Share

BAB 2 | Rania dan Awal Mula Kesendiriannya

“Masa yang sangat kelam bisa datang dan menghancurkan hidupmu kapan saja. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa bahagia.”

~

Rania dan Nilam terlihat keluar dari café itu. Karena kondisi sedang hujan, mereka memutuskan untuk menepi di teras café. Rania berdiri di samping kiri, Nilam di tengah, dan Randi yang baru keluar dari café berdiri di kanan Nilam. Agak lama mereka berdiri di sana, menyaksikan datangnya rintik hujan yang walau datangnya sedikit-sedikit, tetap saja akan membuat baju basah jika memaksa pergi di bawahnya. Sama sekali tidak ada pembicaraan di antara 3 manusia yang sudah seperti manekin pajangan toko baju itu. 

Rania hanya menatap nanar ke depan, di antara mobil dan motor yang lewat di persimpangan jalan dengan mata yang bahkan tidak berniat berkedip saking tidak maunya diajak hidup. Nilam dan Randi, seperti biasanya akan mulai membicarakan hal random mulai dari masalah pekerjaan, curhat asmara, ramalan zodiak, hingga harga saham perusahaan mereka supaya suasana tidak sepi.

Enam tahun, tapi Nilam masih saja mempertanyakan kenapa dirinya tidak bisa membuat suasana menjadi seperti dahulu. Mungkinkah dia kurang berusaha? Dahulu, dengan damai ia menciptakan dan membesarkan masalahnya dengan sang mama yang dapat mengundang omelan Rania. Sekarang dirinya yang mati-matian mendatangkan kembali omelan-omelan itu.

“Ran,” Ucapnya pada Rania yang hanya diam walau ia dan Randi yang terus bicara sejak tadi.

“Hmm.” Rania berdehem menanggapi.

“Emm.. Itu.. Anu.. Oh iya, kok lo keluar dari kantor sih, dulu?” Pada Akhirnya Nilam hanya membahas tentang resign Rania beberapa bulan silam di kantor mereka.

“Kan gue udah bilang bosen ketemu lu berdua.”

Keadaan malah jadi hening.

Rania menoleh kepada Nilam dan Randi yang sama-sama diam di sampingnya.

“Kenapa? Nggak lucu ya?”

Nilam dan Randi menoleh kepada Rania dan menggeleng menanggapinya.

“Kalian tau kan, kalo gue nggak bisa kerja lama-lama di satu tempat yang sama. Susah banget buat percaya orang untuk waktu yang lama?”

Kalo ke kita?” Tanya Randi berusaha menanggapi.

“Ceritanya beda,” Rania lesu.

Mereka paham apa ‘beda’ yang dimaksud Rania. Itu karena Rania sudah dekat dengan mereka sejak sebelum kejadian na’as itu. Rania memang mempunyai krisis kepercayaan pada orang sejak lama, tapi semakin diperparah dengan kejadian itu.

Sebuah mobil keluarga berwarna hitam berhenti di depan mereka. Sang pengemudi membuka kaca depan dan menyapa Nilam serta Randi. 

“Mau barengan?” Tanya seorang pria paruh baya yang usianya seumuran dengan orang tua mereka bertiga.

“Nggak, Pakdhe. Pulang ke deket sini, kok!”

Dia adalah Pak Yanto Mahendra. Biasa dipanggil pakdhe Toto oleh Nilam dan Randi. Dia adalah Papa Rania. Sudah menjadi kesehariannya untuk menjemput dan mengantarkan putri kesayangannya itu bekerja. Pakdhe Toto adalah seorang perwira tinggi militer yang sangat disegani. Selain itu, dia juga terkenal atas kasih sayang yang ia berikan pada Rania.

Sejak 6 tahun lalu, dia dan istrinya menjadi orang pertama yang selalu berada di samping Rania. Walau Rania kehilangan segalanya 6 tahun silam, dia selalu memastikan bahwa wanita itu tidak merasa kehilangan apapun di masa remajanya saat itu. Dia dan segenap kemampuannya memastikan Rania tak kurang secara materi dan kegiatan yang ingin ia ikuti. Istrinya yang seorang psikiater memastikan bahwa ia tak kekurangan secara emosional, dan putra sulungnya memastikan keamanan Rania walau gadis itu tak peduli lagi dengan keamanannya.

Contohnya seperti saat ini, walau hanya menjemput Rania pulang bekerja pun, Papa dan Kakak nya yang masih memakai baju dinas kebesarannya berada di mobil dengan sangat antusias. Walau yang disambut setiap hari memasang ekspresi yang seperti itu-itu saja, sangat datar dan tersenyum kadang-kadang, mereka tidak pernah lelah. 

Ketika keluarga Rania datang seperti ini, Nilam dan Randi yang mulai lelah dengan harapan mereka pun jua akan kembali bersemangat karena melihat mereka juga dengan semangat membangun keadaan di sekitar Rania.

Iya, terus seperti itu selama 6 tahun ini, dan hal seperti inilah yang membuat mereka jadi seperti sebuah keluarga.

“Rania mau makan croissant? Papa udah telepon mbak Mirna biar disisain tadi. Katanya kamu kesana dua kali kehabisan terus ya?” Timbal sang Papa halus menawari Rania.

“Enggak.” Rania pelan menjawabnya.

Awalnya sang Papa kehilangan senyumnya, tapi sedetik kemudian ia kembali mengembangkannya lagi dan berusaha tak menampakkan mimik wajah sedihnya.

“Yaudah, gak papa. Mas, telponin mbak Mirna lagi suruh bungkus aja. Kita lewat sana ambil ya.”

Pria 6 tahun lebih tua dari rania yang menyetir di depan menoleh pada kaca kecil di atas depan. Ia adalah kakak Rania, Jovan Mahendra, putra sulung keluarga Mahendra. Dirinya baru saja menginjak usia 30 tahun dan berprofesi sebagai ABRI pula. Jovan melihat keseluruhan ekspresi sang ayah melalui kaca itu dan tanggapan adiknya yang datar, akhirnya ikut membantu meramaikan suasana pula.

“Okee, kita lewat jalan muter 4 kilometer! Ran, di ujung jalan sana lagi ada festival jajanan, mau mampir?” Tanya sang Kakak.

“Enggak, nggak papa. Aku mau ada yang harus dikerjain.” Jawab Rania dengan nada sedang.

Hingga pada akhirnya Papa dan Kakak nya menyerah mencari topik karena kalimat Rania selalu berakhir dengan titik.

“Jovan jangan lupa mampir ke bakery nya mbak Mirna ya, Le!”

“Siap, Ndan!”

Perjalanan sore itu berakhir sama seperti biasanya. Tiada perubahan yang mungkin membuat harapan mereka semua sedikit ada celah untuk dikabulkan.

***

Flashback 6 tahun silam.

Rania datang ke sekolah pagi-pagi. Wajahnya pucat, sama sekali tidak ada riasan, apalagi senyum yang terpancar. Dia berjalan menyusuri lorong dengan langkah tak bersemangat sama sekali. Matanya terkadang melirik ke samping kanan dan kiri ia berjalan. Terdapat mata orang-orang yang seolah menodong golok kepadanya. Tajam dan mengintimidasi.

Pandangan mata itu terus mengiringi langkah Rania hingga gadis itu sampai di depan kelas. Ia dapat melihat jelas lewat jendela, mereka duduk diam di tempat masing-masing, tidak seperti siswa kelas lain yang bahkan ada yang rela keluar kelas hanya untuk melihat kedatangannya yang padahal tidak ada apa-apanya.

Tapi Rania paham betul gerak-gerik manusia dalam kelas ini. Justru sangat mengherankan mereka duduk diam dalam kelas. Rania paham pasti sang Papa sudah menghubungi salah satu dari mereka untuk bersikap biasa saja saat ia datang nanti. Padahal kelas ini adalah kelas pengertian kebalikan. Apa yang makin dilarang, makin mereka lakukan. Jika dibilang harus A, maka mereka malah melakukan B.

Gadis itu sudahlah sangat mencium gelagat aneh walau mereka semua diam dan tidak berusaha melihat ke arah Rania saat ia datang. Pagi hari yang biasanya sibuk dengan berbagai kegiatan seperti sales parfum Roy, bendahara yang sok sibuk menagih denda piket atau kas, sekretaris dan ketua kelas yang sibuk mempersiapkan acara sekolah di MPK, tiga geng sengklek yang konser dadakan di pojok belakang, content creator yang memanfaatkan meja guru sebelum masuk kelas, hingga Nilam yang mulai mengomel lagi tentang mamanya dan Randi yang tidak memakan masakan ibu angkatnya lalu membagi-bagikannya bahkan pada kucing kelaparan, sekarang malah sepi dan berusaha meraih apapun dengan tangan mereka yang tubuhnya tak berpindah posisi.

Mereka semua terlalu aneh dan sama sekali tidak biasa saja jika apatis dan diam seperti ini.

Rania menuju tempat duduknya. Pagi hari ini Nilam menyambutnya dengan tawa dan rangkulan daripada omelan seperti hari-hari biasanya. 

Randi dari kursinya yang berada tepat di belakang kursi Nilam dan Rania memandang nanar pada Rania dengan perasaan iba yang berusaha disembunyikannya. Sesekali bola matanya memutar agar tidak ada celah bagi air matanya untuk turun. Dia sangat bersedih, hatinya hancur saat melihat Rania yang seperti itu.

Dua minggu sejak gadis itu berduka dan tidak masuk sekolah, tubuhnya mengurus, kulitnya kasar menandakan tak dirawat 2 minggu terakhir, kantong matanya sangat dalam, dan pandangan matanya sendu. Randi memilih berdiri dan mengambil sapu, ia menyapu lanta yang jelas-jelas baru saja di pel.

Yak, yok! Kok sepi amat sih, aduh!” Sahut Roy memecah keheningan di dalam kelas itu.

Tapi sepertinya usahanya sia-sia. Pada akhirnya, ia hanya ditatap sinis oleh teman-teman kelasnya dan menyuruhnya untuk duduk dengan anggukan kepala mereka. Roy kikuk karena ia sendiri juga bingung, bukankah justru terasa tidak biasa-biasa saja ketika mereka semua diam seperti ini?

Rania hanya melihat mereka setelah lepas dari pelukan Nilam. Sungguh tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Tapi dia juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Jika bercanda mungkin mereka yang merasa tidak enak hati, jika dia yang memancing seperti biasanya, mereka mungkin menganggap ia tidak merasa berduka.

Dan sejak saat itulah Rania selalu diam dan menjawab sendiri segala pertanyaan yang ada dalam kepalanya. Dia merasa bahwa dia akan selalu sendirian, selamanya.

Tbc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status