Share

10

Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam.

"Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.

Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam.

"Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.

Mas Agam masih saja bergeming.

"Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak.

"Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitia

Namun mereka justru melihat ke arahku.

"Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka.

"Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mama mertua.

Marah? Oh tidak. Aku justru tersenyum kecil.

"Lebih baik tidak tau malu. Daripada tidak tau diri. Seharusnya mama mengerti dong, mama juga punya anak perempuan loh. Apa tidak takut anaknya diperlakukan seperti aku? Dengar dengar hukum karma  dan tabur tuai itu masih berlaku loh Ma," jawabku sembari berbisik lirih di telinganya

"Kamu masih mau disini Manda? Tapi ini acara syukuran anakku," tanya Mas Agam

Mendengar kata 'anakkku' disebut, bohong sekali jika hatiku tidak sakit. Sakit sekali. Dan tetap pada pendiriannya untuk tidak memperlihatkan rasa sakitku di hadapan mereka.

"Iya. Kalian syukuran kelahiran seorang anak, aku juga syukuran karena bisa terlepas dari keluarga toxic seperti kalian," jawabku.

Melihatku yang keras kepala. Sepertinya Mas Agam mengalah karena juga melihat banyak sekali tamu yang sudah datang. Tak lucu bukan jika dia tiba tiba membubarkan acara ini? Dan akhirnya menyuruh panitia untuk segera memulai.

Aku tertawa girang dalam hati, sepanjang acara sangat terlihat sekali bahwa Mas Agam kikuk. Mungkin karena kehadiranku. Bodoh amat.

Dan di penghujung acara. Panitia mempersilahkan para hadirin yang ingin memberi sambutan sekaligus memberi ucapan kepada keluarga besar.

Oh tentu aku mengacungkan jari pertama kali. Panitia yang notabenenya tidak tau siapa aku, tentu sangat mengizinkan. Sementara dapat ku lihat, keluarga Mas Agam ketar ketir melihat aku berdiri di depan sembari memegang mic menghadap semua tamu undangan yang datang.

"Selamat Malam. Disini yang pertama saya tentu mengucapkan selamat kepada Bapak Agam dan keluarga atas kelahiran putri keduanya. Dan do'a saya hanya satu, semoga ananda tidak mengikuti jejak orang tuanya. Terimakasih"

Kalimat sambutanku yang sederhana itu mampu membuat wajah keluarga Mas Adam memerah bak kepiting rebus. Dan tentu saja yang paling penting, membuat para hadirin saling berbisik bisik. Apa lagi kalau bukan karena menghibahkan mereka. Rasakan!

Secara umum, acara memang terlihat normal. Namun tentu saja ada ketidakcocokan di hati Mas Agam dan keluarga besarnya. Hingga tiba di penghujung acara, semua hadirin pulang. Dan aku masih disini juga.

"Kamu tidak ikut pulang? Atau mau bantu bersih bersih disini? Oh pantas sih, jika sudah tidak bersama Agam, kamu pantas mendapatkan peran itu," olok Mama mertua.

"Saya masih disini untuk menagih hutang," jawabku.

"Hutang? Mana mungkin anak saya punya hutang ke kamu? Yang ada kamu yang punya hutang nafkah yang diberikan anak saya setiap bulan,"

"Idih. Nafkah kok dihitung hutang. Katanya kaya raya. Apa tidak malu berkata seperti itu?" lawanku.

"Manda, kita bisa bicara di luar. Tidak perlu disini," rayu Mas Agam lagi.

"Aku sudah bilang Mas. Aku ingin menyelesaikan disini. Untuk apa harus di luar? Sama saja."

"Mbak tolong tenang. Tolong difikir dengan keadaan kepala yang dingin," kata Aisyah menenangkan.

Aku menoleh tajam ke arahnya.

"Tidak ada yang meminta pendapatmu ya. Jangan bicara otak yang dingin, jika kamu saja juga merusak rumah tanggaku tanpa otak," bentakku.

Aisyah tertunduk.

"Saya memang bersalah Mbak."

"Oh jelas tentu. Seperti apapun alasannya, kamu memang salah. Menjalin hubungan dengan pria beristri," serangku lagi.

"Amanda, saya masih berbaik hati untuk mengizinkan anak saya mempertahankan rumah tangganya denganmu ya. Kalau bukan dengan Agam, mau jadi apa kamu? Apa ada yang sanggup memberimu nafkah hingga tiga digit setiap bulanya? Jadi jangan sia siakan kesempatan ini, sebelum dirimu menderita," ancam Mama mertua lagi.

Aku tersenyum kecut.

"Apa Mama lupa? Kakakku diangkat menjadi perwira tinggi di kota ini. Dan Papaku baru saja diangkat menjadi anggota dewan. Mamaku membesarkan usaha skincarenya yang kini menempati penjualan tertinggi di pasar nasional? Aku juga tidak jelek jelek amat, aku lulusan terbaik universitas favorit, aku mandiri. Lalu bagaimana kalau nyatanya di luar sana aku bisa mendapatkan jodoh yang bahkan bisa menafkahiku sebesar empat digit?" tantangku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status