghembuskan napas berat. Sebelum akhirnya melanjutkan ucapanku.

 "Sekarang aku yang tanya padamu, sudahkah Mas memenuhi kewajiban selama ini?" tanyaku, perasaanku kali begitu sulit untuk digambarkan. Sakit. Mas Hilman sungguh terang-terangan mengabaikan apa yang kurasa.

"Kewajiban yang mana, Rin. Semua sudah kulakukan. Aku menafkahi dan memberimu tempat tinggal," balasnya begitu ringan, seperti kapas yang terjatuh tanpa dosa. 

Mataku kian memanas, pertahananku runtuh. Embun yang sedari tadi kutahan benar-benar jebol. Tak ada yang mendukungku. Satu-satunya tempat bersandar bahkan tak bisa menopangku. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Bahuku terguncang karena tangis.

"Rin ..." ucapnya, dan detik kemudian, aku dapat merasakan tangan kekar itu menyentuh pundakku, sebelum akhirnya dia merengkuhku dan membawanya dalam dekapan.

"Maafin, Mas, Rin. Bukan maksudku menyakitimu," ucapnya, aku semakin terguncang. Aku tak mengerti dengan Mas Hilman. Dia memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? tidakkah dia merasa tindakannya selama ini menyakitiku. Tidakkah dia sadar, bahwa dia begitu tak adil padaku. Mas Hilman selalu mengabaikan aku sebagai istrinya. Selama ini, dia lebih mementingkan Ibu dan Silvi ketimbang aku. Bahkan kebutuhanku selalu di nomor duakan. Jahatkah aku jika aku merasa iri? mendengar jawaban Mas Hilman tadi, memberiku makan dan tempat tinggal saja sudah cukup.

"Man!" suara ketukan pintu yang keras membuatku tersentak. Itu suara Ibu.

"Ibu, Rin ..." ucap Mas Hilman lirih.

"Keluarlah, Mas," ucapku, sembari melepaskan pelukannya. Mas Hilman langsung berdiri dan membuka pintu.

"Ada apa, Bu?" tanyanya.

"Silvi, ban motornya bocor di tengah jalan. Kamu susul adikmu sana!"

Mas Hilman mengacak rambutnya.

"Kan, tadi Hilman udah bilang, besok saja beli Mie ayamnya!" gerutunya terlihat kesal.

"Tinggal jemput saja apa susahnya sih, Man! biasanya juga kamu gak gini!" 

"Iya, Hilman jemput sekarang!" Mas Hilman mendekatiku, kulihat Ibu kembali memberikan tatapan tak sukanya sebelum akhirnya pergi dari ambang pintu. Entah kenapa aku merasa lemah.

"Aku tinggal dulu, ya, Rin," pamitnya. Aku hanya mengangguk menanggapi.

"Akan Mas pertimbangkan lagi permintaanmu. Maafin Mas, ya," ucapnya, mencium keningku. Haruskah aku berharap jika Mas Hilman mengabulkan keinginanku?

"Tutup pintunya, Mas," pintaku. Mas Hilman mengangguk kemudian keluar.

"Arini kenapa?" terdengar suara Ibu bertanya saat Mas Hilman baru menutup pintu. Itu artinya, Ibu masih berdiri di dekat situ. Kali ini aku tak mau mendengar apapun, kututup telingaku rapat dengan bantal. Aku lelah, aku tak ingin pikiranku semakin berburuk sangka terhadap Ibu.

Setelah kurasa Mas Hilman sudah pergi, dan tak lagi terdengar samar suara Ibu, aku membuka penutupnya. 

Masih dengan posisi berbaring, aku menghembuskan napas berat sembari menatap langit-langit kamar. Jika tidak karena Silvi tadi, mungkin sekarang keadaan masih seperti biasa. Di jam segini aku masih bercengkrama dengan Ibu, sembari menonton sinetron kesukaannya. Tapi sekarang? ah, sudahlah, lebih baik aku istirahat.

Aku menggeliat, meraba ranjang samping, terasa berbeda. Reflek aku membuka mata, dan kulihat tak ada Mas Hilman disana. Kuraih ponsel di atas nakas, sudah jam satu malam. Apa Mas Hilman belum pulang? gegas aku keluar membuka pintu kamar. Keadaan gelap, semua lampu ruangan sudah dimatikan. Dan saat kuhidupkan semua lampu, keadaan tetap hening. Seluruh ruangan sudah kutelusuri, namun tetap tak kutemukan Mas Hilman di dalamnya. Entah kenapa aku merasa cemas. 

Aku berlari kecil kembali ke kamar, kuhidupkan ponsel dan menekan aplikasi hijau. Menghubungi Mas Hilman. Namun detik kemudian aku merasa kesal. Ponsel Mas Hilman terdengar di dalam saku celananya yang ia gantung di balik pintu. Aku kembali keluar, melihat garasi. Kosong. Tak ada motor milik Silvi dan Mas Hilman disana. 

"Kemana sih, kamu Mas! masa iya nginep di bengkel!" gerutuku kesal. Aku kembali menekan nomor, namun sudah berulang kali, Silvi tak juga menjawabnya. Aku berusaha tetap tenang dan berfikir positif. Lebih baik aku shalat Isya dulu, mengingat tadi belum mengerjakannya karena tertidur.

Usai shalat, aku kembali merebahkan tubuhku setelah berulang kali menyingkap gorden, menunggu kedatangan Mas Hilman dan juga Silvi. Aku harus istirahat, mengingat ada setumpuk pekerjaan rumah tangga yang menungguku besok pagi.

"Rin! Arini! kamu gak masak!" aku membuka mata dengan jantung berdetak cepat karena terkejut mendengar gedoran pintu yang keras bersamaan dengan lantangnya suara Ibu. Terlebih saat kulihat cahaya matahari sudah benar-benar menampakkan sinarnya. Aku kesiangan!

"I-iya, Bu!" sahutku terbata. Gegas aku membuka pintu. Kulihat Ibu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. Tatapannya masih sama seperti kemarin.

"Ya ampuuun ... kamu baru bangun, Rin! tuh, lihat, mamang sayur sudah teriak memanggil dari tadi!" ucap Ibu ketus. Baru sekali aku bangun kesiangan, namun Ibu memperlakukanku seolah aku bangun siang setiap hari. Apa dia tidak ingat dengan putrinya, Silvi bahkan selalu bangun di atas jam delapan. Lagipula, Ibu juga bisa belanja terlebih dulu, namun Ibu tidak melakukannya.

"Iya, Bu. Arini belanja sekarang," ucapku, kemudian mengambil uang dan memakai hijab asal.

Kulihat Ibu-Ibu sudah berkerumun memilih apa yang mau di beli.

"Mbak Arini baru bangun, ya?" tanya Mbak Dita, tetangga sebelah. Dia juga sama sepertiku. Sama-sama menantu dan anggota baru dalam keluarga suaminya. Namun kulihat nasibnya jauh lebih baik dariku. Kulihat mertuanya sangat menyayanginya, begitupun dengan iparnya. Mereka terlihat rukun. Bahkan tak jarang aku melihat Mbak Dita menjemur baju di pagi hari bersama dengan adik iparnya yang juga sepantaran dengan Silvi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status