Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Ting...Notifikasi dari aplikasi M-Banking.Dan tak berselang lama, handphoneku seperti biasa berbunyi.[Manda sayang, sudah aku transfer 100 Juta ya. Semoga kamu senang. Love you]Pesan dari suamiku. Selalu begitu. Dan tidak pernah berubah di tanggal gajian seperti ini.Aku hanya menghela nafas pelan. Tak ada sedikitpun niat untuk membalas pesannya tersebut. Pun tak ada rasa riang dalam diriku. Aku sudah kenyang akan kemewahan. Bahkan sedari kecil.Ya Mas Agam-suamiku bekerja di sebuah kapal pesiar dengan gaji yang cukup fantastis, belum lagi usaha rumah makan keluarga besarnya yang merajai beberapa kota besar di Nusantara .Pernah suatu ketika, aku meminta Mas Agam untuk berhenti bekerja di pelayaran, toh dia bisa bekerja di usaha keluarga besarnya. Namun ia menolak, dengan alasan dia masih muda, ingin cari uang dan pengalaman sebanyak-banyaknya.Bagaimana aku tidak berusaha untuk menahannya agar tetap disisiku saja, jika selama lima tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai buah
Aku sempat bergetar memegang baju itu. Barang yang tak pernah aku pegang sebelumnya. Namun aku teringat Erna yang menunggu di ruang tamu. Bergegas aku menemuinya."Nda, tentang hutangku, kamu catat saja jumlahnya. Saat ini aku belum mampu untuk mencicilnya. Tapi aku berusaha. Diberi bunga juga tidak apa-apa," ujar Erna dengan lemah. Ya memang dia tidak sekali ini meminjam uang. Tapi sudah tiga kali.Sebenarnya tak masalah, yang dari Mas Agam memang sangat lebih.Aku hanya mengangguk. Dan tak berselang lama dia pulang. Dan aku kembali menuju baju bayi itu. Masih baru. Bahkan dari brandnya, cukup terkenal. Kenapa mama memberikan ini? Apa dia lupa jika kamu belum memiliki anak? Atau beliau dengan sengaja menyindirku?"Pak kita ke rumah Bu Melisa sekarang," perintahku dengan tegas kepada Pak Bani-sopirku.Dia yang tengah membaca koran juga ikut terperanjat kaget. Karena tak biasanya aku memerintah dengan cara dadakan seperti ini.Penjaga rumah mertuaku sudah cukup hafal dengan mobil Alph
Aku mematikan telefon begitu saja. Kesal. Bagaimana tidak, pertemuan tiga bulan sekali itu bagiku cukup lama. Terlebih kami belum dikaruniai buah hati.Kenapa harus mengejar lembur? Apakah kekayaan Mas Agam selama ini masih kurang? Seolah-olah ia terlalu mati-matian mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati.Mama mertua sepertinya mengetahui raut wajahku yang kesal. Beliau mendekat."Manda, tak sopan kamu berkata seperti itu kepada Agam. Buat bagaimanapun dia adalah suami kamu," ucap mama mertua dengan pelan."Kalau bukan aku yang mempertahankan harga diriku, lantas siapa lagi Ma. Aku bukan wanita murahan yang hanya bisa disenangkan oleh materi. Tidak seperti itu," elakku dengan tajam."Tapi selama ini kamu menikmatinya bukan? Kamu bahagia kan?" tanya mama mertua seolah olah aku sangat bahagia dengan harta anaknya.Aku menarik nafas panjang. Semata agar bisa menenangkan diri."Ma, kalau tentang materi, aku sudah kenyang sedari kecil. Ah aku fikir mama bisa lebih dewasa daripada ini. Aku
Aku menggeleng pelan."Bukan Ma," jawabku"Bukan bagaimana?""Manda kesini lagi bukan untuk meminta ma'af. Memangnya apa salah Manda?" tanyaku tanpa rasa berdosa.Mama mertua tampak salah tingkah."Baiklah. Yasudah kalau begitu, kamu mau perlu apa sayang? Katakanlah? Kamu mau beli perhiasan baru atau berlian? Hemm atau kamu mau beli hunian baru? Agam adalah anak mama. Dan kamu juga menjadi anak mama. Apapun itu akan Mama kabulkan," katanya lagi.Aku lelah. Semua disangkut pautkan dengan materi."Ma, bisa tidak pertanyaan Mama diganti? Aku bosan loh Ma. Coba sekali-kali ditanya. Aku bahagia atau tidak? Andai ada, aku hanya minta bahagia. Itu saja," sahutkuMama mertua terdiam."Mbok ya belajar bersyukur Nda. Diluar sana banyak yang ingin menjadi seperti kamu," tegurnya tiba-tiba."Ya itu yang namanya hidup sawang sinawang. Yang hidup enak belum tentu enak. Pun sebaliknya. Menikah dengan Mas Agam memang menjanjikan kemewahan tapi hidup tak selalu tentang itu, Ma. Karena sepi memang meng
"Kamu aneh sekali sih Nda sekarang. Pantas saja Agam lebih memilih lembur daripada pulang menemui kamu," serang Mama mertua.Aku hanya menghela nafas pelan."Bagaimana aku tidak aneh Ma. Kalau mama juga bersikap aneh," jawabku."Maksutmu bagaimana?" tanya Mama mertua yang nada suaranya sudah naik satu oktaf."Itu lihat di depan ada tenda yang datang. Mau ada acara apa sih? Hingga Manda tak boleh datang?" tanyaku sedikit menodong.Mama mertua salah tingkah. Ia menurunkan wajahnya yang terkesan menantang itu."Tak mungkin kan mama gabut, lalu mengundang tukang tenda dengan percuma. Mama memang kaya raya. Tapi untuk ukuran crazy rich mungkin memang belum ya," kataku, aku tak perduli bagaimana reaksi beliau. Aku tidak suka berbasa-basi. Atau bermain lembut. Diam diam membalasnya. Tidak. Aku langsung to the point dengan apa yang aku katakan."Ehm itu, Bi Ijah yang punya acara. Mana mungkin mama. Kalau ada acara pastinya kamu selalu mama libatkan dong," elaknya."Wuidih baik benar Ma. Sampa
Setelah Mas Agam mematikan saluran telefon, apakah aku menelfon balik? Oh tentu saja, jawabanya Tidak.Justru yang aku cari adalah nomor telepon Mama mertua.Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain...Ah mudah sekali di tebak. Si keong tentu langsung mengadu ke emaknya.Dan tidak berselang lama Mas Agam kembali menelfon aku."Hallo Sayang, bagaimana? Duh ma'af sekali ya tadi sinyalnya susah. Jangan marah-marah dong, sudah aku beri nafkah tiga digit. Belum tentu dengan orang lain kamu bisa merasakanya loh," ucapnya tanpa merasa bersalah.Aku menarik nafas panjang."Mas, bisa atau tidak kadar kesongonganmu itu di turunkan? Toh kalau aku mati, juga dikubur dengan tanah. Tidak dikubur dengan uang nafkahmu," sengitku dengan kesal."Iya iya. Jadi bagaimana Nda?""Kebetulan sekali ya Mas sewaktu sambungan telefon darimu mati. Kok telefon mama Melisa juga sibuk. Semoga baik baik saja ya," serangku lagi."Nda, sudahlah kamu jangan yang aneh aneh. Mama orang sibuk. Wajarlah kalau