Share

Barangku milik iparku

"Kondangan gimana, Bu. Penampilan Arini tak ada bedanya dengan sebelumnya," balasku sopan.

"Iya, Nih, Ibu. Masak iya mau ngajak keluar Istri pakek daster bolong!" canda Mas Hilman terdengar garing. Aku tahu, Mas hilman bermaksud mencairkan suasana. Mungkin suamiku itu menyadari, jika sikap Ibu tak seperti biasa.

"Loh, Mbak! baju itu bukannya yang tadi mau aku pinjam, ya?" tanya Silvi tiba-tiba keluar dari kamarnya.

"Kenapa kamu pakek, Rin. Kan kamu tahu, kalo baju itu mau dipakek Silvi besok!" sahut Ibu. Nadanya semakin terdengar tak suka.

"Iya, Mbak Arini ini gimana sih, Mas Hilman juga. Kan tadi aku sudah bilang!" sentak Silvi dengan wajah cemberutnya. Aku semakin geram, aku ingin membalas ucapannya, tapi aku masih sungkan karena ada Ibu di hadapanku.

"Silvi! bicara yang sopan!" bentak Mas Hilman. Silvi terlihat mengembun, mungkin tak menyangka jika Mas Hilman mampu membentaknya.

"Hilman! tak sepantasnya kamu membentak adikmu hanya karena membela Arini!" balas Ibu.

"Dan kamu, Rin. Hanya masalah baju saja pelit. Kamu pasti ngadu yang tidak-tidak pada Hilman, kan. Ingat! kamu itu orang baru disini! jangan sampek tetangga tau aku punya menantu pelit sepertimu!" cecar Ibu, membuat napasku seolah terhenti. Aku terkejut melihat sifat Ibu yang semakin terlihat. Haruskah aku menyesal tak meminjamkan saja baju ini pada Silvi? tapi apa aku harus diam selamanya melihat kelakuan Adik iparku itu. Tidak!

"Maaf, Bu. Sebenarnya siapa yang membesarkan masalah. Jika saja Silvi bisa berlaku sopan sedikit terhadapku, aku tak mungkin begini. Ibu pasti tahu, Silvi sering memakai barang-barangku tanpa izin. Apa selama ini aku protes, Bu? tidak! apa Ibu ada menasehati Silvi sedikit saja? tidak, kan? dan apa itu yang dinamakan pelit, Bu. Baru kali ini aku menolaknya, tapi Silvi seolah merasa dirinya yang tak dihargai," balasku masih dengan sopan namun menusuk.

"Mbak jangan nuduh yang enggak-enggak sama aku, ya!" sahut Silvi. Sorot matanya tajam melihatku, seolah tak terima.

"Jadi begitu? kamu pikir, bajuku bisa tiba-tiba kotor di keranjang tanpa ada yang memakainya. Atau sepatu dan sandal yang tiba-tiba berada di teras, dan lipstik, parfum, bahkan bedak yang tiba-tiba melayang di kamarmu tanpa ada yang membawanya? aku memang memiliki banyak dan jarang memakainya, Sil. Tapi aku tahu, jika barangku tak ada di tempatnya. Dan kamu pikir, siapa yang membersihkan rumah setiap hari, membersihkan kamarmu? jangan kamu pikir aku tak tahu bahwa sebagian jilbabku ada di lemarimu," balasku tajam, biar saja kubongkar semuanya.

"Mbak!" bentaknya tak mau kalah, matanya melotot hingga berwarna merah karena pernyataanku.

Aku tersenyum sinis, sedikit banyaknya aku merasa puas dapat membuat Silvi merah padam. Meskipun aku tahu resiko setelah ini. Hubunganku dengan Silvi, bahkan Ibu tak lagi seperti dulu.

"Rin, sudah, Rin. Ayo kita keluar sekarang!" ucap Mas Hilman sembari memegang tanganku.

Aku menuruti Mas Hilman. Namun langkah kami terhenti karena ucapan Ibu.

"Kamu pikir Silvi ini adik siapa Rin! Siapa suamimu sehingga Silvi saja tak kau anggap sebagai Adik! Jika saja kau menganggap Silvi sebagai adikmu sendiri, tentunya kau tak akan keberatan jika Silvi memakai barangmu. Harusnya barangmu juga milik iparmu, karena kau masih makan dan tidur disini! kamu pikir, uang dari siapa bisa membeli semua itu. Dari anakku!" tegas Ibu tak masuk akal. Demi apapun, napasku naik turun karena menahan emosi.

"Bu, sudah, Bu! jangan membuatnya semakin besar!" sahut Mas Hilman. Aku akui, Mas Hilman begitu sopan dan sayang terhadap ibunya. Aku bangga dengan itu. Tapi, dia seakan tak berani membelaku berlebihan di hadapan Adik dan ibunya. Haruskah aku merasa sakit hati?

"Terus bela istrimu, sana! sekarang Ibu dan Silvi memang tidak berarti lagi, untukmu, Man!" balasnya. Entah kenapa ucapan Ibu seolah sengaja membuat Mas Hilman lemah dan tertunduk.

"Bukan begitu, Bu!" sahut Mas Hilman mulai gelisah.

"Maaf, Bu. Mas Hilman memang suamiku, dan Silvi memang adiknya. Namun bukan berarti barangku juga milik iparku. Jika Ibu menganggap aku membeli semua itu dengan uang dari Mas Hilman, maaf, Ibu salah. Uang dari Mas Hilman hanya cukup untuk makan, karena sebagian uang itu selalu diminta oleh Ibu dan Silvi," balasku santai, namun aku tahu, itu sudah cukup untuk membuat Ibu terdiam.

"Aku keluar dulu, Bu," pamitku kemudian.

"Ayo, Mas!" ucapku, kulihat Mas Hilman seakan bimbang. Namun aku terus menggenggam tangannya.

Sesaat aku dan Mas Hilman masih sama-sama terdiam di atas motor. Hanya terdengar suara kendaraan beralalu-lalang di jalan raya.

"Mau makan apa, Rin?" tanyanya membuka suara.

"Terserah, Mas. Aku nurut," balasku malas. Moodku hilang seketika karena masalah yang barusan terjadi.

"Kamu masih marah sama Ibu?" tanyanya.

"Aku tidak tahu, Mas. Namun semua ini tidak akan terjadi jika bukan karena Silvi. Apa mungkin Silvi bicara yang tidak-tidak pada Ibu karena aku tak meminjamkan baju ini? karena setelah itu, Ibu terlihat membenciku tadi," jelasku.

"Jangan berburuk sangka dulu, Rin. Suasana hatimu sedang tidak baik. Makanya kamu berani membalas Ibu, tadi. Coba kalo kamu diam. Mungkin semuanya akan baik-baik saja," ucap Mas Hilman tanpa Dosa.

"Jadi, Mas nyalahin aku?" tanyaku ketus.

"Bukan begitu, Rin! gimana sih, jelasinnya!" balasnya terlihat kesal.

"Jujur saja, Mas. Aku juga sakit hati karena kamu tidak bisa tegas bahkan pada adikmu sendiri. Jika saja hanya pada Ibu, aku bisa memaklumi karena dia yang melahirkanmu, wanita yang memang patut kamu hormati. Tapi, tidak dengan Silvi, Mas!"

Mas Hilman terlihat menghela napas berat. Wajahnya juga gelisah, terlihat jelas di kaca spion kiri.

"Sudahlah, Rin. Kita jadi makan dimana?" balasnya kemudian, aku tahu Mas Hilman ingin mengalihkan pembicaraan.

"Terserah," balasku kecewa.

Setelahnya suasana kembali Hening. Dan beberapa saat kemudian, Mas Hilman menghentikan motornya di kedai lesehan 'Bakso iga' pinggir jalan.

"Kok, gak dimakan?" tanya Mas Hilman, melihatku yang hanya mengaduk-ngaduk bakso pesanannya.

"Udah kenyang," balasku asal. Padahal sejak tadi siang, belum ada makanan yang masuk ke perutku.

"Mau Mas, suapin?" rayunya, namun entah kenapa senyuman Mas Hilman kali ini sama sekali tak merubah suasana hatiku.

"Mas, gimana kalo kita ngontrak saja," ucapku, dan kulihat Mas Hilman menghentikan suapannya.

"Ngontrak?" ulangnya.

Aku mengangguk, lantas mulai menyuapkan bakso ke mulutku.

"Karena masalah, tadi?" tanyanya.

"Aku tidak ingin masalahnya terus bertambah setiap hari, Mas. Mungkin lebih baik jika kita pisah rumah. Melihat Ibu dan juga Silvi tadi, aku tidak yakin, jika hubungan kita kedepannya bisa baik-baik saja," jelasku. Sesaat Mas Hilman hanya diam, sebelum akhirnya membalas ucapanku.

"Tapi kamu tahu, kan, uangku mungkin tak kan cukup untuk sewa kontrakan. Ada Ibu dan Silvi yang masih butuh aku."

"Aku akan mengaturnya. Bila perlu, aku akan bekerja seperti saat sebelum menikah dulu. Lagipula, Silvi sudah mendapat jatah bulanan dari ayahmu bukan? aku tahu, uang jajan yang diberikan ayahmu pada Silvi tidak sedikit. Tapi kenapa kamu masih memikirkannya. Bahkan Mas selalu memberikan uang kapanpun Silvi minta. Silvi sudah dewasa, Mas. Harusnya dia tahu, jika keadaan tak seperti dulu. Ada aku yang harus kamu nafkahi juga," ucapku.

"Jadi selama ini kamu keberatan, aku memberikan uang pada Silvi dan Ibu?"

"Aku tidak keberatan jika hanya Ibu yang meminta, aku tahu itu kewajibanmu. Tapi dengan Silvi? aku keberatan, Mas. Tidak sekali dalam seminggu. Hampir setiap saat setiap butuh apapun dia selalu minta padamu. Kuota, uang jajan, untuk beli tas, sepatu, jalan-jalan, semuanya. Lalu, kemana uang yang diberikan ayahmu setiap bulan? harusnya uang itu cukup, bahkan bisa lebih untuk satu bulan," ucapku.

"Nanti kita bicarakan lagi di rumah, habiskan dulu makanannya," balas Mas Hilman. Entah kenapa, aku merasa Mas Hilman seolah menghindari jika aku membahas kebenaran tentang adiknya.

Usai makan, Mas Hilman membayarnya. Aku memintanya untuk membungkuskan dua porsi, untuk Ibu dan juga Silvi. Bahkan aku masih mengingat mereka meski hatiku tersakiti. Kuharap Mas Hilman mempertimbangkan keinginanku untuk pisah rumah. Karena kurasa itu jalan terbaik, mengingat ketidakcocokan antara aku dan Silvi. Apalagi jika Ibu sampai kembali ikut-ikutan membela putrinya. Bisa-bisa aku tidak bisa mengotrol emosiku, dan pasti akan berimbas pada hubunganku dengan Mas Hilman.

"Kita shalat maghrib di rumah saja, ya, Rin. Nanti baksonya keburu dingin," ucap Mas Hilman. Aku hanya mengiyakan dengan malas.

Dua puluh menit kemudian, aku bergegas turun saat Mas Hilman menghentikan motornya di halaman. Aku langsung membuka pintu rumah. Kulihat ruangan sepi. Mungkin mereka berada di kamar.

"Man, kamu gak lupa bungkusin buat Ibu dan Silvi, kan?" tanya Ibu tiba-tiba dari arah dapur. Membuat jantungku hampir copot saja.

"Tadinya lupa, tapi Arini yang mengingatkanku, ini!" jelas Mas Hilman menyodorkan bungkusan itu pada Ibu. Kulihat Ibu hanya mencebik seolah tak percaya jika aku yang mengingatkannya pada Mas Hilman. Sikap Ibu padaku sekarang benar-benar berubah.

"Silviiii, Baksoo!" teriak Ibu memanggil Silvi. Detik kemudian, gadis itu keluar dari kamar dengan wajah berbinar, tak lupa dengan benda pipih di tangannya.

"Gak ada Mie ayamnya?" tanya Silvi pada Mas Hilman.

Mas Hilman terlihat menggaruk tengkuknya.

"Mas, lupa, Dek!" ucapnya. 

"Gimana, sih, Mas! aku kan sudah bilang lewat WA tadi!" sungutnya sembari menghentakkan kaki. Pantas saja tadi Mas Hilman sempat melihat ponsel. Ternyata itu Silvi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status