"Nis, ponselmu baru? Kamu dapet uang darimana buat beli ponsel itu?" tanyaku saat adik perempuanku mengeluarkan ponsel barunya di ruang keluarga.
"Ini ibu yang beliin, Mbak." jawab Anisa sambil menatap kearah ibunya. Anisa adalah adik tiriku. Dia dan ibunya ikut tinggal di rumahku dan suamiku setelah kematian Ayah kami dua tahun lalu. Ayah terlilit hutang sangat banyak saat pergi meninggalkan kami, jadi mau tak mau kami menjual rumah untuk melunasi hutang yang Ayah kami tinggalkan. Setelah rumah di jual, dia ikut tinggal di rumah ini bersama ibunya. Umurnya saat itu masih 16 tahun. Aku tak tega membiarkan dia terlunta-lunta hidup di luar sana tanpa rumah.
"Bukannya ibu enggak ada uang ya? Darimana ibu dapet uang buat beli ponsel mahal itu?" tanyaku sambil menatap ibu tiriku yang terlihat sedikit gugup.
"Anu...ibu dapat arisan, La."
Arisan? Selama dua tahun dia tinggal bersamaku, tidak sekalipun aku melihat dia ikut arisan atau acara apapun.
"Ibu bukannya enggak pernah ikut arisan ya?" tanyaku memberanikan diri. Aku harus tahu darimana dia mendapatkan uang untuk membeli ponsel adikku. Pengalaman Almarhum Ayahku yang terlilit hutang membuatku harus selalu waspada padanya. Kebiasaan ibu dan adikku yang selalu ingin mempunyai barang-barang mewah tak peduli bagaimanapun caranya harus aku hentikan. Aku tak mahu tiba-tiba rumahku di gedor oleh renternir seperti yang sudah-sudah.
"Ibu ikut di arisan di RT sebelah, La. Arisan baru di mulai dan ibu senang karena nama ibu yang keluar pertama."
"Ibu dapat berapa memangnya?" tanyaku terus memancing.
"7juta, La. Uangnya langsung ibu berikan sama Anisa bt beli hp. Kasian Anisa selalu ngeluh malu sama temen-temen sekolahnya karena hp nya jelek sendiri. Kamu sih punya suami bergaji besar tapi pelit."
"Aku bukannya pelit. Tapi ibu tahu sendiri kan, setelah menikah aku di larang kerja sama Mas Dani. Aku segan pakai uang pemberian Mas Dani buat hal-hal yang kurang penting."
Aku mencoba memberi pengertian ibuku agar dia tak terus mendesakku membelanjakan uang suamiku untuk hal-hal yang kurang penting. Aku punya anak yang masih berumur 7 tahun. Masa depan anakku masih panjang, kalau aku tak pandai berhemat, bagaimana nasib anakku nanti.
"Hal-hal kurang penting? Kamu enggak sadar omonganmu itu bisa melukai hati adikmu. Harga ponsel Anisa paling cuma setengah gaji suamimu. Ibu rasa suamimu enggak akan keberatan kalau kamu membelikan ponsel Anisa. Dasarnya kamu yang perhitungan saja sama adikmu."
Aku mengelus dada mendengar ucapan ibu tiriku. Gaji Mas Dani memang berkisar 15juta, tapi dia juga masih punya tanggungan seorang adik perempuan yang masih kuliah. Masih untung Mas Dani memperbolehkan ibuku dan Anisa tinggal disini. Eh, sekarang mereka malah minta yang macam-macam. Benar-benar tak punya rasa terimakasih.
"Kenapa selalu mendesakku untuk mencukupi kebutuhan kalian sih, Bu. Aku sudah izinkan kalian tinggal disini harusnya kalian sudah bersyukur. Harusnya ibu kerja, ibu masih cukup muda loh. Jadi kalau ibu pengin beli apa-apa enggak perlu minta lagi sama aku!"
"Wah...wah...kurangajar banget kamu ya, La. Ayahmu diatas sana pasti marah banget denger kamu nyuruh-nyuruh ibu buat kerja!" ucap ibuku sembari melotot tak terima kearahku.
"Sudahlah, Mbak. Kenapa ngomongnya makin kemana-kemana. Kalau Mbak enggak mau ngasih aku uang untuk kebutuhanku, ya udah. Enggak usah pakai acara suruh ibu kerja juga. Sekarang aku bisa kok dapetin uang tanpa minta ke Mbak lagi!" sela Anisa. Apa tadi dia bilang? Bisa dapat uang tanpa minta sama aku? Sombong sekali anak manja ini. Bangun tidur kalau tidak di bangunkan saja, dia selalu bangun kesiangan, bagaimana caranya seorang pemalas sepertinya bisa dapat uang.
"Kamu lagi enggak mikir mau buat hal yang aneh-aneh kan, Nis?" tanyaku penuh selidik. Adikku tak langsung merespon ucapanku. Dia memainkan ponselnya sambil memasang wajah juteknya.
"Bentar lagi kamu ujian kelulusan, jangan sampai kamu ngelakuin hal yang memalukan ya, Nis. Mbak enggak mau masa depan kamu rusak hanya gara-gara kamu salah langkah!"
Anisa bangkit dari duduknya dan berniat pergi. Dia sama sekali tak mau mendengarkan nasehatku.
"Nis, mau kemana kamu? Mbak belum selesai ngomong!"
Anisa tak menyahut ucapanku, ibuku ikut bangkit lalu menatap marah kearahku.
"Kami tahu kami cuma numpang di rumah kamu, La. Tapi enggak seharusnya kamu perlakukan kami seperti ini. Biar bagaimanapun dia adikmu, kamu enggak boleh lupakan tanggungjawabmu. Bukan malah nyuruh ibu kerja!"
Aku kembali mengelus dada sambil menatap punggung ibuku yang makin terlihat menjauh. Hal kecil seperti ini kenapalah harus selalu di besar-besarkan. Kurang tanggungjawab apa aku selama ini jadi kakak Anisa. Semua kebutuhan sekolahnya sudah aku cukupi. Hanya karena aku tak mau membelikannya sebuah ponsel, mereka malah memaki-makiku seperti tadi.
"Mah, Lapar!" tiba-tiba anakku Elsa datang sambil mengelus perutnya. Aku melirik jam dinding, sudah jam delepan malam pantas saja dia sudah kelaparan.
"Elsa mau makan sekarang atau tunggu Papah pulang?" tanyaku pada Elsa.
"Mau makan sekarang saja, Mah." jawab putri kecilku. Aku tersenyum lalu menggandengnya ke ruang makan.
"Mah, sekarang kok Papah sering pulang telat, sih. Elsa kangen makan malam sama Papah!" ucap putriku sembari mengunyah.
"Papah sekarang sibuk lembur sayang. Jangan sedih, ya. Papah kerja banting tulang juga buat kamu!"
Putri kecilku mengangguk sembari terus mengunyah. Sebulan ini memang suamiku sering pulang malam, aku sangat kasihan melihat wajah lelahnya ketika pulang.
Selesai makan, aku langsung menemani Elsa tidur. Baru beberapa halaman aku bacakan Elsa buku dongeng, dia akhirnya tertidur juga. Ku selimuti tubuhnya lalu ku kecup keningnya. Setelah itu baru aku kembali ke ruang makan.
Sampai di ruang makan, aku tak melihat nasi berkurang sedikitpun. Sepertinya ibu dan adikku masih ngambek jadi mereka tak mau makan. Aku tak mau ambil pusing soal mereka. Umur sudah banyak tapi sikap mereka masih juga kekanak-kanakan.
"Kamu belum makan, sayang?"
Suara suamiku membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum lalu bangkit dan menarik sebuah kursi untuknya duduk.
"Aku tunggu Mas pulang!" balasku. Ku ambilkan dua centong nasi untuk suamiku lalu membiarkannya memilih sendiri lauk yang Ia suka.
"Makanannya kok masih banyak. Ibu dan adikmu enggak makan?" tanya suamiku lalu menyuap nasi dalam mulutnya.
"Mereka lagi ngambek Mas." jawabku sembari mengunyah.
"Ngambek lagi? Kenapa?"
"Anisa beli ponsel baru, Mas. Aku tanya uangnya darimana, eh malah mereka jawabnya kemana-kemana. Pakai nuduh aku pelit segala lagi!" aku mulai curhat.
"Bener juga kata mereka sih kalau kamu terlalu pelit sama mereka. Padahal kan Mas enggak pernah mempermasalahkan loh kamu mau belikan apapun sesuai permintaan mereka." Suamiku malah membela adik dan ibu tiriku. Mood makanku tiba-tiba hilang.
"Loh kok Mas malah bela mereka sih! Aku pelit sama mereka itu karena aku enggak tega belanjain uang hasil kerja Mas buat sesuatu yang kurang penting." ku letakan sendok diatas piring. Padahal aku makan baru sedikit, tapi karena pembelaan suamiku pada adik dan ibu tiriku membuatku benar-benar kehilangan selera makan.
"Mas bukan bela mereka, La. Uang bisa di cari lagi, apa susahnya belikan saja apa yang mereka mau. Mereka juga keluargamu, La. Mas enggak mau kalian bertengkar cuma gara-gara masalah sepele seperti ini!"
Aku mengalah dan memilih diam. Kalau tahu ujung-ujungnya suamiku lebih membela adik dan ibu tiriku mending tadi aku tak perlu curhat padanya.
"Kok enggak di habisin sih makanannya, mubazir loh masih banyak gitu!"
"Udah enggak selera lagi!" balasku jutek.
"Ola...Ola...! Kamu ini aneh, orang lain berjuang mati-matian pengin suaminya baik sama keluarganya. Tapi kamu kok enggak. Kamu malah kelihatannya pengin Mas musuhin keluargamu sendiri." suamiku menggelengkan kepalanya sembari menatap kearahku.
"Aku bukan nyuruh Mas buat musuhin mereka. Aku cuma mau Mas jangan terlalu baik sama mereka. Dulu Almarhum Ayahku sampai terlilit hutang karena selalu menuruti permintaan mereka. Aku enggak mau nasib kita sama Mas. Mas paham enggak sih maksudku!"
"Iya, paham. Sudah, ah. Enggak usah emosi gitu terus. Cantiknya ilang tau! Mas buatin kamu susu ya, biar moodmu kembali bagus!" suamiku bangkit dari duduknya padahal makanan di piringnya belum habis.
"Mas, aku bisa buat susu sendiri!" aku raih lengannya agar dia mau duduk lagi.
"Kamu lagi emosi kaya gitu, biar Mas yang buatin saja!"
Sembari tersenyum suamiku melepaskan cengkeraman tanganku. Aku hanya bisa pasrah lalu kembali duduk. Sebenarnya aku kasihan pada suamiku, dia pasti lelah baru pulang kerja tapi masih juga menyempatkan diri membuatkanku segelas susu.
"Ini minum!" ucapnya sembari meletakan segelas susu tepat di hadapanku.
"Makasih ya, Mas. Maaf, aku jadi merepotkanmu!"
"Iya, enggak apa-apa."
Aku meniup sesaat susu ditanganku lalu mulai menyesap pelan-pelan.
"Gimana, emosimu sudah sedikit mereda setelah minum susu buatanku?" tanya suamiku.
"Iya, sih Mas. Tapi kenapa tiba-tiba kepalaku terasa berat ya?" ucapku sembari memijit kepalaku dengan satu tanganku.
"Kamu pasti kecapean karena nungguin Mas pulang sampai malam begini. Yuk, Mas bantu kamu naik ke kamar!" suamiku bangkit lalu mulai membantuku berjalan. Entah kenapa sudah tiga hari ini aku selalu seperti ini setelah meminum susu pemberian suamiku. Kepalaku terasa berat dan mata terasa sangat mengantuk.
Sinar mentari menerobos masuk lewat celah-celah jendela. Rasa hangat yang menyengat kulitku membuatku menggeliat dalam lelap. Pelan ku buka mata setelah mendengar teriakan tukang sayur keliling, bukankah Bang Fandi biasa berjualan sekitar pukul 9 pagi? Jadi apakah kali ini aku juga bangun kesiangan lagi?Mataku melotot melihat jam dinding di kamarku, ternyata benar ini sudah jam sembilan pagi. Bagaimana bisa tiga hari berturut-turut aku selalu kesiangan bangun seperti ini?Aku hendak bangkit untuk meraih ponselku di atas nakas, tapi kepalaku masih terasa sangat berat. Akhirnya dengan sedikit dipaksakan aku berhasil juga pelan-pelan bangkit lalu beralih ke sofa dengan menggenggam ponsel di tanganku.Baru saja selesai mengetik, ku dengar suara gemercik air dalam kamar mandi. Mungkinkah itu Mas Dani? Hari sudah sesiang ini, bagaimana bisa dia masih berada dalam rumah?"Kamu sudah bangun sayang?" tanya suamiku setelah keluar dari kamar mandi."Ya, baru saja aku bangun. Maafin aku ya, Mas.
"Nis, semalam kamu enggak pergi kemana-mana kan?" tanyaku pada Anisa. Melihat tanda merah di lehernya tiba-tiba mengingatkanku pada ucapannya semalam bahwa mulai sekarang dia bisa dapatkan uang sendiri tanpa bantuanku. Sumpah saat ini aku sangat takut kalau dia benar-benar membuktikan ucapannya. Di luar sana banyak sekali lelaki hidung belang, hidup Anisa bisa benar-benar hancur jika dia salah melangkah sedikit saja."Pergi kemana sih, Mbak. Mbak tahu sendiri kan setelah bertengkar dengan Mbak aku langsung mengurung diri dalam kamar!"Bohong, Anisa pasti sedang mencari alasan untuk menutupi kesalahannya. Kalau dia tak keluar bagaimana bisa jejak merah itu bisa ada di lehernya."Nis, sekarang jujur sama Mbak. Setelah Mbak tidur kamu mengendap-endap pergi dari rumah kan?"Sarapan belum di mulai tapi aku sudah merusak mood semua orang karena emosiku mendengar kebohongan Anisa."Kamu kenapa sih, La. Dari kemarin kayaknya kok emosi terus sama adikmu!" protes ibu tiriku. Aku tak segera menj
Kakiku terasa lemah saat ku gerakan, seluruh kekuatanku seakan ikut menghilang setelah mendengar cerita Elsa barusan. Suamiku sebelumnya orang yang sangat baik, dia bukan lelaki gampangan yang mudah tergoda oleh seorang perempuan. Jadi aku belum bisa menyimpulkan apapun saat ini sebelum aku melihat kebej*dan suamiku melalui kedua mataku sendiri. Namun meski begitu tetap saja, ucapan Elsa terus mengganggu pikiranku. Aku takut kehilangan orang sebaik Mas Dani. Dia satu-satunya penguatku saat aku kehilangan kasih sayang Ayahku yang lebih mencintai putri keduanya yakni Anisa.Baru saja membuka pintu kamar, aku menemukan suamiku dengan penampilan yang sudah rapih. Tak lupa lelaki itu menyemproti tubuhnya dengan parfum yang sangat wangi."Mas, kok sudah rapih. Mau kemana kamu?" tanyaku pada Mas Dani."Mau makan diluar." jawabnya tanpa mau menatap kearahku."Kok makan di luar, sih. Mas. Di rumah makanan masih banyak, loh!""Aku sudah kehilangan selera makan di rumah ini." jawabnya ketus se
Hari menjelang sore, aku membantu Bik Yuli menyirami bunga di halaman rumah ini. Saat kami sedang asik berbincang, aku melihat sebuah taksi berhenti di depan pagar. Aku dan Mbok Yuli kompak melihat kearah taksi tersebut.Seorang wanita dengan dres seksi yang di kenakannya membuat moodku yang awalnya baik-baik saja seketika berubah menjadi buruk. Wanita itu adalah Anisa, adik tiriku yang tak tau terimakasih itu."Mbok, bukain gerbangnya dong!" mohon Anisa sambil berdiri tepat di depan pagar."Mbok Yuli sedang sibuk, kamu kan punya tangan. Mending langsung buka saja dengan tanganmu. Enggak usah ngerepotin orang yang lagi sibuk!""Aku bawa banyak barang, Mbak. Susah!" ucapnya sambil memamerkan beberapa papper bag yang ada di tangannya."Susah gimana, Nis. Kamu loh tinggal letakin papper bag itu lalu geser gerbangnya. Apa susahnya?"Wajah Anisa cemberut, namun meski begitu wanita itu tetap melakukan seperti apa yang ku suruh. Setelah selesai, dia berjalan melewatiku, aku membiarkannya lew
Hari yang sangat melelahkan, setelah semalaman tadi Mas Dani menguras tenagaku, pagi ini aku di sibukan dengan aktivitas mencuci pakaian yang menggunung milik Mas Dani juga Elsa. Pagi ini mbok Yuli izin pulang karena mendadak anaknya sakit, jadi dia tak sempat mencucikan baju kami semua.Saat aku hendak menyikat celana milik Mas Dani yang dia gunakan semalam. Tak sengaja aku menemukan beberapa lembaran uang biru dalam saku celananya. Dan diantara uang-uang tersebut, aku menemukan sebuah nota pembelian dari salah satu butik ternama di kota ini.Melihat nominal yang tertera dalam nota itu membuat mataku membulat sempurna. Buat apa Mas Dani menghabiskan hingga sepuluh juta rupiah dalam waktu sehari saja.Ku baca satu persatu barang yang Mas Dani beli. Aneh, kenapa dia membeli baju wanita?Aku membungkam mulutku sendiri saat mengingat kalau butik yang di datangi Mas Dani ternyata sama dengan yang Anisa datangi kemarin. Jadi benar dugaanku sebelumnya kalau mereka sebenarnya janjian pergi?
Pintu kamar terdengar terbuka, aku yakin itu Anisa. Nafasku sudah kembang kempis rasanya karena tak sabar ingin mencakar mukanya, namun setelah mempertimbangkan lagi dampak yang akan terjadi, aku mencoba untuk menahan diri. Aku hanya ingin tahu sejauh mana mereka berhubungan di belakangku selama ini. Baru setelahnya aku bisa mengambil keputusan."Kalau kamu menuruti Mas untuk pergi ke hotel saja tadi pagi, Mas enggak akan repot-repot buat Ola tidur seperti ini!"Apa? Jadi ternyata Mas Dani tadi pagi menyusul Anisa, bukan karena ada meeting di kantornya seperti yang ia katakan padaku?Dasar pembohong!"Aku kurang bergairah kalau di hotel, Mas. Tiap denger desah*n dan er*nganmu di samping Mbak Ola itu memberi kepuasan sendiri buat aku!"Ya Tuhan, dadaku rasanya sesak sekali mendengar ucapan adik tiriku. Apa yang membuat wanita itu sangat membenciku, padahal selama ini aku sudah memperlakukannya dengan sangat baik. Pada kesempatan tertentu aku memang sering tak bisa mengontrol emosi keti
"Ola, ini semua tidak seperti yang ada dalam pikiranmu!" ucap Mas Dani setelah ia bangkit. Terlihat Anisa bersembunyi dengan tangan gemetar di belakang tubuhnya. Entah kemana keberaniannya menghilang padahal saat aku pura-pura tidur tadi dia sangat menikmati caciannya yang tak henti ia lontarkan padaku."Enggak seperti yang aku pikirkan gimana? Dari awal kalian bicara aku sudah mendengarnya. Gila kamu Mas, tega-teganya kamu melakukan ini di belakangku!""Mas cuma--""Cuma apa? Nafsu? Dasar memang kamu doyan sama pelakor kecil ini!" teriakku kemudian melemparkan lagi semua barang yang ada di sekitarku. Mas Dani melindungi gund*knya dari seranganku menggunakan tubuhnya. Sebegitu takutnya dia kalau seranganku akan membuat gund*k kecilnya terluka."Hentikan Ola, kamu jangan kaya orang kesetanan gini!" ucap suamiku. Aku tak peduli dengan ucapannya hingga pada akhirnya saat aku meraih vas bunga yang lumayan besar, Mas Dani berlari kearahku dan menggagalkan seranganku.Plak!Sebuah tamparan
"Enggak ada gunanya menangis, ayo kita bawa Elsa ke rumah sakit sekarang juga!" ucap suamiku sambil mengambil alih Elsa dari pangkuanku. Tak ku pedulikan darah Elsa yang ikut mengotori bajuku. Kami harus sampai ke rumah sakit secepatnya agar putri kecilku segera mendapatkan pertolongan."Mas, aku ikut!"Anisa merengek ikut layaknya anak kecil yang tak mau ditinggal Ayahnya pergi tanpa peduli keadaan sedang sangat genting seperti ini. Benar-benar tak tahu malu."Kamu jaga rumah saja, Mas buru-buru!" ucap suamiku sambil meletakan Elsa dalam pangkuanku di jok mobil belakang."Mas, aku enggak mau di tinggal sendiri di rumah. Aku maunya selalu sama kamu! Pleace, aku ikut ya!" rengeknya sekali lagi sembari menahan tubuh suamiku agar tidak masuk dalam mobil.Rasanya ingin sekali mencakar wajah adik tiriku sekali lagi. Elsa sedang bertaruh nyawa di pangkaunku tapi wanita itu seolah sengaja mengulur waktu agar kami terlambat ke rumah sakit."Kamu enggak mikir ya kalau sekarang keadaan Elsa lag