Share

BAB 9 | Kenangan Indah yang Kini hanya Jadi Harapan Semu

Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja

~Rania dan Soto

SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~

“Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya.

“Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania. “Nil?” Gadis itu menoleh pada Nilam.

“Lam.” Sahut Nilam sewot lalu bangun dari tundukan kepalanya di meja. “Kebiasaan lo, kalo manggil nama gue yang lengkap dong, ah! Susah susah emak gua ngasih nama yang imut begini konotasinya jadi kek kudanil. Argghh... kan inget mama lagi, ish!” Nilam mendorong kasar meja.

“Berantem lagi dia, Ran. Kali ini uang jajan di ganti capjay se kotak makan!” Sahut Randi.

“Yaelah, Nil. Mama masih ada lo ajak bertengkar mulu sih. Nggak takut nyesel apa.”

“Nggak tau aja lo gimana rasanya punya ibuk tapi kaya gak punya..”

“Ya kalo gitu lo mesti kuat tetep ngerasa punya ibuk padahal udah gaada kaya gue.” Randi mulai emosi.

Melihat raut ceria kedua temannya mulai bersitegang, Rania memecah suasana agar tak semakin berlarut.

“Eh, apaan si.” Sambil menepuk paha samping Nilam.”Kok jadi ngomongin ginian, lo tu, Nil, ya abis berjemur setannya ko ngga ilang sih. Kan seharusnya nguap sama matahari, kebanyakan setan tubuh lo nih perlu ruqyah kayanya.”

Sambil berjalan mereka menuju kantin.

“Dikira setan bentukannya kayak air rebus kali bisa nguap.” Sanggah Nilam yang sadar sudah merusak keadaan melihat Randi sudah memasang wajah ‘Yaudahlah’ ala dia.

“Hahahaha, iya juga ya, hahaha.” Rania menggandeng lengan Randi dan Nilam sambil terus berjalan. “Tanggal berapa sekarang, iyak tanggal muda, sultan Randi kalo ngajak ke kantin tanggal muda berarti udah dapet amplop dari mama muda kan.”

Rania mendapat sikutan dari Nilam yang berdesis “Astaga tu mulut, becandanya salah waktu ngga sekarang, bos.”

Rania menggigit bibir bawahnya, sadar kalau keceplosan dan memejamkan mata erat-erat lalu balas membisik “Ya elu sih tadi pake acara ngomong ibuk segala, kagak enak banget jaga manner depan kalian. Nggak cocok banget kalian di sopanin.”

“Gblg -_.“ Desis Nilam membalas.

Pandangan mereka mengarah ke depan koperasi yang ramai siswa menonton televisi yang tersedia bebas hanya di koperasi sekolah.

“Ada apaan si rame banget.” Tanya-tanya Vivi.

“Dahlah paling berita seleb lagi, pagi-pagi. Laper nih biar nggak dingin-dingin banget nih capjay.”

Randy dan Nilam terus melangkah meninggalkan Vivi yang terheran-heran dengan televisi kubus tua dengan layar buram bergaris-garis yang sedang di kerumuni siswa.

“Ran, ngapain?” Teriak Nilam.

Vivi melihat ke belakang, menuju Nilam dan Randi lalu kembali pada  mereka setelah sekilas melihat televisi lagi.

“Heran aja biasanya kan program pagi kalo ga kartun variety show artis, masa serame itu.”

“Ternyata?” Tanya Nilam.

“Ada kecelakaan beruntun lagi.”

“Wadegile, 3 hari berturut-turut berita pagi isinya kecelakaan beruntun mulu ya!”

“Sotoy lu kayak pernah lihat berita aja pagi-pagi.” Sahut Randy tiba-tiba.

“Wah pemulihan mood anda cepat ya gan!” SewotNilam.

“Aku kok kepikiran ya.” Ucap Rania sambil terus mereka berjalan menuju kantin.

Mereka pun sampai di kantin, Randi yang membawa talam berisi makanan dan minumannya sedangkan Nilam yang hanya punya uang untuk membeli kerupuk terheran-heran melihat Rania yang termenung dengan tatapan kosong di bangku kantin mereka.

“Heh, ngapain sih.” Tanya Nilam sambil menggoyangkan tangannya di depan pandangan Vivi.

“Eh, nggak tau. Kayak kepikiran aja pas liat berita tadi. Aku kok kaya nggak  tenang gini, sih!”

“Dah, nih minum dulu teh anget.” Randi menyodorkan teh ke depan Vivi.

“Traktiran nih?” tanya Vivi.

“Yah, tau gitu gua ngelamun tadi biar di traktir minum juga.” Timbal Nilam.

Lo tu sama orang lagi susah aja sensi astaga! Pantes bertengkar mulu lo sama mak lo.” Sewot Randi.

“Di bahas lagi !” Sinis Nilam.

“Kalian bertengkar gua balik nih!” pisah Nilam. “Dahlah! Mau mesen soto dulu.”

Saat sampai di kasir, Vivi melihat layar monitor yang menampilkan “BREAKING NEWS” tentang kecelakaan beruntun yang sudah 3 hari berturut-turut terjadi lagi.

“Pesen apa dek?” Tanya Mbak Tika, mbak-mbak kantin penjaga kasir yang biasa di panggil ‘Mbatik’.

Rania yang layarnya fokus menatap monitor tersadar . “Soto, Mbatik. Sotonya ..”

Belum selesai ia disahut “Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja.”

“Wih, hapal dong.” Rania sumringah.

“Gimana enggak coba? Kamu ini jarang ke kantin, sekali ke kantin requestnya samaaa mulu. Mbatik sampe apal orangnya. Hahahah.”

“Jadi kalo aku nitip ke temen namanya ‘Soto Rania’ Mbatik langsung paham, kan? Hahahaha.”

“Selera bisa konstan, padahal soto di kasi koya enak juga loh, terus dagingnya pake daging kambing, pesen yang soto pake santen.”

“Itu makanan apa yaa.. makan soto ko gapake ayam sama kentang goreng tipis, situ yakin makan Soto? Hahahaha.”

“Wesss.. wesss.. Jangan sampe ada tim soto daging di belakangmu, nanti Mbatik pulang sore ini!” 

Pandangan Rania kembali pada televisi di depannya. 

“Wah, kejadiannya sama-sama di Tol Juktar ya?”

Mbatik menoleh ke monitor di belakangnya.

“Eh iya. Baru sadar!”

“Kok aneh banget ya, 3 kali kecelakaan di 3 hari berturut-turut di tempat yang sama dan juga sama-sama beruntun.” Ucap Rania.

“Emang terkenal rawan di sana, Ran! Salah satunya korban tuh ibu-ibu hamil yang kepental lumayan jauh. Tapi sayang bayinya gabisa diselametin beritanya barusan.”

“Masak iya sih sekali kecelakaan nggak diselidiki lebih lanjut? Minimal nggak ngulang kejadian yang sama sampek berkali-kali gini. Titiknya sama loh!”

“Ya namanya udah takdir, Ran. Siap nggak siap, kita nggak pernah tau kapan datengnya.” Ucap Mbatik.

“Ngga ngebayangin gimana keluarga mereka di rumah dipamitin pergi sebentar, baliknya ada di dalem peti yang nggak boleh dibuka.”

“Iya?”

“He em, adek ibuku kemaren jadi relawan buat perwakilan belasungkawa penyerahan jenazah ke keluarga korban. Kata dia, kasian kalo keluarga korban liat, karena kadang, permisi, udah nggak utuh.”

“Innalillahi wainnailaihirojiun.” Mbatik nyebut sambil mengelus perutnya yang besar, sedang hamil tua.

Rania melihat Mbatik. “HPL kapan, Mbatik?”

“Baru masuk minggu 34, besok Mbatik udah mulai cuti. Setelah itu suami Mbatik ga ngebolehin Mbatik keluar kemanapun, ini aja masih kerja mesti ngerayu. Hahahaha.”

“Pokoknya tu, Mbatik, harus bersyukur ya kita, masih ada yang sayang dan khawatir sama kita saat ini. Mumpung masih ada istilahnya.”

“Ini, nota sama kembaliannya ya, Rania.”

“He em, makasi Mbatik.”.

***

Kejadian-kejadian itu terakhir terjadi 6 tahun silam. Randi dan Nilam terakhir kali melihat Rania tertawa, mengumpat, berteriak, memaki, dan memarahinya. Rania yang selalu protes jika orang yang dititipin soto pesanannya kebanyakan menaruh kecap, Rania yang selalu melerai Randi dan Nilam yang mulai memperdebatkan tentang keluarga, Rania yang menjadi orang yang paling banyak mengomel dan Nilam yang lebih banyak mencari masalah serta penyebab dari omelannya.

Sekarang, kenangan tentang kejadian-kejadian itu hanya bisa menjadi harapan semua orang yang mau tidak mau harus menerima keadaan Rania saat ini yang sangat berbanding terbalik dengan 6 tahun lalu. Randi dan Nilam kehilangan sahabat cerewet mereka yang berusaha selalu bijaksana, Pak Yanto dan istrinya, kehilangan kakak beserta istri dan 2 keponakan mereka, masih harus menerima kenyataan bahwa keponakan tertua mereka masih hidup walau hanya tinggal raga dan jiwanya entah pergi kemana. 

Kakak Jovan yang kehilangan adik sepupu ceriwis yang selalu meminta nomer telepon kawan letingnya untuk diberikan kepada teman-teman kelas Rania yang meminta nomer tentara muda. Tidak ada lagi gadis manis yang memaksa merampas dompetnya yang berisi gaji yang tidak seberapa.

Saat ini, hanya ada Nilam dan Randi yang berusaha banyak bicara dan memperhatikan, hanya ada orang tua yang khawatir berkepanjangan, dan kakak yang merasa sang adik pergi jauh padahal ada di dekatnya.

Dahulu, tidak ada satupun dari mereka yang mengira maut akan datang begitu cepat dan merampas segala kebahagiaan yang sudah tersaji lama. Sama sekali tidak ada yang mengira sumber bahagia tiba-tiba diangkat begitu saja dari hidup mereka dan menyisakan manusia-manusia yang berjalan ke depan dengan penuh penyesalan yang tak kunjung terselesaikan.

***

Flashback 6 tahun lalu di rumah duka. Setelah kejadian pertengkaran Rania dan sang bibi.

Laki-laki muda memasuki rumah duka yang keadaannya sangat kacau itu. Ia melihat kelambu di depan kamar Rania sudah copot beserta pengaitnya. Kacang tanah yang menjadi sajian pelayat berserakan dimana-mana, vas bunga yang pecah belum dibersihkan, kursi-kursi duduk kecil tak beraturan. Telinganya mendengar suara gaduh seperti orang yang sedang membentak-bentak dari arah dapur. 

Dia adalah Naufal, sahabat masa kecil Rania, dia akhir-akhir ini sibuk mempersiapkan tes nya masuk akademi tentara. Saat ia mendengar kabar ini tadi, dirinya sedang berada di kolam renang yang ada di kota dan segera pulang.

Kepala Naufal menoleh ke kanan, pandangannya melihat gadis yang memeluk lutut, memandang takut pada orang-orang disekitarnya yang sedang menahan tangis. Naufal melihat Nilam yang dengan rapat menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara tangisannya, Randi pria tangguh yang matanya sudah bengkak walau sekarang tidak menangis, dan sepasang orang tua yang ia ketahu sebagai adik dari ibu Rania yang berprofesi sebagai tentara bersama dengan istrinya.

Mata dan perasaannya makin kalut melihat Rania yang semakin erat memeluk lututnya sendiri. Nilam berlari keluar dari ruangan itu dan ambruk di dinding ruang tamu sambil memecah tangisannya keras. Ia memegang kepalanya seolah ada yang akan memukulnya.

Matanya kembali mengarah ke gadis kecil yang merunduk menyembunyikan wajah, tak tahan ia berdiri di sana, akhirnya Naufal masuk dan memeluk gadis yang sangat ia sayangi itu. Melihat dia yang menangis dalam kehancuran turut membuatnya hancur juga.

Hatinya remuk dan tangisnya pecah. Dalam rangkulannya, gigi Rania menggertak seperti orang mengigil ketakutan. Terlihat orang-orang di kamar itu satu persatu keluar kecuali paman Rania, Pak Yanto Mahendra, yang kelak akan menjadi ayah angkat Rania.

Mereka berdua saling bertatapan, mengatakan banyak hal hanya dalam pandangan mata. Sosok didepannya sangat disegani Naufal, mengingat berada di titik beliaulah keinginan, cita-cita, dan seluruh harapan Naufal berada.

Tapi tangis Naufal terkadung pecah, dia tidak bisa menahannya di depan orang yang sangat ia segani itu. Akhirnya beliau mengulurkan tangannya mengelus pundak Naufal turut menguatkannya. 

Saat itulah Ayah angkat Rania sadar, hanya kepada Naufal, dalam keadaan seburuk apapun, Rania bisa jujur akan perasaannya.

putkerr

Semoga part sedih ini emosinya nyampe ya ke kalian! Jangan lupa vote! 😉

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status