Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan.
"Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam."Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.Dan aku hampir saja tak percaya.Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu."Maafkan kami Mbak Manda," ucapnya tiba tiba.Aku mendelik. Dia tau namaku. Berarti dia memang sudah tau jika Mas Agam adalah pria beristri.."Maaf?" tanyaku memastikan."Manda lebih baik kamu pergi saja dari sini. Jangan memalukan. Selesaikan nanti dirumah," bentak Mama mertua yang tiba tiba datang.Aku melongo."Hah? Memalukan? Justru kalian yang mempermalukan diri kalian sendiri. Seantero kota juga akan bilang aku yang benar jika dihadapkan masalah seperti ini. Tidak perlu nanti Ma. Tidak perlu menunhhu di rumah. Karena disini saja aku juga akan mengatakan selesai. Tak perlu menunggu nanti. Untuk apa? Untuk kalian bohongi lagi? Sudah cukup. Aku kini mengerti bagaimana busuknya kalian." jawabku dengan tegas.Dan tiba-tiba wanita yang mungkin menjadi istri kedua Mas Agam tersebut menangis."Mbak Manda, biar saya yang mengalah. Tak apa. Mas Agam adalah milik Mbak Manda. Saya yang salah," ucapnya sembari terisak yang terdengar pilu."Aisyah, tidak. Jangan berkata seperti itu. Kamu tetap bagian dari keluarga kita," kata Mama mertua membela.Entah, aku pun tidak tau apa keistimewaan wanita yang bernama Aisyah itu. Apakah dia dari keluarga konglomerat? Atau bagaimana, aku tidak tau. Karena yang aku tau baik Mas Agam dan keluarganya begitu perfeksionis dalam memilih sesuatu."Bunda, Ayah," panggil seorang balita yang ikut mendekat.Balita perempuan dengan poni tengah, dan kuncir dua. Terlihat menggemaskan.Dan aku tau, mengapa Mama mertua tak pernah mempermasalahkan cucu dariku. Karena dia sudah mempunyai cucu yang lain."Lihat Manda. Agam bahkan mempunyai dua orang anak dari Aisyah. Apakah kamu masih meninggikan egomu?" tanya Mama mertua."Mau punya dua anak, mau tiga anak, mau selusin, saya tidak perduli Ma. Bukan masalah anak. Tapi ini adalah tentang kecurangan."Mama mertua sempat mengibaskan tangan di udara."Sudah Manda. Terima saja jika Agam mempunyai dua istri. Toh kamu juga butuh nafkah tiga digit dari Agam setiap bulan bukan? Tidak usah munafik."Aku menarik nafas panjang."Jangan berbicara tentang nominal Nafkah di depanku Ma. Aku sama sekali tidak tertarik. Tiga digit yang tidak membahagiakan untuk apa? Aku tidak akan menurunkan harga diriku demi rupiah." jawabku dengan tegasWanita bernama Aisyah tersebut tiba tiba meraih tanganku. Hendak ku hempaskan. Namun dari tatapan netranya terlihat begitu sayu memohon."Mbak tolong dengarkan alasan kamu," rengeknya."Mbak Aisyah, tidak usah memohon seperti itu kepada dia," teriak Naya.Aku perlahan melepas tangan Aisyah."Apapun alasannya, sebenar apapun. Tapi tingkah kalian tidak bisa dibenarkan. Dalam segi apapun. Dan kamu Naya, tenang saja. Aku tidak gila hormat. Bukankah kamu kenal aku secara dekat, sebelum semua berbalik 360 derajat seperti ini? Ups, bukanya berbalik, tapi memang topeng kamu sudah terlepas ya," jawabku.Naya melengos. Mungkin dia merasa malu."Maaf Bu. Tadi Aluna merengek mencari Bu Aisyah. Dia berlari," ujar seorang wanita berseragam babisitter yang aku kenal betul suaranya. Aku celingukan mencari sumber suara. Dan ternyata wajah babysitter itu memang tak asing. Dia adalah Erna. Teman yang sering ku bantu. Tidak sekali, dua kali, tapi berkali-kali."Erna," panggilku lirih.Dia justru menoleh dengan sinis."Jadi selama ini kamu bekerja kepada Mas Agam?""Memangnya kenapa? Aku juga tau kok dia suami kamu. Sakit ya? Kasihan deh Lo," oloknyaAku hanya tersenyum menanggapi olokan Erna. Diam diam Mama mertua juga tertawa kecil dari belakang.Aku tak gentar. Aku mendekat ke arah Erna.Menarik kerah baju yang di kenakan Erna."Menghancurkan hidupmu adalah salah satu hal yang mudah bagiku. Jadi kamu mau hancur kapan? Sekarang?" tantangku.Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam."Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mam
POV AUTHOR"Alah, mimpi kamu. Kamu memang bisa menemukan laki laki yang kaya, tapi laki laki seperti Agam itu ibaratkan satu banding seribu," jawab Mama mertua.Manda terkekeh kecil."Memangnya seistimewa apa sih anaknya Ma? Kurangnya banyak kok. Anak kesayangan Mama itu juga tidak sempurna. Duh. Yang mengenal betul seorang laki-laki itu bukan ibunya. Tapi istrinya. Mama dengar? ISTRINYA," jawabnya lagi tak gentar dan penuh penekanan."Ayolah Mas. Talak aku. Biar aku juga segera bisa pulang. Tapi tenang saja aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Tidak ke rumah yang katanya dulu kamu bangun untuk aku. Ambilah lagi rumahmu itu. Aku tidak butuh," tambah Manda."Mas Agam tidak akan menceraikan Mbak Manda. Karena talak itu tidak akan keluar dari mulut Mas Agam, Mbak. Aku yang harusnya tau diri dan mengalah. Aku yang harus pergi. Dan aku yang harus menyudahi semuanya," sela Aisyah."Aisyah, diamlah. Kamu tidak tau apa-apa. Wanita inilah yang egois. Kamu hanya menurut saja ke kita, apa salah
Manda menjawab pertanyaan sang Mama dengan yakin. Dan tentu saja dengan tegar.Tetapi namanya seorang ibu, tentu saja dia khawatir dengan keadaan sang anak. Walaupun sebelumnya lewat sambungan telefon pun , Manda menceritakan semua dengan kuat, tanpa ada suara terisak sedikitpun."Manda, kamu tidak apa apa Nak?" tanya Bu Yosi dengan trenyuh dan tatapan nanar.Manda justru menatap sang Mama dengan aneh."Mama apaan sih? Lihat Manda baik baik saja. Mau diperiksakan ke Psikiater sekalipun juga pasti tak apa. Mama tenang saja. Manda juga bukan tipikal orang yang diam diam lalu bunuh diri. Dih amit amit. Laki laki seperti itu saja ditangisi sampai segitunya," komentar Manda dengan santai."Betul itu Manda. Papa suka cara kamu. Laki laki seperti Agam, banyak modelnya diluar. Bahkan yang lebih dari dia juga banyak. Kalau perlu, papa bisa Carikan yang jauh diatas Agam. Bagaimana?" tanya Pak Irwan kepada sang putri.Namun Manda menggeleng dengan cepat."Tuh kan Pa. Lihat anakmu. Dia bahkan bel
"Kamu itu tidak usah ikut campur Aisyah. Tidak usah sok menjadi pahlawan. Kamu itu sudah beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Harusnya bersyukur. Jadi lain kali jangan banyak tingkah. Saya pulangkan ke kampung baru tau rasa kamu," kata Bu Melisa dengan ketus.Aisyah hanya tertunduk lesu. Nuraninya bertabrakan. Tentu sebagai wanita ia mengerti perasaan Amanda. Baginya ketegaran Amanda hanya kebohongan belaka."Kasihan Mbak Manda, Ma," ujar Aisyah yang justru mendapat tatapan mendelik dari Bu Melisa."Kasihan kamu bilang? Memangnya hidupmu sudah paling benar hingga kamu berani kasihan ke orang lain? Kalau bukan karena saya, mungkin kamu sudah mati loh di kota besar ini."Mendengar itu, Aisyah tidak berani bersua kembali.Amanda benar. Bahwa image mertua baik hati, lembut dan dermawan hanya topeng Bu Melisa saja. Dan sikap tersebut hanya ditunjukan kepada Manda dulu. Ya dulu, karena sekarang Manda sudah tau kebusukannya.Agam juga hanya terdiam setelah acara itu. Dia lebih ba
Aisyah kesal bukan main. Namun ia hanya mampu memendamnya. Ia tak punya keberanian seperti Amanda."Tidak usah protes Syah. Kamu saya nikahi bukan untuk cerewet terhadap hidup saya," gerutu AgamAisyah melengos dengan wajah cemberut. Ia tidak berharap Agam akan peka, akan merayu seperti saat Amanda yang merajuk. Tidak sama sekali. Semata karena ia ingin menunjukan ekspresi kesalnya saja. Tidak lebih.Agam berlalu dari kamar mereka. Dan deru mobilnya mulai menjauh dari apartemen. Aisyah sempatelihat dari jendela."Aaaarrrggghhh," teriaknya.Ia bingung. Ia bisa apa. Ia bahkan tidak punya siapa siapa di kota ini. Kemana ia harus membawa kedua anaknya? Ke kampung? Lalu apakah dia sanggup membesarkan mereka tanpa nafkah dari seorang ayah?Tentu dalam hati kecilnya, ia ingin seperti Amanda. Dengan lantang dan berani melawan mereka, melawan kesewenangan mereka. Tapi dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda dengan Amanda, dia berfikir seribu kali untuk mengambil langkah itu.Tanpa Agam,
Agam meremas baju bagian bawahnya. Wajah merah padamnya tak dapat ditutupi. Sementara Manda masih dengan wajah santai dan sumringahnya."Cukup Manda. Tidak usah kamu teruskan," tegur Agam.Amanda tertawa kecil."Kenapa? Panas ya? Salah sendiri bermain api," balasnya dengan ketus.Tidak disangka, justru langkah Manda menuju mobilnya kembali."Amanda, aku belum selesai bicara," kata Agam.Amanda menoleh dengan tatapan sinis."Aku punya rumah. Aku bukan siput yang rumahku, aku bawa kemanapun aku pergi," jawabnya dengan ketus.Agam tertunduk."Tapi Nda. Aku tak berani ke rumahmu. Apa kata orang tuamu nanti. Tolonglah mengerti aku," pintanya setengah mengiba."Mengerti kamu? Enak saja. Punya istri lain saja kamu berani, ketemu orang tuaku kok nyali kamu justru menciut? Laki laki macam apa sih. Pengecut," seru Amanda dengan kesal."Nda," panggil Agam lagi."Kamu dengar, penyesalan dalam hidupku yang paling mendalam adalah saat bertemu kamu. Andai aku boleh memutar waktu, aku tidak akan mau
"Tutup pintunya Manda," perintah Bu Yosi seperti tergesa-gesa.Namun dengan cepat pula tangan Aisyah menahanya."Tante, tolong jangan. Saya ingin berbicara dengan Mbak Manda. Hargai kedatangan saya Tante. Saya menitipkan anak saya yang masih bayi dan balita kepada orang dengan biaya per jam. Hanya saja saya ingin berbicara dengan Mbak Manda, Tante. Ini penting," pinta Aisyah yang begitu mengiba."Bentar Ma," kata Manda akhirnya. Dia memang keras, tapi dia masih punya rasa iba dan kasihan.Begitupun Bu Yosi, yang sepenuhnya percaya bahwa sang putri yang telah tumbuh dewasa, mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik."Duduklah," perintah Manda mempersilahkan.Aisyah sempat mengedarkan pandang ke setiap sudut rumah yang ditinggali Manda saat ini. Kemewahan ya juga tak kalah dari rumah milik Agam."Sebelumnya saya minta maaf. Mbak Manda berhak memaki saya sebagai perusak rumah tangga orang lain. Saya akui saya memang salah," ucap Aisyah dengan lirih."Berhenti. Mau kamu mengakui kalau pe
Terserah apa katamu. Kalau kamu memutuskan disini, setidaknya kamu harus mempelajari usaha rumah makan kita Gam. Kalau kamu berhenti, itu artinya kamu siap membantu Mama mengelola usaha keluarga kita," jawab Bu Melisa Agam mendengus kesal."Bisa atau tidak sih Ma untuk membiarkan Agam sejenak istirahat? Kepala Agam sudah mau meledak ini," protesnya."Jangan bilang gara gara Manda."Agam bungkam."Kamu mau wanita yang seperti apa? Mama Carikan. Model seperti Manda? Banyak," kata Bu Melisa mulai mengompor-ngompori.Tatapan Agam justru melengos. Tapi kosong."Masih diam saja kamu? Atau sudah berubah menjadi bisu? Atau jangan jangan kamu takut dengan Aisyah? Halah. Wanita seperti itu saja kok di takuti. Mau kamu punya istri sepuluh pun dia juga tidak masalah. Yang penting uang dari kamu tetap mengalir setiap bulanya. Bagaimana Gam? Kalau kamu setuju, nanti Mama akan membuat janji dengan teman Mama."Agam menghela nafas dengan kasar. "Terserah Mama saja. Bagaimana baiknya," ucap Agam den