Share

AKU ARUNIKA

Hai, aku Aru, begitulah teman - teman memanggilku dan Arunika adalah nama yang ku tahu dari bibi ku. Aku hidup bersama bibi di sebuah desa kecil yang sepi, kebanyakan penduduknya pergi ke kota untuk bekerja. Bibi ku bernama Noa dan akupun memanggilnya begitu, ia seorang perawan cantik, putih, tinggi, rambutnya yang ikal panjang selalu ia gulung dengan pita, bagiku Noa layaknya seorang ibu, baik hati dan selalu terlihat muda bak bunga desa yang digemari pemuda-pemuda.

Menurut Noa aku adalah gadis yang unik dan eksotis karena ketika senyum dagu ku akan terlihat sedikit membelah. Kulit ku, mata ku juga rambut ku berwarna cokelat terang dan aku selalu mengikat setengah rambut ku yang ikal panjang bergelombang.

Sejak kecil hingga sekarang aku hidup begitu damai, setiap hari nya membantu Noa berkebun, belanja ke kota, sesekali pun aku pergi ke hutan untuk berburu, aku suka sekali ketinggian walaupun harus memanjat tetapi itu adalah keahlianku, dari ketinggian aku bisa melihat keadaan sekitar, mengamati dan mempelajari kehidupan. Sekarang aku sedang menulis tentangku diatas pohon sambil menikmati cahaya pagi dan melihat Noa yang berteriak menyuruhku turun.

“Aru... ayo turun, tolong pergi ke kota dan belanja. Stok daging kita sudah habis” Teriak Noa

Akupun lekas turun dan segera pergi ke kota. Sejak dulu aku sangat senang jika Noa menyuruh ke kota untuk berbelanja atau menjual hasil panen, bahkan diam – diam aku selalu membawa stok makanan ke dalam hutan dan membiarkannya dimakan hewan agar aku bisa pergi ke kota.

Ketika menuju kota, jiwa petualang ku tercipta. Berjalan, menikmati angin, merasakan panasnya matahari, akupun selalu menyapa orang-orang yang ku temui, menghampiri hewan ternak tetangga dan memberinya makan. Di kota, aku selalu disambut oleh para pedagang yang menyapa dan memintaku untuk mampir walau hanya sekedar mengobrol sapa. Aku bisa saja menghabiskan waktuku seharian disana tetapi jarang sekali aku berlama-lama di kota karena perjalanan dari desa ke kota tidak dekat, harus melewati pedesaan, hamparan rumput, peternakan dan melewati jembatan gantung diatas sungai tenang yang memiliki air terjun di ujungnya.

Ketika di kota, aku selalu menemui temanku Nayanika, aku sering memanggilnya Naya ia adalah seorang anak wali kota yang begitu sederhana, suka berbaur dengan masyarakat dan ia selalu membantu para pedagang. Naya tidak seperti wanita kota lainnya yang manja yang takut tangan cantiknya tergores. Melihat Naya yang terkesan anggun dengan dress panjang yang selalu ia kenakan berpadu dengan kulitnya yang putih, lesung pipi nya yang manis, matanya yang bulat dan rambut pendeknya yang pirang membuatku merasa iri sebagai seorang perempuan. Aku pertama kali bertemu Naya di kedai daging paman Heri, ia suka sekali memasak hingga membantu paman Heri disana dan kedai itu pun menjadi tempat berkunjungku kala ingin menemui Naya atau hanya sekedar ke kota.

“Hai Aru, berbelanja seperti biasa?” Sapa Naya

“Ya, seperti biasa 2 kilo daging segar dan tambahkan 2 potong yang sudah di bakar” Ucapku.

Terlihat kedainya tak ramai seperti biasa, hanya aku pembeli disana. Tak lama paman Heri muncul memakai setelan layaknya koki lalu menghampiriku dan berkata dengan nada bicaranya yang tinggi.

“Aru, sudahkah kau bertemu keponakan tampan ku? Ia baru datang dari Pendar dan besok sore pun ia sudah harus kembali”

“Belum paman, aku baru saja sampai sini”

“Nay, tolong panggil Rayi kemari” Teriak paman Heri pada Naya sedangkan tangannya sambil mengambil daging.

“Ia tadi keluar paman, mungkin jalan-jalan”

“Sudah kuduga, karena dari tadi aku tak merasakan adanya aura tampam disini” Canda ku

“Hahaha... Jadi menurutmu aku tak tampan begitu??” Saut paman Heri sambil tertawa.

Paman Heri yang telah selesai memotong daging mulai mengajakku berbincang kesana kemari seperti biasa dan begitu pun aku yang menunggu Naya sedang membakar daging pesanan ku. Paman bercerita banyak tentang keponakannya itu, namanya adalah Rayi, ia tinggal di kota Pendar yang terkenal karena kotanya sangat maju dan terdapat rumor bahwa kota itu merupkan kota magis yang dipenuhi sihir. Paman menyuruhku menunggu disana hingga Rayi pulang. Namun, sampai daging bakar pesananku selesai ia belum datang juga. Tak ingin gelap ketika sampai rumah maka, aku segera pamit pulang.

Paman Heri menyayangkan karena aku belum bertemu dengan Rayi, katanya memang ada hal yang harus dibicarakan tetapi, Naya berkata padaku bahwa besok ia akan mampir ke rumah dan akan membicarakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status