Share

Terbongkar

Hari yang sangat melelahkan, setelah semalaman tadi Mas Dani menguras tenagaku, pagi ini aku di sibukan dengan aktivitas mencuci pakaian yang menggunung milik Mas Dani juga Elsa. Pagi ini mbok Yuli izin pulang karena mendadak anaknya sakit, jadi dia tak sempat mencucikan baju kami semua.

Saat aku hendak menyikat celana milik Mas Dani yang dia gunakan semalam. Tak sengaja aku menemukan beberapa lembaran uang biru dalam saku celananya. Dan diantara uang-uang tersebut, aku menemukan sebuah nota pembelian dari salah satu butik ternama di kota ini.

Melihat nominal yang tertera dalam nota itu membuat mataku membulat sempurna. Buat apa Mas Dani menghabiskan hingga sepuluh juta rupiah dalam waktu sehari saja.

Ku baca satu persatu barang yang Mas Dani beli. Aneh, kenapa dia membeli baju wanita?

Aku membungkam mulutku sendiri saat mengingat kalau butik yang di datangi Mas Dani ternyata sama dengan yang Anisa datangi kemarin. Jadi benar dugaanku sebelumnya kalau mereka sebenarnya janjian pergi?

Aku menendang ember yang ada di depanku saking geramnya dengan pengkhianatan adik dan suamiku. Kurang sempurna apa aku jadi istri Mas Dani sampai lelaki itu berani mengkhianti ku demi adik tiriku yang umurnya masih belasan tahun itu.

Berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku. Sejak kapan mereka jadian dan siapa yang memulai hubungan terlarang ini?

Ingatanku kembali ke beberapa hari lalu saat adikku mendapatkan ponsel baru. Mungkinkah ponsel barunya juga pemberian dari Mas Dani?

Anisa sial*n! Berani-beraninya wanita itu menikamku dari belakang. Harusnya saat itu aku biarkan saja dia jadi gelandangan jadi Mas Dani tidak akan tega mengkhianatiku seperti ini.

"Kamu tega banget, Mas!" tangisku pecah tatkala mengingat kemarin aku menemukan jejak merah di leher Anisa. Mas Dani tak terima aku menegur Anisa saat ku temukan jejak merah itu, jadi aku yakin ini semua perbuatannya.

Aku sangat mencintai Mas Dani, dia cinta pertamaku. Haruskah aku menyerah hanya karena kehadiran pengganggu tidak tahu diri itu?

Tangisku makin menjadi, bahkan aku sampai terduduk di keramik kamar mandi lantai bawah karena tak punya kekuatan setelah mengetahui kebenaran tentang hubungan gelap adik tiri dan suamiku.

Apa yang aku harus aku lakukan sekarang? Jika aku langsung menanyakan tentang bukti nota ini pasti Mas Dani ataupun Anisa sama-sama bisa menyangkal  hubungan mereka. Nota ini tidak terlalu kuat ku jadikan bukti, bisa saja mereka menggunakan kelicikan mereka untuk memutar balikan fakta.

Aku tinggalkan semua cucianku yang menggunung, aku memilih pergi ke kamar untuk menenangkan diri.

"Kamu sudah selesai nyuci, La? Baru saja ibu mau nitip!" ucap Ibu tiriku. Aku berhenti melangkah sambil menatap marah ke wanita yang masih berumur 40tahunan itu. Mungkinkah wanita itu juga tahu hubungan gelap Mas Dani juga Anisa? Atau jangan-jangan dia adalah otak di balik pengkhianatan ini. Karena wanita ular sepertinya akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia mau.

Melihat kehidupanku yang mapan harusnya wanita jahat ini senang karena dia juga ikut menikmati uang hasil kerja keras suamiku, bukan malah iri dan bekerjasama dengan anaknya untuk merebut suamiku. Benar-benar wanita tak punya perasaan!

Brengs*k! Kenapalah aku bisa menampung ular-ular ini tanpa curiga sama sekali bahwa mereka akan menikamku dari belakang seperti saat ini.

"Ka--kamu, kenapa menatap ibu dengan tatapan menakutkan seperti itu?" tanya ibu tiriku gemetar.

"Mulai sekarang ibu harus terbiasa mencuci baju sendiri. Mbok Yuli saya pecat, jadi semua kerjaan Mbok Yuli akan di kerjakan ibu dan Anisa!" ucapku tanpa basa-basi.

"Loh kok jadi ibu yang suruh ngerjain? Kamu kan yang punya rumah, harusnya kamu dong yang ngerjain!" ucap ibu tiriku tak tahu malu.

"Kalau ibu dan anak kesayangan ibu tidak mau, kalian sialahkan pergi dari rumah ini!" Aku menunjuk ke arah pintu keluar.

"Kamu ini gila, Ola. Dari kemarin enggak habis-habisnya buat masalah sama Ibu juga Anisa!" bentak ibu tiriku sembari berjalan kearah kamarnya. Aku yakin dia akan langsung mengadu hal ini pada suamiku juga Anisa. Masa bodoh, aku tidak akan peduli lagi dengan kemarahan mereka.

Sampai di kamar, ponselku berbunyi. Aku tersenyum getir saat melihat suamiku yang menghubungiku. Pasti lelaki itu akan memarahiku karena sikap kurangajarku pada ibu tiriku.

Aku mengabaikan panggilan serta pesan dari Mas Dani. Setelah lelaki itu berhenti menggangguku baru aku menghubungi Mbok Yuli agar sementara waktu berhenti bekerja. Aku menceritakan kejadian sebenarnya pada Mbok Yuli karena kami memang sangat dekat selama ini. Untungnya Mbok Yuli paham keadaanku, dia bahkan berusaha menguatkanku dan menasehatiku untuk memberi pelajaran pada pengkhianat-pengkhianat itu.

Siang hari, aku membawa Elsa makan di luar setelah anak perempuanku itu pulang sekolah. Tak lupa aku juga membungkus 2 porsi makanan untuk makan malam kami berdua. Aku tak peduli lagi dengan kondisi adik dan ibu tiriku kalau hari ini mereka sampai kelaparan karena tak ada makanan.

Jam sembilan malam, suamiku pulang membawa beberapa bungkus makanan. Mungkin Anisa mengabarinya kalau tak ada makanan di rumah jadi dia sanggup membungkuskan makanan dari luar untuk kami semua.

"Kamu kenapa dari siang Mas telepon enggak angkat?" tanya suamiku setelah dia masuk dalam kamar. Aku hanya diam sembari menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.

"La, kamu kenapa. Kalau ada apa-apa cerita sama Mas. Kamu berantem lagi sama ibu tirimu atau sama Anisa?"

Sekali lagi aku tersenyum getir mendengar pertanyaan bodoh darinya. Siang tadi pasti ibu tiriku sudah mengadu tentang pertengkarannya denganku, lalu sekarang dia pura-pura tak tahu apa-apa. Dasar suami tukang sandiwara.

"Ya udah kalau kamu tak mau jawab pertanyaan Mas. Sekarang kamu makan, Mas belikan makanan kesukaanmu!" ucap suamiku sambil memyodorkan satu plastik dengan logo restoran langganan kami.

"Aku enggak lapar!" tolakku sembari menepis plastik pemberiannya. Makanan jatuh dan berserakan di lantai. Suamiku melotot marah kearahku.

"Kamu ini kenapa sih, La. Suami baru pulang kerja malah kamu sambut dengan cara seperti ini!"

Suamiku seperti kesetanan, matanya merah dan hampir menamparku. Namun tangannya terhenti diudara, entah kenapa lelaki itu mengurungkan niatnya.

"Maaf, Mas emosi." ucapnya sembari mengusap wajahnya secara kasar.

"Mas akan membersihkan ini, kamu sekarang istirahat. Kalau hari ini kamu enggak mau cerita kamu kenapa, maka Mas sabar nunggu kamu mau cerita!"

Suamiku berlalu pergi setelah membereskan makanan yang berantakan di lantai. Beberapa saat kemudian dia datang dengan segelas susu lalu memberikannya padaku.

"Biasanya kalau kamu lagi marah-marah, emosimu langsung mereda saat minum susu ini. Jadi minumlah!"

Aku menatap miris kearah suamiku. Tiga kali sudah aku tertidur gara-gara susu buatannya, jadi kali ini aku tidak akan lagi terjebak oleh tipu dayanya.

"Susu itu masih panas, nanti aku baru minum!" ucapku berbohong.

Mas Dani terlihat lega karena aku mulai mau bersuara.

"Ya udah, jangan lupa habisin ya. Mas Mandi dulu!" ucapnya sembari menuju ke kamar mandi. Setelah keadaan aman aku baru membuang susu pemberiannya pada salah satu Vas bunga berukuran cukup besar di kamarku. Setelah itu aku baru pura-pura tertidur.

Detik kemudian kudengar pintu kamar mandi terbuka, langkah Mas Dani terdengar mendekat. Dia mengelus rambutku sembari tertawa jahat.

"Selamat tidur sayang!" ucapnya di sela tawanya.

Mas Dani pun terdengar menghubungi seseorang, aku tak tahu siapa orang yang di hubunginya.

"Sayang, kakakmu sudah tertidur. Kamu boleh masuk ke kamar ini!"

Sumpah demi apapun, betapa marahnya aku mendengar kalimat yang suamiku katakan pada adikku. Apa mereka tak mampu membayar hotel sampai mereka selalu berbuat mes*m dikamarku? Biad*b!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status