Share

Suamiku Membela Adikku

Sinar mentari menerobos masuk lewat celah-celah jendela. Rasa hangat yang menyengat kulitku membuatku menggeliat dalam lelap. Pelan ku buka mata setelah mendengar teriakan tukang sayur keliling, bukankah Bang Fandi biasa berjualan sekitar pukul 9 pagi? Jadi apakah kali ini aku juga bangun kesiangan lagi?

Mataku melotot melihat jam dinding di kamarku, ternyata benar ini sudah jam sembilan pagi. Bagaimana bisa tiga hari berturut-turut aku selalu kesiangan bangun seperti ini?

Aku hendak bangkit untuk meraih ponselku di atas nakas, tapi kepalaku masih terasa sangat berat. Akhirnya dengan sedikit dipaksakan aku berhasil juga pelan-pelan bangkit lalu beralih ke sofa dengan menggenggam ponsel di tanganku.

Baru saja selesai mengetik, ku dengar suara gemercik air dalam kamar mandi. Mungkinkah itu Mas Dani? Hari sudah sesiang ini, bagaimana bisa dia masih berada dalam rumah?

"Kamu sudah bangun sayang?" tanya suamiku setelah keluar dari kamar mandi.

"Ya, baru saja aku bangun. Maafin aku ya, Mas. Sudah tiga hari ini aku selalu bangun kesiangan." jawabku dengan raut wajah bersalah.

"Enggak apa-apa. Mas paham kok, kamu pasti kecapean mengurus rumah!" balas suamiku sembari tersenyum menampilkan lesung pipinya. Wajahnya terlihat selalu tampan, aku tak pernah bosan menatap wajahnya meski usia pernikahan kami sudah menginjak delapan tahun.

"Cape? Semua pekerjaan rumah Mbok Yuli yang ngerjain. Mana mungkin aku kecapean Mas."

Suamiku hanya tersenyum menanggapi ucapanku sambil mengenakan baju santainya.

"Loh, Mas kok pakai baju santai. Memangnya Mas enggak kerja hari ini?" tanyaku kemudian.

"Hari ini hari minggu sayang, masa kamu lupa hari?"

"Astaga, pantes saja aku heran. Sudah sesiang ini kamu belum berangkat kerja!" aku menepuk jidatku sendiri setelah menyadari kekonyolanku.

"Kayaknya kamu lagi banyak pikiran, La. Masa hari saja kamu sampai lupa!"

"Entahlah Mas, padahal aku enggak lagi mikirin apa-apa. Tapi tiga hari ini kepalaku sangat sakit ketika bangun tidur."

"Ya udah enggak usah di pikirin, mungkin kamu butuh istirahat saja!"

"Ya, Mas. Aku juga berpikir seperti itu. Sekarang aku mau turun ke bawah, mau lihat apa Mbok Yuli sudah selesai siapin sarapan atau belum!" 

"Ok!" balas suamiku.

Saat aku hendak berdiri, tak sengaja tanganku menyentuh sebuah ikat rambut. Aku mengernyit sejenak melihat ikat rambut adikku ada disini. Bukankah semalam ketika kami bertengkar dia masih menggunakan ikat rambut ini? Lalu kenapa sekarang benda ini bisa berada disini?

"Mas, apa semalam Anisa datang ke kamar ini?" tanyaku pada suamiku.

"E...enggak...kok...! Memangnya kenapa?" jawabnya terlihat sedikit gugup.

"Ini ikat rambutnya, kenapa ada di atas sofa sini?" tanyaku sembari memperlihatkan ikat rambut merah milik Anisa kearah Mas Dani.

"Owh itu. Semalem Mas enggak sengaja liat ikat rambut itu di depan kamarnya. Karena segan mau ketuk pintu kamarnya, jadi Mas bawa saja ke dalam sini.

"Owh!" aku mengangguk mengerti kemudian melangkah untuk membasuh mukaku. Setelah selesai baru aku keluar kamar menuju dapur.

"Mbok, sarapan sudah siap kan?" tanyaku pada Mbok Yuli yang sedang mengepel lantai dapur.

"Sudah, Buk. Semua masakan sudah terhidang di ruang makan!" balas Mbok Yuli.

"Ya sudah kalau begitu. Saya panggil suami saya dan yang lainnya untuk sarapan sekarang juga!"

Aku pun bergegas naik lagi ke lantai dua. Sebelum masuk dalam kamar, aku berhenti di depan kamar Anisa yang kebetulan letaknya tepat di hadapan kamarku. Awalnya aku ragu mengetuk pintu, tapi setelah melalui banyak pertimbangan, aku beranikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya juga.

"Nis, sarapan sudah siap. Kamu turun makan ya!"

Tak ada sahutan, aku kembali mengetuk pintu.

"Nis, maafin ucapan Mbak kemarin. Mbak cuma lagi emosi!"

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Anisa terlihat sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia memakai t shirt sangat ketat hingga bagian dadanya terlihat sangat besar.

"Mbak turun dulu, aku keringin rambutku bentar!" ucapnya. Syukurlah kelihatannya Anisa sudah tak marah lagi denganku.

"Nis, kamu ganti baju ya. Enggak enak di lihat Mas Dani kalau kamu sarapan dengan baju seketat itu!" ucapku setengah berbisik.

"Maleslah Mbak kalau mau ganti lagi." 

"Tapi, Nis. Bajumu itu terlalu ketat. Apa kamu enggak malu terlalu memperlihatkan bagian dadamu di depan Mas Dani!"

"Emang kenapa sih, Mbak. Mbak takut perhatian Mas Dani akan teralihkan kepadaku kalau aku pakai baju ketat ini?"

"Kamu kok makin ngelunjak jadi orang ya. Mbak sebagai perempuan saja malu lihat kamu pakai baju seperti ini, apalagi Mas Dani. Terserahlah sekarang kamu mau pakai baju seperti apa, yang penting Mbak sudah ingetin kamu!"

Dengan nafas kembang kempis aku membuka pintu kamarku lalu membantingnya. Suamiku yang tengah sibuk dengan ponselnya sampai terjengkit kaget karena perbuatanku.

"Kamu ini kenapa, La. Kok kasar seperti ini?" tanya suamiku dengan nada sedikit tinggi.

"Aku kesel sama Anisa, Mas. Di nasehatin untuk tukar baju yang lebih sopan malah nuduh aku yang bukan-bukan!" jawabku dengan raut wajah ketus.

"Kamu ini kenapa akhir-akhir ini cerewet sekali sama Anisa. Biarin dia lah mau pakai baju seperti apa itu hak dia!" lagi-lagi suamiku membela Anisa.

"Mas disini ada kamu, apa dia enggak ngerasa segan sama sekali sama kamu kalau pakai baju ketat seperti itu!"

"Namanya juga Anisa masih muda, wajarlah kalau dia lebih suka pakai baju ketat dari pada yang longgar-longgar. Sudahlah, La. Mas lapar. Enggak usah bahas ini lagi. Cape dengerin curhatanmu yang sama terus dari kemarin-kemarin!" suamiku bangkit lalu keluar kamar. Aku terpaksa mengikutinya dari belakang.

Di ruang makan sudah ada Elsa duduk di sebelah ibu tiriku. Kemudian aku dan Mas Dani duduk bersebelahan. Baru setelah itu ku lihat Anisa datang.

"Pagi Mas Dani!" ucap ramah Anisa. Sepertinya dia sengaja memancing amarahku lagi karena terang-terangan sekali dia tersenyum nakal kearah suamiku.

"Pa...pagi...Nis...!" balas suamiku gugup.

Saat Anisa mengambil tempat duduk tepat di depanku, tak sengaja aku melihat satu jejak merah di lehernya. Aku terkejut bukan main, semalam saat kami bertengkar aku belum melihat ada tanda itu di lehernya. Lalu kenapa sekarang ada?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
jahat sekali,seingkuh kok dengan orang dalam rumah sendiri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status