Share

4

Aku menggeleng pelan.

"Bukan Ma," jawabku

"Bukan bagaimana?"

"Manda kesini lagi bukan untuk meminta ma'af. Memangnya apa salah Manda?" tanyaku tanpa rasa berdosa.

Mama mertua tampak salah tingkah.

"Baiklah. Yasudah kalau begitu, kamu mau perlu apa sayang? Katakanlah? Kamu mau beli perhiasan baru atau berlian? Hemm atau kamu mau beli hunian baru? Agam adalah anak mama. Dan kamu juga menjadi anak mama. Apapun itu akan Mama kabulkan," katanya lagi.

Aku lelah. Semua disangkut pautkan dengan materi.

"Ma, bisa tidak pertanyaan Mama diganti? Aku bosan loh Ma. Coba sekali-kali ditanya. Aku bahagia atau tidak? Andai ada, aku hanya minta bahagia. Itu saja," sahutku

Mama mertua terdiam.

"Mbok ya belajar bersyukur Nda. Diluar sana banyak yang ingin menjadi seperti kamu," tegurnya tiba-tiba.

"Ya itu yang namanya hidup sawang sinawang. Yang hidup enak belum tentu enak. Pun sebaliknya. Menikah dengan Mas Agam memang menjanjikan kemewahan tapi hidup tak selalu tentang itu, Ma. Karena sepi memang mengerikan," jawabku

"Terserah kamu Nda. Kamu sekarang aneh."

"Ini mungkin punya Mama," ucapku sembari menyerahkan isi paket itu

Dahi Mama mertua yang memang mulai sedikit keriput itu mulai berkerut.

"Apa ini Nda?" tanyanya membolak-balik bungkus baju bayi itu. Padahal jelas dapat diterawang bahwa itu adalah pakaian bayi.

"Sepertinya Mama harus berhenti dulu ikut arisan," ucapku tiba-tiba.

Mama mertua semakin terlonjak.

"Loh memangnya kenapa?"

"Lebih baik Mama pergi ke optik saja, memeriksakan mata," jawabku sedikit kesal.

"Sensitif sekali kamu Nda. Aku ini mama suamimu, laki laki yang memberikan kamu nafkah tiga digit setiap bulanya. Ini bukan punya Mama, Nda. Mana ada mama beli pakaian bayi? Untuk anak siapa? Anak kucing?" tanyanya.

Selalu begitu. Mama mertua terus saja mengungkit nafkah yang diberikan oleh Mas Agam terhadapku.

"Tapi di alamat tertera nama anak mama loh. Siapa tau mama tau."

"Agam itu suami kamu Nda. Seharusnya kamu yang lebih tau. Bukanya Mama. Ada ada saja. Huft,"

Kelihatanya Mama mertua mulai kesal. Ia melangkah menuju dapur lagi.

"Kamu jangan apa-apa langsung diambil hati Nda. Langsung curiga. Lagipula kamu menikah dengan Agam itu sudah lama. Dewasa sedikitlah. Paling juga orang iseng atau salah kirim juga bisa," kata Mama mertua.

"Apa salahnya waspada Ma? Aku tidak mau, dan tidak akan terima di bodohi."

Aku tak mau kalah.

Mama mertua tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Dia berbalik badan, menatap ke arahku.

"Kamu pikir, Agam itu adalah suami yang jahat Nda? Saya ibunya, saya yang melahirkanya. Bagaimana bisa kamu bilang seperti itu jika dia sangat bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidupmu," jawab Mama mertua dengan penuh penekanan.

Aku mundur beberapa langkah, agar tidak tersulut emosi yang sama. Meskipun nuraniku menjerit, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan mama mertua. 

Tak semua kejujuran dinilai dari mata rupiah.

"Manda, tiga hari ke depan kamu jangan kesini ya, mama mau keluar kota. Ada acara dengan teman-teman Mama," ucap Mama mertua tiba-tiba.

Aku masih tertegun. Ke luar kota? Lantas di luar itu tenda untuk acara apa? Tak mungkin mama mertua menyewa hanya untuk percuma.

Aku diam. Hanya anggukan kecil.

"Benar loh Manda, jangan kesini. Takutnya nanti kamu kesini tapi Mama tidak ada. Kan kasihan," tambah mama mertua lagi.

"Takut aku kecewa apa takut aku tau Ma?" tanyaku menegaskan.

Aku menghormati Mama mertua, tapi tidak untuk aku takuti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status