Share

8

Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.

Aku tertawa kecil.

"Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.

Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.

Aku benci dengan pembohong.

"Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.

Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.

Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. 

Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. 

Ya aku bisa hadir di acara ini.

"Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. 

Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Naya memang baik-baik saja. Bahkan terkesan sangat dekat. Naya tengah menempuh kuliah di luar kota. Jika dia pulang, akulah yang selalu menjemputnya, menghabiskan waktu di restoran, di salon, shopping di mall. Ya hampir dimanapun dan di berbagai kesempatan, Naya selalu melibatkanku. 

Tapi hari ini, aku seperti melihat topeng Naya terlepas. Seolah dia mendukung dan turut andil penuh atas kebohongan yang dilakukan oleh keluarganya. Tanpa aku tau dimana letak salahku.

Dan aku sadar, bahwa sakit hati yang dalam bisa saja hadir bahkan dari orang terdekat kita, orang yang kita anggap baik.

"Jangan buat onar di acara keluarga kami," ancam Mama mertua dengan tatapan tajam menghujam.

Image mertua baik, lembut, loyal seketika hilang dalam dirinya. Dan kini aku sadar, semua hanya sandiwara belaka. Semua kebaikanya hanyalah kepura-puraan belaka. Jika statusnya saat ini bukan mertuaku, mungkin sudah aku tampar mulutnya.

Aku tersenyum kecut.

"Santai Ma. Takut banget sih," ujarku melengang masuk.

Namun rupanya Mama mertua terus mengikuti langkahku dari belakang. Beliau setengah berlari.

"Heh Manda. Enak sekali kamu masuk. Kamu bukan tamu disini. Tidak. Kamu tidak ada undangan. Silahkan pergi." larangnya lagi dengan tegas.

Sedikitpun aku tidak gentar. Aku tak menjawab sepatah katapun. Aku sodorkan tanganku yang memakai gelang kertas pertanda akses masuk.

Ku lihat juga dari ekor mataku bahwa Mas Agam tampak protes kepada panitia. Dia tampak marah besar.

Dan panitia hanya tertunduk, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Rasakan!

Apa yang dia rencanakan dengan baik bahkan penuh dengan kematangan, belum tentu berjalan dengan mulus juga.

Dasar bodoh!

Kenapa aku bilang begitu? Sudah tau ketangkap basah. Masih saja memperlihatkan gejala kebohongan mereka.

Mama mertua masih diam. Mungkin beliau bingung dengan apa yang harus dilakukan.

Aku tak mau membuang waktu terlalu lama. Aku menyeruak untuk maju lebih depan. Melihat dekorasi yang di persiapkan suami dan mertua di belakangku.

Dan yang paling penting adalah melihat kejahatan mereka secara asli. Melihat orang yang dulu mengaku begitu baik terhadapku, perlahan melepas topengnya masing-masing.

'Tasyakuran atas kelahiran anak kedua kami'

Ada foto Mas Agam dan seorang wanita.

Begitulah tulisan di layar depan.

Mereka yang hebat atau aku yang bodoh bisa dibodohi hingga anak kedua?

Aku sejenak berhenti. Mengatur nafas. Aku memang marah. Marah sekali. Tapi aku bertekad untuk bersikap elegan.

Ternyata Mas Agam berhasil menyusulku yang tengah berdiri di depan dekorasi yang begitu indah. Dia meraih lenganku. Dan sedikitpun aku tidak menoleh.

"Kita bisa bicara baik-baik, Amanda," ucapnya dengan lembut.

Tingkah paniknya tadi mendadak hilang. Entah dia di breafing apa oleh Mamanya sebelum menghampiriku.

"Bicara baik-baik? Setelah kamu melakukan sesuatu yang tidak baik-baik saja terhadapku? Seadil itukah?"

"Kamu boleh marah Manda. Tapi tolong jangan rusak acara ini."

"Aku sudah bilang, aku tidak akan membuat onar. Aku hanya ingin menjadikan acara ini menjadi acara yang tidak akan kamu lupakan seumur hidup kamu. Baik bukan aku?"

Mas Agam bergeming.

"Aku tau kamu cerdas, Manda. Tapi tolong jangan lakukan hal ini kepadaku. Apapun permintaanmu akan aku turuti. Kamu mau apa? Kamu mau penthouse? Kamu mau villa mewah? Atau kamu mau uang nafkah bertambah? Katakan berapa? Dua ratus juta? Tiga ratus juta?" tanyanya.

Kali ini aku bergantian menatapnya dengan dalam, tajam menghujam.

Plakkk....

Tanganku berhasil mendarat di pipi Mas Agam dengan sempurna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status