Aku menggeleng pelan.
"Bukan Ma," jawabku"Bukan bagaimana?""Manda kesini lagi bukan untuk meminta ma'af. Memangnya apa salah Manda?" tanyaku tanpa rasa berdosa.Mama mertua tampak salah tingkah."Baiklah. Yasudah kalau begitu, kamu mau perlu apa sayang? Katakanlah? Kamu mau beli perhiasan baru atau berlian? Hemm atau kamu mau beli hunian baru? Agam adalah anak mama. Dan kamu juga menjadi anak mama. Apapun itu akan Mama kabulkan," katanya lagi.Aku lelah. Semua disangkut pautkan dengan materi."Ma, bisa tidak pertanyaan Mama diganti? Aku bosan loh Ma. Coba sekali-kali ditanya. Aku bahagia atau tidak? Andai ada, aku hanya minta bahagia. Itu saja," sahutkuMama mertua terdiam."Mbok ya belajar bersyukur Nda. Diluar sana banyak yang ingin menjadi seperti kamu," tegurnya tiba-tiba."Ya itu yang namanya hidup sawang sinawang. Yang hidup enak belum tentu enak. Pun sebaliknya. Menikah dengan Mas Agam memang menjanjikan kemewahan tapi hidup tak selalu tentang itu, Ma. Karena sepi memang mengerikan," jawabku"Terserah kamu Nda. Kamu sekarang aneh.""Ini mungkin punya Mama," ucapku sembari menyerahkan isi paket ituDahi Mama mertua yang memang mulai sedikit keriput itu mulai berkerut."Apa ini Nda?" tanyanya membolak-balik bungkus baju bayi itu. Padahal jelas dapat diterawang bahwa itu adalah pakaian bayi."Sepertinya Mama harus berhenti dulu ikut arisan," ucapku tiba-tiba.Mama mertua semakin terlonjak."Loh memangnya kenapa?""Lebih baik Mama pergi ke optik saja, memeriksakan mata," jawabku sedikit kesal."Sensitif sekali kamu Nda. Aku ini mama suamimu, laki laki yang memberikan kamu nafkah tiga digit setiap bulanya. Ini bukan punya Mama, Nda. Mana ada mama beli pakaian bayi? Untuk anak siapa? Anak kucing?" tanyanya.Selalu begitu. Mama mertua terus saja mengungkit nafkah yang diberikan oleh Mas Agam terhadapku."Tapi di alamat tertera nama anak mama loh. Siapa tau mama tau.""Agam itu suami kamu Nda. Seharusnya kamu yang lebih tau. Bukanya Mama. Ada ada saja. Huft,"Kelihatanya Mama mertua mulai kesal. Ia melangkah menuju dapur lagi."Kamu jangan apa-apa langsung diambil hati Nda. Langsung curiga. Lagipula kamu menikah dengan Agam itu sudah lama. Dewasa sedikitlah. Paling juga orang iseng atau salah kirim juga bisa," kata Mama mertua."Apa salahnya waspada Ma? Aku tidak mau, dan tidak akan terima di bodohi."Aku tak mau kalah.Mama mertua tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Dia berbalik badan, menatap ke arahku."Kamu pikir, Agam itu adalah suami yang jahat Nda? Saya ibunya, saya yang melahirkanya. Bagaimana bisa kamu bilang seperti itu jika dia sangat bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidupmu," jawab Mama mertua dengan penuh penekanan.Aku mundur beberapa langkah, agar tidak tersulut emosi yang sama. Meskipun nuraniku menjerit, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan mama mertua. Tak semua kejujuran dinilai dari mata rupiah."Manda, tiga hari ke depan kamu jangan kesini ya, mama mau keluar kota. Ada acara dengan teman-teman Mama," ucap Mama mertua tiba-tiba.Aku masih tertegun. Ke luar kota? Lantas di luar itu tenda untuk acara apa? Tak mungkin mama mertua menyewa hanya untuk percuma.Aku diam. Hanya anggukan kecil."Benar loh Manda, jangan kesini. Takutnya nanti kamu kesini tapi Mama tidak ada. Kan kasihan," tambah mama mertua lagi."Takut aku kecewa apa takut aku tau Ma?" tanyaku menegaskan.Aku menghormati Mama mertua, tapi tidak untuk aku takuti."Kamu aneh sekali sih Nda sekarang. Pantas saja Agam lebih memilih lembur daripada pulang menemui kamu," serang Mama mertua.Aku hanya menghela nafas pelan."Bagaimana aku tidak aneh Ma. Kalau mama juga bersikap aneh," jawabku."Maksutmu bagaimana?" tanya Mama mertua yang nada suaranya sudah naik satu oktaf."Itu lihat di depan ada tenda yang datang. Mau ada acara apa sih? Hingga Manda tak boleh datang?" tanyaku sedikit menodong.Mama mertua salah tingkah. Ia menurunkan wajahnya yang terkesan menantang itu."Tak mungkin kan mama gabut, lalu mengundang tukang tenda dengan percuma. Mama memang kaya raya. Tapi untuk ukuran crazy rich mungkin memang belum ya," kataku, aku tak perduli bagaimana reaksi beliau. Aku tidak suka berbasa-basi. Atau bermain lembut. Diam diam membalasnya. Tidak. Aku langsung to the point dengan apa yang aku katakan."Ehm itu, Bi Ijah yang punya acara. Mana mungkin mama. Kalau ada acara pastinya kamu selalu mama libatkan dong," elaknya."Wuidih baik benar Ma. Sampa
Setelah Mas Agam mematikan saluran telefon, apakah aku menelfon balik? Oh tentu saja, jawabanya Tidak.Justru yang aku cari adalah nomor telepon Mama mertua.Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain...Ah mudah sekali di tebak. Si keong tentu langsung mengadu ke emaknya.Dan tidak berselang lama Mas Agam kembali menelfon aku."Hallo Sayang, bagaimana? Duh ma'af sekali ya tadi sinyalnya susah. Jangan marah-marah dong, sudah aku beri nafkah tiga digit. Belum tentu dengan orang lain kamu bisa merasakanya loh," ucapnya tanpa merasa bersalah.Aku menarik nafas panjang."Mas, bisa atau tidak kadar kesongonganmu itu di turunkan? Toh kalau aku mati, juga dikubur dengan tanah. Tidak dikubur dengan uang nafkahmu," sengitku dengan kesal."Iya iya. Jadi bagaimana Nda?""Kebetulan sekali ya Mas sewaktu sambungan telefon darimu mati. Kok telefon mama Melisa juga sibuk. Semoga baik baik saja ya," serangku lagi."Nda, sudahlah kamu jangan yang aneh aneh. Mama orang sibuk. Wajarlah kalau
Saat aku kembali ke dalam mobil, justru aku melihat Ilham telungkup seperti posisi tertidur."Oh jadi kamu tidak mau masuk karena mau tidur?" tanyaku sembari masuk mobil.Dia kaget."Eh sudah selesai Nyonya? Alhamdulillah. Saya tidak tidur Nyonya," elaknya."Lalu kenapa? Seperti orang takut saja. Jangan jangan kamu masuk dalam Daftar Pencarian Orang? Ih serem," komentarku.Ilham menggeleng dengan cepat."Bukan Nyonya. Saya pria baik baik. Hanya saja di depan Hotel itu menjadi tongkrongan teman teman saya. Nanti kalau mereka mengetahui saya, takutnya justru mereka mengajak ngopi. Saya bekerja Nyonya," jawab Ilham dengan sopan."Oh begitu. Kirain.""Nyonya kok cepat sekali. Numpang ke toilet ya? Wah bahaya ya kalau jadi orang kaya, ke toilet saja harus ke hotel," tanya Ilham dengan kekeh kecilnya."Enak saja kamu bilang. Saya ada perlu disini. Besok antar saya kesini lagi," perintahku."Kenapa tidak menginap sekalian saja Nyonya?" Aku sejenak terdiam."Oh iya. Benar juga apa katamu.""
Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.Aku tertawa kecil."Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.Aku benci dengan pembohong."Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. Ya aku bisa hadir di acara ini."Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Nay
Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan."Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam."Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.Dan aku hampir saja tak percaya.Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu."Maafkan
Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam."Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mam
POV AUTHOR"Alah, mimpi kamu. Kamu memang bisa menemukan laki laki yang kaya, tapi laki laki seperti Agam itu ibaratkan satu banding seribu," jawab Mama mertua.Manda terkekeh kecil."Memangnya seistimewa apa sih anaknya Ma? Kurangnya banyak kok. Anak kesayangan Mama itu juga tidak sempurna. Duh. Yang mengenal betul seorang laki-laki itu bukan ibunya. Tapi istrinya. Mama dengar? ISTRINYA," jawabnya lagi tak gentar dan penuh penekanan."Ayolah Mas. Talak aku. Biar aku juga segera bisa pulang. Tapi tenang saja aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Tidak ke rumah yang katanya dulu kamu bangun untuk aku. Ambilah lagi rumahmu itu. Aku tidak butuh," tambah Manda."Mas Agam tidak akan menceraikan Mbak Manda. Karena talak itu tidak akan keluar dari mulut Mas Agam, Mbak. Aku yang harusnya tau diri dan mengalah. Aku yang harus pergi. Dan aku yang harus menyudahi semuanya," sela Aisyah."Aisyah, diamlah. Kamu tidak tau apa-apa. Wanita inilah yang egois. Kamu hanya menurut saja ke kita, apa salah
Manda menjawab pertanyaan sang Mama dengan yakin. Dan tentu saja dengan tegar.Tetapi namanya seorang ibu, tentu saja dia khawatir dengan keadaan sang anak. Walaupun sebelumnya lewat sambungan telefon pun , Manda menceritakan semua dengan kuat, tanpa ada suara terisak sedikitpun."Manda, kamu tidak apa apa Nak?" tanya Bu Yosi dengan trenyuh dan tatapan nanar.Manda justru menatap sang Mama dengan aneh."Mama apaan sih? Lihat Manda baik baik saja. Mau diperiksakan ke Psikiater sekalipun juga pasti tak apa. Mama tenang saja. Manda juga bukan tipikal orang yang diam diam lalu bunuh diri. Dih amit amit. Laki laki seperti itu saja ditangisi sampai segitunya," komentar Manda dengan santai."Betul itu Manda. Papa suka cara kamu. Laki laki seperti Agam, banyak modelnya diluar. Bahkan yang lebih dari dia juga banyak. Kalau perlu, papa bisa Carikan yang jauh diatas Agam. Bagaimana?" tanya Pak Irwan kepada sang putri.Namun Manda menggeleng dengan cepat."Tuh kan Pa. Lihat anakmu. Dia bahkan bel